Pada malam itu, Ziyad perlahan-lahan mendekati rumah Arqam bin Abi Arqam, meskipun ia merasa cemas karena kaum Quraisy masih berkeliaran di sekitar. Langkahnya semakin hati-hati, dan jantungnya berdebar keras. Ia mendengar suara lembut yang penuh ketegasan, suara yang menenangkan dan penuh kebijaksanaan.
Namun, saat tiba di depan rumah, ia tidak melihat siapa pun di sana. Suara itu seolah datang dari samping rumah. Dengan hati-hati, ia berjalan ke arah sumber suara, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjawab kegelisahannya.
"Eh?! Kok aku tidak mendengar lagi?" gumamnya.
Saat ia berbalik, tiba-tiba Rasulullah Muhammad ﷺ berdiri di hadapannya. Wajahnya bercahaya dalam temaram malam, sorot matanya penuh kasih dan kedamaian. Tanpa sadar, air mata mengalir di pipi Ziyad. Ia merasa hatinya tersentuh oleh sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Tanpa berpikir panjang, Ziyad langsung berlutut dan memeluk Rasulullah dengan penuh rasa haru.
Namun, seketika itu juga, tubuhnya tersentak.
Ziyad terbangun dari tidurnya. Nafasnya masih tersengal, keringat dingin membasahi dahinya. Ia melihat sekeliling—ia ada di dalam kamarnya sendiri. Mimpi? Itu hanya mimpi?
"Astaghfirullah... Apa tadi itu?" gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Ia duduk di tepi tempat tidur, masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Mimpi itu terasa begitu nyata. Pelukan itu, suara Rasulullah, perasaan damai yang melingkupinya—semuanya begitu jelas.
"Mungkinkah ini sebuah pertanda?" pikirnya.
Namun, sebelum ia bisa memikirkannya lebih jauh, suara dari dapur membuyarkan lamunannya. Hari itu adalah hari pertama Ramadan, dan keluarganya sudah bersiap-siap untuk sahur.
Ziyad bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur, di mana saudara-saudaranya sudah berkumpul. Di antara mereka, ada Ilyas, sepupunya yang suka berbicara, serta Rafi, sahabatnya yang selalu penasaran dengan segala hal.
"Guys!!! Aku punya berita nih tentang seorang saudagar Quraisy yang ketahuan berbuat curang dalam perdagangan!" seru Ilyas.
"Waduh, gimana ceritanya?!" sahut Rafi penasaran.
Ilyas langsung bercerita panjang lebar, menggebu-gebu seperti biasa. Topik itu menarik perhatian semua orang, tetapi Ziyad tetap diam. Pikirannya masih terpaku pada mimpinya tadi malam.
"Kenapa mimpi itu terasa begitu nyata? Apa itu hanya khayalan? Atau ada makna di baliknya?"
Ia mencoba ikut mendengarkan obrolan mereka, tetapi hatinya terus dipenuhi tanda tanya. Seakan ada sesuatu yang memanggilnya, sesuatu yang lebih besar dari sekadar berita tentang perdagangan Quraisy.
"Hei, kamu kenapa?" tanya salah satu sepupunya, menyadari perubahan sikapnya.
Ziyad tersentak dan tersenyum tipis. "Tidak apa-apa kok," jawabnya singkat.
Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan mimpi itu begitu saja. Ada sesuatu yang harus ia temukan, sesuatu yang akan mengubah jalan hidupnya.
Dan Ramadan ini… mungkin adalah saatnya.
Pada saat tarawih malam
Ziyad mendengarkan ceramah dengan ustad dan ia bertanya tanya lagi "Tadi itu apaan?!"
Dengan kata hati itu ia tiba tiba langsung di bisikin oleh orang yang tak tahu tapi di masjid tidak ada yang berbisik dengan dia, ziyad hanya berpikir "Oh mungkin orang itu iseng" namun tanpa disadari itu adalah nabi Muhamad yang telah berbisik oleh umatnya oleh karena itu ziyad tak sanggup untuk memikirkan hal itu lagi kepada siapapun yang ingin dibicarakan dan ini membuat ia berpikir panjang sampai pusing.