Langkah Ziyad semakin ragu saat ia mendekati rumah Arqam bin Abi Arqam. Rumah itu terletak di dekat Bukit Shafa, tampak biasa saja dari luar, tetapi semua orang tahu bahwa tempat itu adalah pusat pertemuan pengikut Muhammad. Malam semakin larut, dan jalanan mulai sepi. Hanya suara deru angin yang sesekali menggoyangkan lentera di depan rumah-rumah Quraisy.
Ziyad berhenti beberapa langkah dari pintu rumah Arqam. Tangannya mengepal. Jika ia ketahuan di sini, keluarganya pasti akan mempertanyakan niatnya. Pamannya, Abu Hakim, adalah salah satu pendukung Abu Jahal. Jika ia tahu keponakannya mulai tertarik pada ajaran Muhammad, hukuman bisa sangat berat.
Namun, rasa penasaran mengalahkan ketakutan. Ia melangkah lebih dekat.
Dari celah jendela, Ziyad mendengar suara lembut namun penuh ketegasan. Itu suara Muhammad.
Malam kian pekat di Mekkah. Angin gurun berembus perlahan, membawa debu halus yang menari di bawah cahaya bulan. Ziyad berdiri di sudut jalan, memandangi rumah Arqam bin Abi Arqam. Hatinya berdebar. Ia tahu bahwa di dalam sana, Muhammad bin Abdullah dan para pengikutnya berkumpul, membicarakan sesuatu yang selama ini dianggap berbahaya oleh Quraisy.
Langkahnya maju selangkah, lalu terhenti.
"Apa yang kulakukan?" batinnya. Jika seseorang melihatnya di sini, keluarganya akan mendapat malu besar. Pamannya, Abu Hakim, adalah orang yang berpengaruh di kalangan Quraisy dan salah satu yang paling keras menentang Muhammad. Jika ia tahu Ziyad mendekati kelompok itu, konsekuensinya bisa fatal.
Namun, suara dari dalam rumah menarik perhatiannya.
"Wahai manusia, telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah. Di dalamnya ada malam yang lebih baik dari seribu bulan…"
Ziyad menahan napas. Itu suara Muhammad. Suaranya tenang, penuh keyakinan.
Ia mendekat sedikit, mencari celah untuk mengintip. Di dalam, para lelaki duduk melingkar. Ada Abu Bakar, saudagar jujur yang dulu dihormati di Mekkah sebelum mengikuti Muhammad. Ada Ali bin Abi Thalib, pemuda sebaya dengannya, yang dikenal cerdas dan berani. Dan di antara mereka, ia melihat Bilal, lelaki yang tadi ia temui di pasar, duduk dengan wajah penuh ketenangan.
Mengapa mereka tidak takut?
“Ziyad?”
Suara berat di belakangnya membuat Ziyad terlonjak. Ia berbalik cepat. Di hadapannya berdiri Harits, sepupunya yang lebih tua, menatapnya tajam.
"Apa yang kau lakukan di sini?" suara Harits mengandung kecurigaan.
Ziyad berusaha tetap tenang. "Aku hanya lewat."
Harits mendengus. "Lewat? Di depan rumah ini?"
Ziyad tidak menjawab.
Harits mendekat, menatapnya lekat-lekat. “Kau tertarik pada ajaran Muhammad?”
Ziyad menelan ludah. Jika ia mengiyakan, Harits bisa melaporkannya pada keluarganya. Jika ia berbohong, ia mengingkari hatinya sendiri.
"Aku hanya ingin tahu," katanya akhirnya.
Harits mendadak. "Jangan bodoh, Ziyad. Mereka adalah orang-orang yang telah meninggalkan ajaran leluhur kita. Kau tahu hukuman bagi orang yang berpaling dari Quraisy?"
Ziyad mengangguk pelan. Ia tahu. Siksaan, pengusiran, atau bahkan kematian.
“Lupakan ini,” kata Harits. “Kau masih punya masa depan di Quraisy. Jangan hancurkan hidupmu.”
Ziyad menghela napas. Ia menoleh ke rumah Arqam sekali lagi. Suara Muhammad masih terdengar, berbicara tentang keteguhan iman dan kesabaran dalam menghadapi cobaan.
Hatinya bergetar.
Ia tahu ini bukan terakhir kalinya ia mendekati mereka. Sesuatu dalam dirinya berkata, ini baru awal dari perjalanan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Dan ya ini adalah hari pertama ziyad.