Malam turun perlahan di Mekkah, menyelimuti kota dengan kegelapan yang hanya diterangi cahaya bintang dan lentera yang tergantung di beberapa rumah saudagar. Di tengah hiruk-pikuk pasar yang mulai sepi, seorang pemuda bernama Ziyad bin Malik berjalan menyusuri gang sempit menuju rumahnya. Usianya baru empat belas tahun, namun wajahnya menyiratkan kedewasaan yang lebih matang dari usianya.
Ziyad berasal dari keluarga Quraisy, keturunan pedagang yang dihormati, tetapi ia bukan putra dari keluarga bangsawan. Ayahnya seorang pedagang rempah yang sering bepergian ke Syam, meninggalkan Ziyad untuk mengurus urusan rumah dan ibunya yang sakit-sakitan. Hidupnya seharusnya berjalan seperti pemuda Quraisy lainnya—mewah, penuh pesta, dan tunduk pada ajaran leluhur. Namun, sesuatu di dalam dirinya terus memberontak.
Ramadan tahun ini terasa berbeda. Sudah beberapa tahun berlalu sejak seorang lelaki bernama Muhammad bin Abdullah mengaku menerima wahyu dari Tuhan yang Maha Esa. Dakwahnya telah mengguncang Mekkah. Para bangsawan Quraisy murka, dan mereka yang mengikuti ajaran Muhammad sering kali dihina, disiksa, bahkan dibunuh. Namun, semakin keras mereka ditekan, semakin kuat keimanan mereka.
Ziyad mendengar banyak cerita. Para pengikut Muhammad rela berpuasa di tengah panasnya siang tanpa mengeluh. Mereka bangun di sepertiga malam untuk beribadah. Mereka berbagi makanan meski hanya memiliki sepotong roti. Ramadan menjadi bulan yang bukan hanya tentang menahan lapar, tetapi juga ujian bagi iman mereka.
Malam ini, sesuatu membuat Ziyad gelisah. Di pasar, ia melihat seorang lelaki tua duduk di sudut jalan, tangannya gemetar karena lapar. Orang-orang Quraisy melewatinya tanpa peduli. Namun, tak lama kemudian, seorang pria dengan jubah sederhana menghampiri lelaki tua itu, memberi air dan sepotong roti. Ziyad mengenali pria itu—Bilal bin Rabah, mantan budak yang kini menjadi pengikut Muhammad.
Ziyad berhenti sejenak, memperhatikan. Wajah Bilal terlihat tenang meski ia sendiri terlihat lelah dan lapar. “Mengapa mereka seperti ini?” batin Ziyad. “Mengapa mereka tidak marah pada keadaan mereka? Mengapa mereka justru terlihat damai?”
Di kejauhan, Ka’bah berdiri megah, dikelilingi berhala yang dijaga oleh para pemuka Quraisy. Ziyad merasa dadanya sesak. Ia tahu, jika ia terlalu banyak bertanya, keluarganya akan curiga. Tetapi ia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ramadan ini, ia akan mencari jawaban.
Dengan langkah mantap, Ziyad berbalik arah, menuju tempat yang selama ini ia hindari—rumah Arqam bin Abi Arqam, tempat para pengikut Muhammad berkumpul secara sembunyi-sembunyi.
Ia tidak tahu bahwa langkah kecil ini akan mengubah hidupnya selamanya.
Ziyad akhirnya pergi memutuskan untuk melihat melihat apakah itu hal yang benar atau tidak
"Baik aku akan mencoba untuk melihat hal ini dengan sesuai" -ucap ziyad
Tapi pada saat itu ziyad akhirnya melarikan diri dari kaum Quraisy karena ada Quraisy ingin menyerang para kaum muslimin atau muslimah dari belakang di tempat aman ia bersembunyi di Gua
Pada saat bersembunyi di gua Ziyad akhirnya meminta bantuan kepada tuhan Allah SWT
"ya tuhan, selamatkan aku dari kaum kaum Quraisy" -ucap ziyad dengan berdoa kepada Allah SWT
Pada akhirnya ia diberikan senjata kepada Allah SWT melawan para kaum Quraisy untuk menyelamatkan teman temannya dan para sahabatnya yang diancam oleh para kaum kaum Quraisy
Sementara di Makkah masih pada takut untuk melawan Kaum kaum Quraisy yang kafir