Bandung, 2009
“Sekian pertemuan pertama kita di hari ini. Besok kita mulai belajar seperti biasa, ok?”
Dengan kompak murid-murid kelas 11 IPS 2 itu mengeluh karena ternyata besok sudah akan belajar seperti biasa, setelah hari ini mereka hanya mengulang materi semester sebelumnya dengan cara yang asyik bagi remaja-remaja tersebut. Guru di depan sana sudah keluar dari kelas, disusul oleh beberapa murid yang juga segera keluar.
Saat ini jam istirahat pertama, murid-murid biasanya akan menghabiskan waktu di kantin bersama teman-temannya ataupun hanya mengobrol santai di dalam kelas, atau membaca buku seperti yang akan dilakukan Arion saat ini. Laki-laki itu sudah mengeluarkan buku bacaannya dan meletakkan di atas mejanya.
Tangan Mava yang bergerak cukup cepat segera mengambil buku bacaan milik Arion. Bukan sebuah novel yang biasa dibaca oleh kalangan remaja, melainkan sebuah buku yang cukup berat bagi remaja seusia mereka, serta itu ditulis dalam Bahasa Inggris.
“Aku gak tau kalau kamu suka buku yang kaya gini,” komentar Mava sambil melihat-lihat isi dari buku tersebut. Bahkan dirinya yang berusia tigapuluh tahunan ini saja sepertinya tidak akan mampu untuk membaca bab satu dari buku tersebut.
“Berarti kamu enggak menggali informasi tentang saya lebih dalam, ya?” tanya Arion yang dijawab dengan anggukkan kepala Mava. Ia mengambil kembali buku bacaannya dari tangan Mava.
“Ayo kita ke kantin,” ajak Mava. Ia bahkan menyunggingkan senyuman di wajahnya sambil memandang Arion, yang fokus pada bukunya.
“Kamu saja. Saya mau baca buku ini.”
Mava berdecak. “Padahal aku pengen ngenalin kamu ke temen-teman aku lagi.”
Arion melirik Mava yang sedang memainkan jari-jarinya sendiri. Ucapan Mava sejak tadi pagi benar-benar membuatnya bingung dan berpikir jika perempuan itu mengulang kehidupannya lagi. Seperti yang baru saja terjadi, Mava mengatakan ingin mengenalkannya pada teman-teman perempuan itu lagi. Kata ‘lagi’ pada kalimat yang dikatakan Mava berarti sebelumnya ia pernah dikenalkan kepada teman-teman Mava. Tetapi pada kenyataannya, ia belum pernah sekalipun berkenalan dengan mereka.
“Kenapa ngeliatin?” Mava sadar tengah diperhatikan oleh Arion. “Ada yang aneh di muka aku?”
“Kenapa kamu enggak pake gua-lu lagi?” Arion justru mengalihkan topik pembicaraan.
“Ya gak apa-apa. Ngerasa aneh kalau aku ngomong pake gua-lu di umur saat ini. Apalagi ini kota Bandung, bukan Jakarta yang memang suka ngomong pake gua-lu,” jelas Mava.
“Baguslah kalau kamu sadar itu gak cocok buat kamu,” ujar Arion. “Ke depannya jangan ngomong pake gua-lu lagi.” Ia kembali melanjutkan sesi membacanya.
Mava tersenyum mendengar permintaan Arion yang sangat sederhana itu. Ia memperhatikan Arion sambil menopang dagunya, sementara siku tangan yang menopang dagunya bertumpu pada meja. Mava jadi penasaran bagaimana wujud dari Arion dewasa jika laki-laki ini tidak memilih pilihan ekstrtim itu? Mungkinkah Arion akan kehilangan sisi manis di wajahnya dan berubah menjadi pria yang tegas? Atau justru ia tetap memiliki sisi manis di wajahnya itu?
“Arion,” ujar Mava yang direspons dengan dehaman Arion. “Aku gak tau kalau kamu selama ini menjalani hal yang berat buat remaja seumuran kamu.”
“Hal berat apa? Aku gak menjalani hal yang berat,” jawab Arion.
Mava tersenyum. Ia tahu jika saat ini Arion sedang berbohong. Telinga laki-laki itu pasti akan memerah jika berbohong. Tetapi Mava memilih untuk tidak membahasnya saat ini. Ia akan membiarkan laki-laki itu yang akan mengatakan hal berat yang dipendam dalam hatinya.
“Istirahatnya masih ada sisa sepuluh menit lagi.” Mava beranjak dari duduknya, lalu memberikan pembatas pada buku Arion serta menutupnya. “Ayo kita ke kantin. Mereka pasti masih ada di sana.” Tanpa persetujuan dari Arion, Mava menggenggam pergelangan tangan laki-laki itu dan mengajaknya untuk pergi ke kantin.
~”~
“Hai, aku Nathan.”
“Aku Aurelia, tapi kamu bisa panggil aku Aurel.”
“Aku Dita.”
“Aku Radeva, panggilnya tetep Radeva.”
“Arion. Senang bisa kenalan sama kalian.”
Mava tersenyum senang karena akhirnya ia bisa kembali memperkenalkan Arion kepada teman-temannya ini. Karena dirinya melakukan perjalan waktu dengan kembali ke masa lalu, maka hal-hal yang sebenarnya terjadi di tahun ini juga ada yang berubah.
Seperti halnya saat ia bertemu dengan Sony di depan gerbang sekolah tadi pagi. Hal itu dulu tidak terjadi, sebab dirinya dulu datang hampir terlambat jadi tidak bertemu dengan Sony. Lalu dulu juga ia tidak berangkat bersama dengan Arion, karena dulu ia tidak tahu jika Arion masuk ke sekolahnya. Dan saat ini, ketika ia memperkenalkan Arion pada teman-temannya, Arion tidak seaktif ini, menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan keempat teman baiknya itu. Dulu Arion lebih banyak diam dan bahkan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah dirinya.
“Oh jadi kamu pindah ke komplek yang sama kaya Mava dan tinggal di rumah yang ada kolam ikannya,” ujar Nathan yang sudah mengetahui rumah dari Arion dan alasan laki-laki itu bisa mengenal Mava. “Tapi kamu tau enggak? Rumah itu—mpph”
Mava segera menutup mulut Nathan yang hendak membeberkan cerita menyeramkan dari rumah yang ditinggali Arion saat ini. Hanya laki-laki itu dan dirinya saja yang tahu cerita menyeramkan yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Ia tersenyum pada Arion yang kebingungan. “Jangan dengerin omongan Nathan ya, Arion.”
Nathan berhasil melepaskan tangan Mava dari mulutnya. “Apa-apaan sih? Pake nutup mulut aku segala. Emangnya kamu tau aku mau ngomong apa?”
“Ya taulah!” seru Mava sambil menatap Nathan kesal. “Jadi lebih baik kamu tutup mulut ya, Nathanael.”
“Emangnya Nathan mau ngomong apa? Kok aku jadi penasaran,” ujar Dita.
“Lebih baik kamu dan kalian semua, terutama Arion, enggak usah tau aja,” jawab Mava lalu mengambil keripik milik Aurel.
“Gak asyik kau Mava. Padahal aku udah mau cerita,” protes Nathan.
“Simpen baik-baik cerita itu di kepala kamu ya,” pinta Mava sambil menyunggingkan senyuman di wajahnya.
“Tapi saya jadi penasaran sama cerita yang mau diceritakan Nathan,” ujar Arion yang justru membuat Nathan senang.
“Arion saran aku, mending kamu enggak usah tau aja,” usul Mava. “Seriusan, itu enggak baik buat—”
“Rumah yang kamu tempati itu berhantu,” sela Nathan memotong ucapan Mava. Laki-laki itu kini berhasil mendapatkan tatapan tajam dari Mava.
“Berhantu?”
Tidak hanya Arion saja yang bertanya seperti itu, tetapi Dita, Aurel, dan bahkan Radeva juga ikutan bertanya. Dita dan Aurel bahkan saat ini sudah mencondongkan sedikit tubuhnya sambil memandang Nathan. Mereka memang suka kisah-kisah berhantu.
“Iya. Rumah itu katanya ada hantunya. Soalnya sepuluh tahun lalu ada orang yang bunuh diri di situ.”
“Bohong,” sahut Mava. “Itu semua cuman cerita karangan doang. Enggak nyata.”
“Tau dari mana?” Nathan menatap Mava.
“Ya taulah!” jawab Mava. “Jadi Arion.” Mava mengalihkan pandangannya pada Arion yang duduk di sebelahnya. Laki-laki itu terdiam dengan wajah datarnya. Saat ini Arion sedang ketakutan, begitulah cara laki-laki itu menunjukkan rasa takutnya. “Kan liat, dia jadi takut gitu.”
“Masa?” Nathan memperhatikan Arion dengan seksama. “Enggak, dia gak keliatan takut. Kan, Arion?”
“Oh? Iya, saya enggak takut. Lagian saya juga enggak percaya sama hantu,” jelas Arion dengan diakhiri seulas senyuman tipis di wajah manisnya itu.
“Pokoknya Arion,” ujar Mava seraya memandang Arion tepat pada kedua matanya. “Rumah yang kamu tempati saat ini sama keluarga kamu itu bersih, enggak ada cerita orang yang bunuh diri atau berhantu. Omongan Nathan gak usah didenger. Anggap angin lalu.”
Arion mengangguk. “Karena Mava bilang gitu, saya akan anggap apa yang diceritakan Nathan cuman angin lalu saja.”
“Anak pinter.”
“Nurut banget sih kamu ke Mava, padahal baru kenal beberapa hari,” komentar Dita.
“Mava minta saya untuk dengerin tiap omongan dia. Jadi, ya saya harus nurut,” jelas Arion membuat teman-teman barunya itu tertawa.
“Kenapa dikasih tau sih omongan kita berdua yang itu?” Mava mengalihkan pandangannya ke arah lapangan.
Sedang serius memandangi lapangan yang sedang kosong, atensi Mava justru mendapati sosok yang tidak asing sedang berjalan bersama salah seorang guru. Perempuan itu secara tiba-tiba berdiri dari posisi duduknya, membuat seluruh temannya dengan kompak memandangnya sebentar lalu mengikuti arah pandangan Mava saat ini.
“Kok ada di sini?” gumam Mava yang tidak menduga kehadiran sosok Levi Kristofer di tahun 2009 ini.