Bandung, 2009
“Theresia Mava!”
Panggilan yang berasal dari arah belakang itu membuat Mava berhenti mengejar Arion. Ia berbalik dan saat mengetahui siapa yang sudah memanggilnya, ada perasaan menyesal yang tiba-tiba saja ia rasakan. Rasanya ia ingin kembali saja ke tahu 2024 saat ini juga.
“Ah iya, gua lupa kalau tahun 2009 ini ada manusia itu juga.”
Manusia yang dimaksud Mava bernama Igantius Sony Gumilang, laki-laki yang begitu tergila-gila padanya. Ia sama sekali tidak menyukai laki-laki itu, bahkan ia sangat risih jika Sony tiba-tiba mendekatinya atau ikut bergabung ketika ia sedang bersama teman-temannya. Saat hari kasih sayang yang akan berlangsung bulan besok, Sony mengajaknya untuk berpacaran dengannya. Tetapi, jelas ia tolak secara mentah-mentah dan bahkan mengungkapkan bahwa ia risih dengan keberadaan Sony.
Namun anehnya, bukannya berhenti menyukainya, Sony justru semakin gencar mendekatinya. Saat kuliah saja laki-laki itu terkadang berkunjung ke kampusnya dan mengaku bahwa ia pacarnya. Teman-teman satu angkatannya sampai benar-benar percaya jika Sony adalah pacarnya. Laki-laki itu baru berhenti mengejarnya setelah tahu ia akan menikah dengan Levi.
Tetapi kali ini, di Senin pagi yang cerah saat ini, ia akan membuat Sony berhenti menyukainya. Bagaimanapun caranya, Sony harus berhenti menyukainya agar kehidupan keduanya di SMA ini bisa berjalan dengan lancar dan tenang.
“Mava, seneng deh kamu mau nunggu aku. Biasanya kalau aku panggil kamu suka pergi gitu aja,” ujar Sony setelah berada di dekat Mava. “Ayo kita ke atas bareng.”
Mava tetap berdiri di tempatnya ketika Sony mulai melangkah. Laki-laki itu sadar jika ia tidak berjalan, jadi Sony kembali mendekatinya.
“Kenapa gak jalan?”
“Woi bocil!” seru Mava sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya.
“Bocil?”
“Iya bocil. Bocah cilik. Lu bocil,” ujar Mava. “Dengerin gua baik-baik. Berhenti untuk ngejar-ngejar gua, atau tiba-tiba ikut gabung waktu gua lagi kumpul sama temen-temen gua. Lu tau? Gua itu sangat risih dengan keberadaan lu yang suka ikut gabung atau tiba-tiba deketin gua!”
Mava tertawa di dalam hati ketika melihat Sony yang terkejut dengan setiap perkataan yang sudah diucapkannya.
“Mava, kok kamu jadi kaya gini, sih?” Wajah Sony melukiskan jika ia tidak suka dengan sikap Mava yang tiba-tiba berubah drastis. “Ini pasti gara-gara kamu keseringan gabung sama Nathan, ya? Udah Mava gak usah temenan sama dia. Dia itu pengaruh buruk buat kamu.”
Mava mendengus mendengar Sony yang dengan berani mengatakan jika Nathan pengaruh buruk baginya. “Terserah gua dong mau temenan sama dia atau enggak. Kok lu ngatur sih?”
Jujur saja, rasanya menggelikan ia bersikap seperti ini. Walaupun saat ini tubuhnya adalah ketika ia SMA, tetapi jiwa di dalamnya adalah dirinya yang sudah berusia tigapuluh tahunan. Rasanya benar-benar seperti kakak kelas yang sedang melakukan perundungan pada adik kelas.
“Ini demi kebaikan kamu, Mava.”
Tubuh Mava merinding bukan main mendengar ucapan dari Sony. “Maaf ya, gua bakalan merasa lebih baik kalau lu,” ia menunjuk Sony tepat di depan wajah laki-laki itu, “bener-bener berhenti suka sama gua! Gua itu risih sama lu! Jadi, ini perintah gua bukan permintaan, stop untuk ngikutin gua!”
Tanpa menunggu jawaban dari Sony, Mava memilih untuk meninggalkan Sony yang sepertinya terkejut dengan perkataan yang ia lontarkan padanya.
“Ih, harusnya gua bilang aja kalau gua udah tunangan ya. Siapa tau dia beneran berhenti,” gumam Mava setelah jauh dari Sony. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Sony yang berjalan dengan gontai. “Ah gak usah ajalah. Males gua berinteraksi lagi sama tuh bocil.”
~”~
Arion terkejut ketika Mava tiba-tiba saja masuk ke ruang kelasnya. Perempuan berambut pendek itu sedang tersenyum kepadanya. Bukannya membalas, ia justru mengalihkan pandangannya. Dirinya tidak menyangka jika Mava menggali informasi tentang dirinya sampai ke kelas yang ia tempati di sekolah ini.
Mava kini sudah berada di dekat mejanya, masih mengumbar senyuman di wajahnya. Perempuan itu tidak bersuara, bahkan tidak memanggilnya. Mava hanya diam memandanginya.
Merasa tidak nyaman dipandangi seperti itu oleh Mava yang baru dikenalnya dua hari lalu, Arion akhirnya membalas pandangan Mava dan bertanya, “Kamu sampai mencari tahu kelas yang saya tempati di sekolah ini?”
Tanpa diduga oleh Arion, Mava justru menjawab dengan gelengan kepalanya.
“Kalau gitu, kenapa kamu ke kelas saya?”
“Ya karena gua kelasnya di sini. Dan ini,” Mava mengetuk jarinya di atas meja, “meja gua.”
Sungguh Arion merasa malu karena sudah mengira Mava sampai mencari tahu keberadaan kelasnya. Tidak tahunya karena perempuan itu berada di kelas yang sama dengannya juga.
“Boleh geser? Gua gak suka duduk deket tembok,” ujar Mava.
Tanpa berkomentar Arion menuruti permintaan Mava. Ia pindah ke bangku dekat tembok dan membiarkan Mava untuk menyimpan tas di bangku yang ia tempati sebelumnya.
“Omong-omong. Temen sebangku kamu gak masalah kalau saya duduk di sini?” Arion memandang Mava.
“Kalau gak salah inget, gua duduk sendirian, soalnya muridnya ganjil. Jadi gua sendirian yang lain berdua,” jawab Mava. “Mau ikut keluar gak? Ke kantin sarapan bubur ayam, sekalian gua kenalin lu ke teman-teman gua.”
Arion menggeleng. “Saya mau baca buku saja.”
“Oke. Selamat membaca.”
Arion membuka buku bacaannya setelah Mava pergi keluar. Tetapi baru membaca dua kalimat ia justru berhenti membaca karena baru sadar akan sesuatu. “Kalau gak salah ingat, katanya?” Ia mendengus. “Dia kehilangan ingatan selama liburan, kah?”
~”~
Bukannya berada di kantin sambil menikmati bubur ayam sesuai dengan rencana awalnya, Mava justru berakhir di halaman belakang sekolahnya. Tetapi sayangnya—atau jika boleh dikata, sialnya—ia tidak bersama dengan teman-temannya, melainkan bersama Sony.
Saat melewati kelas Sony, yang kebetulan sekali bersebelahan dengan kelasnya, laki-laki itu tiba-tiba menarik tangannya begitu saja. Jika kejadian itu terjadi pada dirinya yang asli berusia 16 tahun, mungkin ia sudah berteriak meminta tolong. Tetapi karena saat ini tubuh remajanya dikuasai dirinya yang berusia 30 tahunan, ia memilih untuk diam dan menuruti Sony. Bahkan saat berpapasan dengan teman-temannya ia juga tetap diam, justru teman-temannya yang terlihat kebingungan dan bertanya akan pergi ke mana ia bersama dengan Sony.
“Jadi, lu mau apa sampai bawa gua ke sini?”
Keheningan yang berlangsung selama tiga menit itu akhirnya Mava pecahkan juga. Ia kesal dengan Sony yang diam membisu setelah mereka tiba di halaman belakang ini.
“Seberapapun kerasnya aku berpikir, rasanya aneh kamu nyuruh aku untuk berhenti suka dan ngedeketin kamu,” jelas Sony. Laki-laki itu tidak memandang Mava, ia mengalihkan pandangannya ke ujung sepatunya.
“Ignatius Sony Gumilang.” Mava kembali memanggil Sony dengan lengkap. Ia sudah berkacak pinggang. “Kalau ngomong, tatap lawan bicaranya. Gak sopan kalau kaya gitu.”
Sony menurut, ia langsung memandang Mava. “Mava, tolong jangan suruh aku berhenti untuk menyukai kamu,” ucapnya. “Aku tulus suka—enggak—aku justru tulus mencintai kamu, Theresia Mava.” Ia dengan berani menggenggam kedua tangan Mava, namun sayangnya perempuan itu segera melepaskan diri.
“Mava, please tarik lagi perintah kamu itu ya. Aku ini bener-bener tulus sama kamu. Gak bohong sama sekali. Jadi please tarik ya perintahnya.” Sony memohon sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. “Atau gimana kalau kita coba untuk jalin hubungan dulu. Kamu pasti lama-lama bakalan suka sama aku.”
Baiklah, Mava semakin tidak menyukai sosok Sony yang saat ini. Rasanya aksi memohon laki-laki itu sangat penuh dengan drama yang menggelikan. Ingin rasanya ia segera pergi saja dan kembali ke kelas.
“Mava!”
Mava terkejut bukan main ketika Sony tiba-tiba mencengkram pergelangan tangannya dengan cukup kuat. Ia menatap Sony yang juga sedang menatapnya. Sungguh menyebalkan sikap laki-laki di hadapannya ini. Rasanya ia ingin membanting tubuh kurus Sony ke tanah, lalu menginjak kepalanya.
“Sony, lu apa-apaan sih? Lepasin tangan gua!” pinta Mava sambil berusaha melepaskan diri.
“Enggak akan!” seru Sony. “Aku gak akan lepasin kamu, Mava. Aku mau kamu coba jalanin hubungan dulu sama aku. Baru kamu putuskan mau lanjut atau enggak. Tapi aku yakin kamu pasti bakal lanjut sama aku.”
“Iganatius Sony Gumilang!” Kesabaran Mava sudah habis dalam mengatasi tingkah Sony saat ini. Ia akhirnya berhasil melepaskan cengkraman tangan Sony di tangannya. Tatapannya yang tajam memanatap Sony yang seketika menciut. Mava harus bertindak sebagai orang dewasa, bukan sebagai remaja yang mengatasi masalah ini.
“Ignatius Sony Gumilang.” Sekali lagi Mava memanggil nama Sony yang tidak dijawab oleh laki-laki itu. “Aku gak tau lagi harus ngomong pake bahasa apa ke kamu tentang masalah ini. Tapi tolong bersikaplah dewasa. Umur kamu dua tahun lebih tua dari aku walaupun kita seangkatan. Kamu udah punya KTP artinya kamu bukan anak kecil lagi.
“Apa susahnya sih buat nurut, hah? Tolong hargai perasaan aku juga! Jangan jadi manusia egois! So, please ya Kak Ignatius Sony Gumilang, tolong turutin permintaan aku. Aku ngerasa kamu itu bukan suka sama aku, tapi terobsesi. Itu sangat mengerikan!” Mava terdiam sejenak, memperhatikan Sony yang juga terdiam. Saat ini ia akan mengatakan bahwa dirinya sudah bertunangan, berharap saja itu akan membuat Sony benar-benar berhenti.
“Satu hal lagi, aku udah punya tunangan.”
“Bohong!” seru Sony. “Kamu masih di bawah umur, gak mungkin udah punya tunangan. Kamu mau nikah di bawah umur? Gak boleh itu, Mava.”
“Ya sekarang aku masih tunangan, tapi aku sama tunangan aku bakalan nikah waktu umur kami udah dewasa.”
“Jadi, maksudnya ini pernikahan perjodohan?” Sony mendengus. “Emangnya kamu ini Siti Nurbaya hah?”
“Mava.”
Mava dan juga Sony dengan kompak menolehkan kepala mereka ke sumber suara. Sebelah alis Mava bahkan terangkat setelah mengetahui siapa yang memanggilnya. Arion.
Di dalam hatinya Mava bertanya, kenapa Arion bisa tahu dirnya ada di sini?