Ada seorang gadis duduk di ujung ruang kelas dengan kedua tangannya melipat memegang siku saling bersedekap. Matanya yang sayu menatap jauh ke luar jendela, dia duduk tenang dengan menikmati lamunannya, bahkan keramaian di kelas sama sekali tak mengusiknya. Dia selalu sendiri tak ada teman disampingnya, kesepian yang selalu datang kian membunuhnya. Keberadaannya hampir saja tak disadari oleh temannya padahal dia selalu berada di kerumunan, hanya saja dia tak pernah terlihat di mata temannya. Hingga suatu saat, ada salah satu teman kelasnya yang menghampirinya. Bella, nama temannya.
“Hei, Na..na.. siapa namamu?” sapa Bella sambil menepuk bahunya.
“Naysla, namaku Naysla.” sahutnya yang langsung terbangun dari lamunan.
“Ohya, ya itu, maksudku Na..Naysla, kenapa kau masih disini? Lihat teman-teman sudah menuju lapangan basket. Sekarang kelas kita tanding kau tak ingin pergi kesana?” ujar Bella.
“Oh oh iya, iya aku akan kesana.” jawab Naysla terbata-bata.
Naysla sungguh senang ada seorang teman yang mengajaknya bicara. Naysla segera menyusul Bella menuju keluar kelas. Secepat Bella dan teman-temannya pergi secepat itu pula Naysla menyusul dari belakangnya. Selalu begitu, Naysla berjalan diantara teman-temannya di barisan paling belakang dan berjalan sendiri. Sesampainya di tempat duduk tribun penonton, Bella dan teman-temannya segera menempati tempat duduk dan terlihat asyik mengobrol. Naysla pun duduk di belakang mereka dan ikut mendengarkan perbincangannya.
“Eh, teman-teman kita pindah ke depan yuk, ada yang masih kosong.” sahut salah satu temannya.
Mereka semua bergegas pindah ke tribun yang paling depan. Naysla pun memberanikan diri berbicara dengan Bella sebelum Bella bangun untuk pindah.
“Bella, aku boleh ikut duduk di depan juga?” tanya Naysla.
“Na..Na..” jawab Bella terbata-bata yang tak hafal namanya.
“Naysla, namaku Naysla, Bella.” sahut Naysla.
“Oh iya, Naysla. Kau bersama kami disini? Sejak kapan? ” sahut Bella.
“Aku dari tadi…” ucapan Nasyla terpotong.
“Ohya, aku duluan ya, di depan hanya cukup untuk aku dan mereka, bye.” Bella bergegas pergi meninggalkan Naysla tanpa menyelesaikan pembicarannya.
Di tribun penonton paling belakang, Naysla duduk sendiri menikmati pertandingan basket. Tak disadari sampai akhir pertandingan dia memandangi seseorang yang sedang ikut tanding dari kejauhan. Keesokan harinya di taman, Naysla makan seorang diri. Saat kerumunan lewat dia memberanikan diri untuk tersenyum berharap mereka membalas senyumnya atau sekedar menyapanya. Namun, tak ada yang menghiraukannya. Beberapa menit kemudian dia menuju ke perpustakaan, sesampainya disana terlihat sudah banyak yang memenuhi tempat itu, tak terkecuali Bella dan teman-temannya. Ketika mengetahui disana ada Bella, Naysla segera menghampirinya. Namun, Naysla tak bisa temukan cara untuk berbincang dengannya, dia terus menyembunyikan diri. Ketika sekerumunan lewat dihadapannya, dia akan pura-pura sibuk. Naysla pun mencoba lagi menghampiri teman-temannya yang lain awalnya dia mencoba segalanya untuk menyesuaikan diri, tetapi temannya tampak membiarkannya. Ketika semua orang yang dihampirinya satu per satu pergi, dia kan pejamkan mata dan meski ia mencoba untuk selalu tersenyum ada sesuatu yang tersembunyi.
Kesendirian dan kesepian sedang menikamnya secara pelahan-lahan. Dia berjalan menundukkan wajah, sulit sekali rasanya untuk menyembunyikan kesedihannya. Dia terus merenungi keadannya kini. Air matanya selalu tertahan di kelopak matanya yang sayu ia tak akan menangis dihadapan sekerumunan orang, tak akan bisa. Rasa kesendirian yang melekat ditambah dengan perasaan hampa di hatinya. Tiba-tiba saat pergi dan turun menuju tangga, dia terjatuh. Semakin keras mereka tertawa, tiap kali Naysla mencoba bangun dia 'kan terjatuh. Saat dia memejamkan mata, semua terlihat jelas apa yang dipikirannya. Dia sadar keberadaannya tak diakui, tak dianggap dan tak dibutuhkan oleh mereka.
Sekarang atau besok baginya tak ada beda. Lelah, tak puas, terhanyut dalam suasana hati yang tak kunjung lepas. Dia terus membenamkan kepalanya di kedua telapak tangannya. Nona Tak Terlihat, sepatah kata yang sudah terlanjur melekat dalam dirinya. Malam ini dia mengayuh sepedanya pulang secepat mungkin. Tak ada yang tahu, bahkan angin kala itu tak membantu mengusap air matanya yang jatuh. Bukan karena sudah tak tahan atas segala sesuatu yang terjadi, dia sudah terbiasa menghadapi sekelumit keadaan seperti ini. Namun, temannya tak memberi kesempatan diriya hanya untuk sekedar didengarkan dan diperhatikan. Saat pertandingan basket kelasnya berhasil masuk babak final, kelasnya memulai diskusi untuk memilih warna baju suporter. Naysla mencoba mengajukan pendapat di depan teman-teman sekelasnya, alhasil dia masih diabaikan walaupun mereka akhirnya memutuskan memilih warna yang sama seperti usulannya.
Esoknya sama seperti kemarin, hanya saja masih menunggu waktu akan datang seseorang yang menyapa dan memahami dirinya. Sayangnya, dia pulang dengan tak ada yang berubah. Sesaat dia memandang seorang lelaki berdiri di ujung jalan di bawah lampu. Pipinya yang basah karena melepaskan semua kesedihannya terlihat senyumnya mulai mengembang. Dia tak tahu mengapa bisa tersenyum saat hatinya berkecamuk. Tatkala dia melambatkan ayuhan sepedanya melewati dan memandang lelaki itu lebih dekat, sesegera langsung dia berusaha mengayuh sepedanya lebih cepat. Bahkan, setelah berada cukup jauh dia masih tersenyum dengan rona merah di wajahnya yang mulai muncul.
Rasyid nama lelaki itu, Naysla tak menyangka dia akan menyukai teman sekelasnya. Rasyid adalah seseorang yang ia perhatikan sejak pertandingan basket kala itu, dia membuat Naysla tak pernah lewatkan untuk menonton latihan basketnya. Naysla selalu pulang terkahir untuk melihat Rasyid dengan berdiri menunggu datangnya bis di bawah lampu di ujung jalan. Ketika Naysla mengayuh sepedanya melewati Rasyid, dia selalu mengayuh lebih cepat dan tak ingin Rasyid mengetahui keberadannya. Naysla selalu memperhatikan Rasyid secara sembunyi-sembunyi ia tak paham apa yang sedang terjadi pada dirinya. Ketika dia ingin sekali untuk diperhatikan, diakui, dan dianggap keberadaannya oleh teman-temannya, tetapi sebaliknya ia tak ingin diketahui keberadaannya oleh Rasyid. Dia menarik napas dalam-dalam di depan cermin.
“Apa yang sedang kulakukan, bukankah aku ingin diperhatikan dan diketahui keberadaanku oleh Rasyid juga? Tapi, mengapa aku melakukan hal seperti ini? Sembunyi-sembunyi dan pura-pura tak memperhatikannya. Kalaupun dia tidak tahu aku menghabiskan waktu memikirkannya bukankah aku ingin memiliki teman? aku takut jika dia memperlakukanku seperti teman-teman yang lain. Ah, sudahlah.” batin Naysla.
Hari ini adalah pertandingan final basket kelasnya melawan kelas lain. Semua teman-temannya sibuk untuk mendukung tim basket kelasnya dan mengerahkan segala kemampuannya untuk menjadi suporter terbaik, tak terkecuali Naysla, dia juga ingin membantu kelasnya. Saat berangkat ke sekolah sepeda Naysla tak bisa jalan terpaksa ia mencegat taksi untuk segera sampai di kelas, dia tak ingin jika sampai terlambat. Di tengah perjalanan Naysla melihat bis yang dinaiki Rasyid ternyata mogok. Naysla tak ingin Rasyid terlambat dalam pertandingan final ini. Tanpa berpikir panjang, Naysla keluar dari taksi dan menyuruh sopir untuk mengantarkan Rasyid ke sekolah, Naysla pun jalan kaki menuju ke sekolah. Di kelas, teman-teman menyambut kedatangan Rasyid dan tim basket lainnya.
“Rasyid, selamat berjuang ya, menangkan pertandingan ini demi kelas kita.” sahut salah satu temannya.
“Kita semua akan mendukungmu, semangat tim basket Rasyid.” ujar temannya.
Tak sengaja, saat mereka berkerumun mendekati Rasyid untuk memberi semangat dan dukungan. Tiba-tiba, salah satu temannya tak sengaja menumpahkan air minum ke baju Rasyid.
“Hei, apa yang kau lakukan? ini baju pertandinganku satu-satunya dan sekarang basah.” teriak Rasyid.
Rasyid pergi dari kelas melepas bajunya dan mengganti dengan baju yang lain. Melihat hal tersebut, Naysla ingin membantunya. Rasyid tak mungkin ke pertandingan basket tanpa baju tersebut. Setelah Rasyid pergi, Naysla segera mengambil baju itu dan mencari cara untuk mencuci dan mengeringkan baju Rasyid. Beberapa saat kemudian, Naysla berhasil menemukan pinjaman seterika untuk segera mengeringkan baju Rasyid. Pertandingan akan dimulai, Rasyid yang menemukan bajunya sudah kering segera memakainya dan menuju lapangan basket.
Di tribun penonton, Naysla melihat ada sesuatu yang bermasalah terjadi dengan tim cheerleaders kelasnya. Naysla segera turun menghampiri mereka, terlihat tangan teman-temannya gatal-gatal. Mereka salah memakai lotion sehingga tim cheerleaders kelasnya terlambat untuk tampil. Naysla segera berlari menuju UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk menemukan obatnya. Saat mau memberikan obatnya kepada teman perempuannya, dia terhenti memikirkan sesuatu.
“Jika aku yang memberikan obat ini, apa mungkin teman-teman menghiraukanku dan menerimanya? Sebaiknya aku berikan kepada Bella dengan begitu teman-teman pasti akan menerima pemberian dari Bella.” batin Nasyla.
Akhirnya semua masalah teratasi, beberapa menit tangan mereka sudah tidak gatal. Walaupun di awal mereka sempat terhenti, kali ini tim cheerleaders kelasnya berjalan lancar. Tak dapat sembunyikan kebanggaan, kali ini tim basket kelasnya bisa memenangkan pertandingan yang begitu sengit. Semua ini tak terlepas dari bantuan Naysla dia sungguh puas bisa membuat teman-temannya bahagia. Walaupun tak bisa merayakan bersama atas kemenangan ini, Naysla bisa merasakan rasa bahagia teman-temannya terutama perasaan Rasyid. Perjalanan pulang gesekan kakinya mengisak-isak pasir yang diinjak, angin melewati wajahnya, hatinya terasa lega sesaat, tetapi dalam pikirannya masih melekat keberadaanya yang tak disadari oleh temannya.
“Rasyid.” ucap batin Naysla yang terlintas dalam pikirannya. Ia akan menunggu datangnya hari saat Rasyid akan memanggil namanya.
“Naysla.” ucap Rasyid.
“Kenapa ada suara itu di pikiranku, tak mungkin dia memanggilku.” ucap Naysla bingung.
Naysla penasaran dengan suara itu dan ia segera menoleh kebelakang. Melihat Rasyid berada di belakangnya, Naysla terbungkam seribu bahasa ia sangat terkejut.
“Menyesuaikan diri, mendekati mereka, mencoba menanggapi, bahkan menyisakan waktu untuk berkorban menolong teman-teman tanpa mereka tahu, kau akan lakukan.” ucap Rasyid memulai pembicaraan pertama kalinya dengan Naysla.
“Rasyid, apa yang sedang kau bicarakan?” Naysla terkejut.
“Aku memperhatikanmu selama ini Naysla, kau yang membantuku supaya tidak terlambat di pertandingan, kau juga yang membantu agar bajuku kering kembali dan kau yang membantu teman-teman menyembuhkan tangan mereka.” ujar Rasyid.
“Kau tahu semua itu? Lalu kenapa kita tak saling kenal sejak itu? Kenapa kau membiarkanku sendiri? Kenapa kau tak pernah menyapaku? Hmm aku sadar kau tak mungkin mau berteman denganku.” ujar Naysla menghela napas.
“Aku tak perlu semua itu karena aku sudah mengenalimu dengan sangat baik, Naysla.” jawab Rasyid.
“Rasyid kau memang tak mengerti rasa kesepian tanpa teman, tanpa diperhatikan dan diakui.” sahut Naysla.
“Kau tahu, aku terus membayangkanmu disini di sampingku hanya itulah caraku tuk melihat dengan jelas dirimu. Naysla, percayalah suatu hal yang menyakitkan bukanlah saat kau sendiri lalu merasa kesepian, tapi ketika kau memiliki banyak teman namun masih merasakan kesepian.” terang Rasyid sambil menatapnya.
“Apa maksudmu?” Naysla mulai memikirkan arah pembicaraan Rasyid.
“Percuma saja kita dikelilingi banyak teman jika kau tak bersama dengan orang yang ada di hatimu. Naysla, aku akan merasa lebih kesepian jika aku tak bisa disampingmu.” terang Rasyid.
Untuk pertama kalinya, Naysla tak bisa menahan air matanya di depan seseorang.
Terharu