Sore ini, akhir pekan, hari Sabtu, minggu terakhir bulan Mei, Yura sudah siap di kamarnya.
Tengah berdiri di depan standing mirror, memperhatikan lagi pakaian yang ia kenakan sekarang. Seharusnya dengan kaos putih berkerah soft pink dan rok lipit warna coklat muda, tidak terlalu berlebihan, kan?
"Hm, apakah aku ganti baju lagi aja?"
Seakan memintanya untuk berhenti lebih menghancurkan kamarnya lagi, ponselnya tetiba berdering.
Secepat kilat Yura mencari ponselnya yang seharusnya berada di atas kasur. Tapi ini karna ulahnya yang mengeluarkan pakaian-pakaiannya di atas kasur, mencari ponsel itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Begitu menemukan ponselnya—untungnya—dia langsungmenekan tombol menjawab. Senyum di wajahnya terbit dengan cerahnya secerah langit di depan saat melihat Minhyuklah yang menghubunginya.
"Aku sudah sampai di parkiran. Dan tolong, pelan-pelan saja turunnya." Yura semakin tersenyum saat mendengar suara lelaki itu.
"Baiklah. Aku turun dulu." Lalu telepon itu diakhiri.
Dengan hati yang sangat menantikan hari ini, dan senyum yang tak kunjung pudar, Yura turun ke parkiran.
Senyumnya semakin merekah saat melihat Minhyuk sedang bersandar di mobilnya dan tersenyum seraya melambaikan tangan padanya. Yura semakin mempercepat langkahnya sampai ke depan Minhyuk.
"Kau terlihat lebih cantik hari ini," kata Minhyuk santai, masih tetap menatap perempuan yang berdiri di depannya ini.
Yura?
Kalian bertanya bagaimana Yura sekarang?
Sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak jatuh karna kakinya terasa berubah menjadi jeli dan menahan diri agar tidak memukul lelaki di depannya karna dia benar-benar tersipu mendengarnya.
"Lebih baik kita masuk saja dan cepat pergi. Sebelum malam tiba," ujar Yura akhirnya, menahan senyum tersipunya, bergerak untuk membuka pintu mobil.
Tapi sebelum dia sempat melakukannya, pintu itu sudah dibuka duluan oleh Minhyuk. Lelaki itu dengan senyum manisnya menjawab pandangan bertanya Yura, mempersilahkannya untuk masuk dan duduk dengan manis.
Tak lupa tangannya juga diletakkan di atas tempat pintu, berjaga-jaga agar tidak sakit kalau Yura kepentok.
"Nah, jangan lupa juga memakai seatbelt juga." Setelah selesai memasangkannya, Minhyuk berlari memutar, masuk ke dalam mobil, duduk dengan nyaman di kursi pengemudi. Lalu mobil itu perlahan keluar dari parkiran dan melaju di jalan raya.
***
Langit sore di Han-gang sangat, sangat cantik. Memang belum ungu, hanya mulai oranye yang menyatu dengan alami dengan biru langit.
Angin berhembus pelan, tidak panas sama sekali.
"Cuaca yang pas untuk date," gumam Yura tanpa sadar saat berjalan menuju tempat sewa sepeda.
Minhyuk yang disampingnya, dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Dia tersenyum jahil, menoleh perempuan ayng sepertinya tidak sadar kalau dia menyuarakan pikirannya sendiri. "Date?"
Yura menoleh dengan polosnya, "ng?" Matanya mengerjap beberapa kali sampai akhirnya sadar kalau dia barusan menyuarakan pikirannya sendiri tanpa sadar.
Langsung, Yura langsung menoleh ke arah lain sambil menggigit bibir bawahnya menyesal. Tangannya memukul pelan kepalanya dua kali. Malu banget. "Aish, Han Yura. Kau ini benar-benar," gumamnya.
Senyum Minhyuk semakin lama semakin lebar sampai menjadi tawa kecil yang mengundang tatapan bingung Yura, yang akhirnya jadi ikut tertawa juga. Tawa formalitas sedikit bercampur dengan malu. "Kenapa kau tertawa?"
"Gwiyeowosseunikka. Selalu seperti itu. Tidak sadar kalau kau menyuarakan pikiranmu sendiri." Minhyuk berdeham, mengatur napas. "Gwaenchanha. Aku memang ingin mengajakmu keluar untuk date. Tapi belum tahu mau kemana." (Karna kau lucu; tak apa)
"Hey." Yura seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar sekarang.
"Apa? Aku serius, kok. Aku sempat bertanya-tanya enaknya mengajakmu untuk date. Maunya first date itu yang akan berkesan dan membekas di kotak memorimu. Tapi kalau kau mau menganggap ini date..." Minhyuk tersenyum jahil. "Kita anggap ini first date, oke?"
Yura terdiam, menahan senyum yang hampir tidak tertahankan. "Kau meledekku, ya?"
Minhyuk menggeleng cepat, langkahnya terhenti. "Aku serius. Tidak ada salahnya kan untuk mencobanya? Denganku?" Raut wajahnya berubah sedikit serius. "Atau kau tidak tertarik denganku?"
"Ye?" Yura langsung menggeleng kuat.
"Jadi kau tertarik?" tanya lelaki itu lagi dengan senyum jahil.
Ah astaga.
Yura seperti sedang dikerjai disini. Dia membuang wajahnya sembarang arah, menyembunyikan senyum gemasnya.
"Hei, Han Yura-ssi. Jawab aku." Minhyuk menoek-noel bahu Yura dengan iseng.
"Ayo cepat kita pilih sepeda saja," kata Yura, dengan tanpa sadar lagi menarik tangan Minhyuk.
"Kalau kau mau memegang tanganku, kau bisa bilang loh, tanpa menarikku seperti ini," goda Minhyuk.
Yura yang baru sadar, langsung melepaskan tangannya. "Astaga. Maaf, aku tidak sadar."
Tapi tidak, tangan itu tidak terlepas.
Dengan cekatan Minhyuk berganti sebagai orang yang menarik tangan perempuan itu dan menggenggamnya erat. Tidak membiarkan satu jaripun bisa lepas, sekarang, ataupun nanti. "Kalau begitu biar aku saja yang melakukannya. Dengan sangat sadar," katanya penuh penekanan.
Senyumnya tak sirna sama sekali sedari Yura bertemu dengannya hari ini.
Sesekali Minhyuk mengusap punggung tangan Yura, memberi rasa yang sulit Yura deskripsikan sekarang. Seakan-akan kupu-kupu kembali terbang di perutnya.
***
Roda-roda sepeda itu terus berputar seirama dengan goesan yang dilakukan kedua orang itu. Senyum saling dilemparkan, seakan dunia hanya milik mereka berdua. Padahal disana juga terdapat beberapa orang duduk. Entah sedang jog, bersepeda, mengobrol, piknik kecil sambil melihat langit. Yah, memang tidak banyak. Tapi semua itu seakan tidak ada bagi dua manusia ini. Seakan mereka hanya berdua saja.
Kalau Minhyuk bisa menggambarkannya lewat foto, mungkin yang lainnya itu abu-abu, hanya dia dan Yura-lah yang berwarna. Di atas mereka ada burung-burung yang terbang tinggi, dedaunan sedikit bergoyang karna hembusan angin.
"Ayo coba kejar aku!" seru Yura semakin mempercepat kakinya untuk menggoes pedal sepeda. Minhyuk tentu saja bisa mengejarnya dengan cepat, dan itulah yang ingin ia lakukan sebenarnya, tapi ia harus tetap di belakang atau di samping Yura, jadi dia bisa dengan cepat menolongnya kalau Yura kenapa-kenapa.
"Jangan terlalu cepat. Nanti kau kehilangan keseimbangan!" teriak Minhyuk memperingatkan.
Untunglah mereka bersepeda di tempat yang tidak terlalu ramai orang.
"Aku tidak akan jatuh. Tenang saja~!"
Tapi kata-kata itu tidak sepemikiran dengan apa yang terjadi sepersekian detik kemudian. Karna sepeda itu langsung oleng parah, membuat Mihnyuk menahan napasnya dan dengan cepat menghampiri Yura yang sudah berpisah dengan sepedanya.
"Kau terluka?" Lelaki itu langsung melompat dari sepeda yahg terkapar di jalan, memeriksa dengan teliti apakah ada luka pada Yura.
Yura menggeleng, bahkan masih bisa menyengir. "Aku hanya kehilangan keseimbangan saja." Minhyuk menghela napas berat, tak habis pikir dengan perempuan ini.
"Ish, kau ini. Duduk dulu kalau begitu. Tidak perlu kau suruh aku mengejarmu, pun, aku sedang melakukannya," kata Minhyuk sambil melepaskan jaket hitamnya dan menyampirkannya pada kaki Yura yang sudah lebih dulu duduk di kursi terdekat.
Sementara itu, secara bergantian, Minhyuk menggiring kedua sepeda yang terbaring terkapar itu dan memarkirkannya di dekat mereka.
Yura tersenyum sendiri. Minhyuk seakan menjadi orang yang baru.
Atau mungkin... Minhyuk memang orang yang seperti ini sebelumnya.
"Kenapa kau tersenyum seperti itu?" tanya Minhyuk yang ikut tersenyum tipis tapi sorot khawatir masih ada disana.
Kepalanya menggeleng," kalian berdua kakak beradik ternyata memang iseng, ya?"
Kedua bahu Minhyuk terangkat, jahil. "Begitulah. Kau benar tidak apa-apa?" Matanya kenbali menyelidik.
"Aku baik-baik saja!" Dengan semangat, Yura memperlihatkan kaki dan tangan yang mukus tidak terdapat luka gores sedikitpun. Yah, walaupun sejujurnya pergelangan kakinya agak sakit, sih. Mungkin hanya keseleo dikit.
"Ck. Jangan seperti itu lagi," ucap Minhyuk singkat dan dijawab dengan anggukan kepala Yura.
Sempat hening sesaat, hanya terdengar suara burung berkicau pelan dan gemerisik daun akibat angin. Keduanya seakan memutuskan untuk menikmati momen bersama ini sejenak, sebelum akhirnya Yura membuka suara kembali.
"Kau... seperti orang yang berbeda." Yura menggeleng kepala lagi. "Sepertinya inilah yang Minjun maksud. Kau memang orang yang hangat, dan suka tersenyum."
"Minjun-ie ga geurae?" (Minjun berkata begitu?)
Tangannya dengan sopan mengambil tangan Yura, menggenggamnya dengan sayang. Matanya memandang Yura dalam, tapi hangat. Bukan yang menyeramkan.
"Iya. Katanya kau bukan orang yang dingin dan tidak berperasaan."
Minhyuk mengangguk membenarkan. "Kau juga sudah tahu alasannya, kan."
Yura mencolek bahu Minhyuk, untuk sedikit mendekat. "Aku juga tertarik padamu," bisiknya saat Minhyuk mendekat.
"Gabjagi?" (Tiba-tiba?)
"Ani... Maksudnya, aku menjawab pertanyaanmu tadi. Aku tertarik padamu. Menyukaimu."
"Gobaek-in ga igeo?" Dengan halus, Minhyuk kembali mengelus tangan yura, matanya menatap fokus walaupun perempuan itu sedang tidak melihatnya sekarang. (Apakah ini pengungkapan perasaan?)
"Kau bisa menganggapnya seperti itu," katanya sambil mengangguk pelan.
Minhyuk diam sebentar sebelum kembali bersuara. "Kalau begitu, aku tidak terima."
Yura langsung menoleh terkejut. "Kok begitu?"
Minhyuk tersenyum penuh arti. Tapi Yura sudah tidak ada tempat kosong lagi untuk memikirkan arti senyum itu di kepala. Karna Yura sudah memikirkan beberapa kemungkinan kenapa Minhyuk berkata seperti itu. Dan kebanyakan yang muncul adalah yang buruk.
"Tarik dulu kata-katamu," kata Minhyuk santai.
Keningnya berkerut dalam, kecewa. Perempuan itu tidak habis pikir dengan lelaki ini, tapi dia menurut. "Hah... baiklah."
Tangannya sudah hendak menarik diri dari genggaman Minhyuk saat tangan Minhyuk yang lainnya menarik wajah Yura untuk menatapnya. "Han Yura. Nal bwayo," katanya lembut. (Lihat aku)
Susah payah, Yura berusaha untuk tidak memasang raut wajah marah dan sedih. Tapi sepertinya sia-sia. Pasti terlihat. Dirinya masih tetap menolak untuk menatap Minhyuk walaupun wajahnya sudah ditahan untuk menghadap Minhyuk.
Aigoo. Minhyuk jadi merasa bersalah. "Jangan menangis. Aku mengatakan seperti itu karna aku mau jadi yang pertama mengatakannya."
Kedua mata Yura masih melihat sana-sini, menolak untuk melihat Minhyuk.
"Ppijyeosseo? Maafkan aku. Tapi aku mau menjadi orang yang mengatakannya duluan," ujar Minhyuk menjelaskannya lagi. (Kau ngambek, kah?)
Akhirnya Yura menatap Minhyuk. "Tapi kau seperti menolakku tadi." Kalian mengerti, kan, maksudnya Yura?
Tangan Minhyuk terangkat perlahan, jemarinya menyentuh pipi Yura dengan lembut yang membuat napasnya tertahan sejenak. Sentuhannya begitu lembut dan terasa hangat. Tatapannya dalam, penuh perasaan yang tak terucap, sebelum akhirnya dia mendekat.
Yura hampir bisa merasakan detak jantungnya sendiri yang semakin cepat ketika wajah Minhyuk semakin dekat. Lalu, bibirnya menyentuh keningnya dalam kecupan yang lama—bukan sekadar sentuhan singkat, tapi sesuatu yang terasa lama dengan banyak makna. Hangat. Tenang. Seakan ada perasaan yang tersampaikan dalam keheningan.
Minhyuk memejamkan matanya, dan Yura yang awalnya terkejut, tanpa sadar ikut menutup matanya juga. Untuk sesaat, dunia terasa melambat. Seakan hanya ada mereka berdua dalam gelembung balon yang begitu rapuh tapi cantik.
Lalu dua kata itu terdengar, suaranya lembut namun jelas, langsung menghantam hati Yura.
"Aku menyukaimu."
Begitu sederhana, tapi terdengar begitu manis. Senyumlebar perlahan merekah di wajah Yura, menghangatkan dadanya. Satu tangan Minhyuk masih bertengger di pipinya, ibu jarinya mengusap lembut di sana."Jadi? Kau juga menyukaiku?"
Yura menundukkan wajah, membuang pandangannya sebentar sebelum akhirnya mengangguk malu. Pipinya sudah merona, dan meski tanpa kata, jawaban itu lebih dari cukup.
Minhyuk tersenyum, senyum yang tidak bisa ia tahan. Alih-alih menarik Yura ke dalam dekapannya, ia memilih untuk mendekat sendiri, menyesuaikan dirinya, lalu melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh gadis itu dalam pelukan yang hangat.
Yura sempat terkejut, tapi sama sekali tidak berniat menghindar. Sebaliknya, tubuhnya ikut bergerak, membalas pelukan itu dengan kedua lengannya yang perlahan melingkar di punggung Minhyuk.
Dalam keheningan yang nyaman, suara Minhyuk terdengar di dekat telinganya.
"Geureom oneulbuteo il-il?" (kalau begitu, ini hari pertama kita?)
Anggukan mantap diberikan dalam pelukan itu—sebuah jawaban tanpa ragu.
Perlahan, pelukan mereka merenggang, tetapi wajahmereka tetap dekat. Sangat dekat hingga Yura bisa merasakan hangatnya napasMinhyuk menyapu kulitnya. Mata mereka bertemu, dapat melihat sirat bahagia di wajah masing-masing.
Di belakang mereka, langit mulai berpendar oranye, memancarkan semburat warna keemasan saat matahari perlahan tenggelam. Cahaya senja yang lembut memperindah siluet dua manusia yang sedang tenggelam dalam dunia mereka sendiri.
Minhyuk menatap Yura dalam-dalam, seolah ingin mengingat setiap detail di hadapannya. Lalu, perlahan, ia mendekat—menghapus sisa jarak di antara mereka.
Bibirnya menyentuh bibir Yura dalam kecupan singkat, terasa manis. Tapi seiring detik yang berlalu, kecupan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Tak perlu dijelaskan, bukan? Haha.
Dan Yura juga tidak tinggal diam. Kedua tangannya terangkat, melingkar erat di leher Minhyuk, menariknya lebih dekat, memperdalam ciuman yang mereka bagi. Rasanya bahkan jantung mereka berdetak dalam ritme yang sama, begitu dekat hingga dunia di sekeliling terasa menghilang.
Saat akhirnya mereka berpisah, napas keduanya tersengal.
Dahi mereka masih bersentuhan, bibir mereka masih menyisakan hangatnya satu sama lain. Dan langit senja di belakang mereka semakin terlihat cantik, seakan ikut tersenyum, ikut menjadi saksi bisu kisah yang baru dimulai.
Minhyuk mengusap wajah Yura dengan sayang, lalu berbisik lembut, suaranya terdengar begitu tulus, begitu jujur. "Aku benar-benar sudah menyukaimu. Terima kasih karena tidak menyerah padaku yang tak berkesan baik."
Setelah itu, ia kembali mengecup wajah Yura, lembut dan penuh perasaan, sebelum menariknya lagi dalam pelukan. Yura tidak berkata apa-apa. Hanya tersenyum dalam diam, membiarkan dirinya larut dalam kehangatan Minhyuk. Berharap ke depannya hal baik selalu terjadi pada mereka.
[THE END]