Flashback ke hari setelah pemakaman selesai.
Matanya berat.
Itu hal yang wajar—lumrah, kalau kata orang—ketika seseorang kehilangan orang terdekat. Apalagi bukan hanya satu, tapi dua sekaligus.
Minhyuk bahkan nyaris tidak bisa membuka matanya sendiri. Selama tiga hari penuh berjaga di rumah duka, ia menunjukkan diri yang tegar. Tidak rapuh, tidak tumbang, seolah semua baik-baik saja. Ia masih sempat membantu mengedarkan makanan kepada para pelayat, membungkuk sopan, menyambut mereka satu per satu.
Memang tak ada yang melihatnya tersenyum, tapi tak ada juga yang melihatnya menangis.
Melihat Minhyuk duduk saja rasanya seperti momen yang langka. Entah sudah berapa banyak orang yang menyuruhnya istirahat, menyuruhnya duduk barang sebentar aja. Tapi ia menolak semuanya.
Minhyuk berjalan, berdiri, berjalan lagi. Tak pernah berhenti. Seolah kalau ia diam, ia akan runtuh.
Malam pun tak jadi tempat istirahat. Ia hanya bersandar di lantai depan meja di ruang duka, memejamkan mata tanpa benar-benar tidur.
Minjun, yang saat itu masih mahasiswa kedokteran, sampai mengajukan cuti seminggu dari kampusnya demi membantu di pemakaman.
"Hyung, tidurlah di ruang jaga. Biar aku gantikan di sini," katanya pelan sambil mencoba membangunkan kakaknya. Tapi tubuh Minhyuk terlalu berat untuk digerakkan, baik secara fisik maupun emosional.
"Gwaenchanha. Kau aja yang tidur. Aku tidak mengantuk."
Itu kalimat yang selalu keluar setiap kali seseorang menyuruhnya beristirahat. Sampai akhirnya... semua orang menyerah.
Bahkan di hari pemakaman, Minhyuk tetap tak menangis. Dari awal hingga liang ditutup, dari orang datang hingga semua pergi, tak ada satu tetes air mata pun jatuh dari matanya.
Dan orang-orang mulai bertanya-tanya.
Apakah Minhyuk tidak sedih? Atau... apakah dia justru terlalu sedih hingga tak bisa menangis?
Dan jawabannya... yang kedua.
Tak ada yang tau seberapa keras Minhyuk menangis... sendirian.
Begitu sampai di apartemen, pintu tertutup dan terkunci di belakangnya. Lampu sensor otomatis mati, ruangan seketika gelap. Saat itulah, air mata pertamanya jatuh.
Awalnya pelan. Satu, dua tetes.
Tapi kemudian berubah menjadi deras seperti hujan. Minhyuk jatuh berlutut, lututnya membentur lantai keras dengan dentuman menyakitkan. Tapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan yang ada di dalam dadanya.
Ia menenggelamkan wajahnya ke lipatan lengannya. Menggigit bibir bawah sekuat mungkin, mencoba meredam suara tangis yang begitu menyayat hati.
Suara tangis mengisi apartemen gelap malam itu.
Kehilangan satu orang aja sudah cukup menyiksa. Tapi Minhyuk kehilangan dua—dan yang paling menyakitkan, itu semua karena dirinya sendiri.
Kalau saja ia tidak meminta Minhyun untuk mengantar Nahee ke tempat penjahit...
Kalau saja meeting itu tidak datang mendadak, hingga mereka harus mengganti jam janji...
Mungkin... hanya mungkin, ia tidak akan kehilangan keduanya.
Beberapa saat kemudian, tangisnya mulai reda, tersisa isakan kecil yang masih mengguncang bahunya. Dengan langkah terseok, Minhyuk menyeret tubuhnya ke kamar mandi. Menyalakan keran air hangat dan membasuh wajahnya.
Begitu melihat pantulan wajahnya di cermin, ia terdiam. Matanya sembab, membengkak begitu parah hingga sulit terbuka. Tidak heran ia merasa berat.
Ia sudah menangis sekuat tenaga, menangis untuk tiga hari yang ia tahan—menangis untuk sebuah kehilangan yang tak bisa digantikan.
Usai mandi, Minhyuk duduk bersandar di lantai, menyandarkan punggung pada rangka tempat tidur. Matanya menatap kosong sebelum tangannya perlahan mengambil tas yang dibawa Nahee hari itu.
Ia diam sejenak. Mengambil napas dalam, menenangkan diri. Barulah ia membuka ritsletingnya, satu per satu.
Isi tas itu terasa familiar. Dompet tosca yang dulu ia berikan saat ulang tahun Nahee. Ponsel dengan wallpaper mereka berdua. Makeup pouch kecil berwarna krem.
Sangat Nahee sekali.
Tanpa sadar, Minhyuk tersenyum perih.
Dan... sebuah buku harian. Buku yang sering ia lihat, tapi tak pernah ia sentuh—karena ia menghargai privasi Nahee.
Dengan tangan bergetar, ia membuka halaman-halamannya. Tulisan tangan Nahee memenuhi lembar demi lembar. Cerita keseharian, kisah kecil mereka, momen-momen manis yang pernah dilewati bersama.
Sampai di satu halaman, sesuatu membuat napas Minhyuk tercekat.
Sebuah foto tertempel di situ. Nahee... bersama seorang lelaki yang sangat ia kenal.
Minhyun.
Saudara kembarnya.
Mereka berdua berpose di sebuah kafe. Nahee memajukan wajah seolah hendak mencium pipi Minhyun, dan Minhyun—tersenyum malu. Di bawah foto itu, tertulis sebuah tanggal, dan satu kalimat...
'Uri cheot deitteu. Yeongwonhi hamkke haja, Oppa<3' (Kencan pertama kami. Ayo bersama selamanya)
Tangan Minhyuk gemetar. Matanya kembali basah.
Apa maksud semua ini?
Tapi ia belum bisa berhenti. Belum.
Tangannya terus membuka halaman berikutnya, walau ia tahu... tiap lembar yang terbuka akan mengiris hatinya lebih dalam.
Dengan tangan yang bergetar hebat saat membuka halaman selanjutnya dari buku harian itu, helaan napasnya semakin berat. Dan di sanalah...
Beberapa foto polaroid terjatuh dari sela-sela buku. Satu persatu, foto-foto itu berserakan di pangkuannya.
Minhyuk menunduk, tangannya gemetar saat mengambilnya satu per satu.
Foto pertama—Minhyun dan Nahee sedang duduk berdua di sebuah bar, tertawa lepas sambil memegang gelas cocktail. Pose mereka dekat. Terlalu dekat.
Foto kedua—mereka di Namsan Tower, berdiri di depan pagar penuh gembok. Di salah satu gembok, tertulis jelas.
Minhyun <3 Nahee
Minhyuk tercekat. Tenggorokannya kering. Tangannya semakin gemetar hebat, seperti tak sanggup lagi menggenggam apa pun.
Dan di antara semua foto itu, ada satu yang membuat tubuh Minhyuk mendadak kaku.
Satu foto yang menarik perhatiannya dan mengiris sisa hatinya. Benar-benar membuat dunianya runtuh hebat.
Sebuah gambar kabur tapi jelas.
Minhyun dan Nahee berada di atas ranjang. Bersama. Di bawah selimut yang Minhyuk kenal sangat baik.
Selimut bermotif kotak-kotak biru yang pernah ia bungkus rapi sebagai hadiah untuk Nahee saat perempuan itu pertama kali pindah ke apartemen barunya. Ia masih ingat wajah Nahee saat membuka kado itu—senyum lebar dan pelukan hangat, yang kini terasa seperti kebohongan besar.
Minhyuk mematung.
Air mata jatuh tanpa suara. Tidak lagi meledak seperti tadi, tapi mengalir diam-diam.
Sunyi.
Menyakitkan.
Seperti mati perlahan.
Matanya menatap kosong ke arah foto terakhir itu. Tapi yang terasa bukan hanya sakit—tapi juga pengkhianatan.
Orang yang paling ia cintai.
Dan orang yang paling ia percaya.
Nahee.
Minhyun.
Dua orang yang ia tempatkan dalam posisi salah dua paling tinggi dalam hidupnya. Dua orang yang kini tak lagi ada di dunia, namun meninggalkan luka yang bahkan kematian pun tak bisa menyembuhkan.
"Kenapa...?" bisiknya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar.
Pertanyaan itu bukan ditujukan pada siapa pun. Hanya mengambang di udara, menggema di dalam dadanya yang hampa.
Minhyuk menggenggam foto-foto itu begitu erat sampai jarinya memutih. Tapi foto itu tetap ada. Kenyataan tetap nyata.
Dia dikhianati.
Dan sialnya, dia bahkan tidak bisa marah.
Mereka sudah tidak ada.
Tidak ada ruang untuk konfrontasi, tidak ada kesempatan untuk meminta penjelasan. Tidak akan ada permintaan maaf. Tidak akan ada air mata dari mereka. Tidak akan ada alasan.
Yang tersisa hanya dia. Dan kebusukan kebenaran yang terlalu telat terungkap.
Napasnya tercekat, dadanya sesak. Ia membungkuk, menelungkup, menggenggam rambutnya sendiri, menggigit bibir sampai berdarah, mencoba menahan suara parau dari tenggorokannya yang pecah.
Dia menangis lagi. Tapi kali ini bukan karena kehilangan.
Tapi karena dikhianati oleh dua cinta dalam hidupnya.
Karena semua kenangan yang ia anggap indah... ternyata palsu.
Karena semua rasa sayang yang ia beri... ternyata terkhianati.
Karena saat ia masih mengingat hari-hari bersama Nahee sebagai hal yang hangat, ternyata di balik itu semua... Nahee juga mengukir kenangan dengan kembarannya. Dengan cara yang seharusnya hanya miliknya.
Minhyuk menatap langit-langit kamar. Pandangannya buram. Ia tidak tahu harus percaya pada apa sekarang.
Semua orang pergi.
Dan orang-orang yang ia cintai... menyisakan luka yang bahkan kematian tidak cukup untuk menghapusnya.