Mobil hitam SUV perlahan berhenti di depan lobi apartemen Yura. Suara mesin yang mulai memelan dan terhenti, menyadarkannya kalau dia sudah harus berpisah dengan Minhyuk.
Helaan napas terlepas dari Yura secara pelan sebelum dia menoleh sambil menyunggingkan senyum di wajahnya. "Kau sudah merasa baik-baik aja sekarang?" tanyanya, perhatian.
Minhyuk mengangguk. Tangannya sudah tidak berpegang pada setir, melainkan bersedekap depan dadanya. Matanya menatap ramah dan lembut pada perempuan yang sudah menemani harinya hari ini. "Terima kasih karna sudah mau membantuku. Aku mungkin tidak akan bisa membacanya kalau bukan karna kau."
"Aman aja," katanya sambil terkekeh. "Kalau begitu, aku pulang dulu, ya." Tangannya sudah beranjak untuk membuka pintu, tapi terhenti saat Minhyuk menahan lengan kirinya, membuatnya menoleh.
"Hm.. Bolehkah aku meminta sesuatu?"
"Tumben? Boleh aja kalau itu bukan yang macam-macam."
"Bolehkah aku memelukmu?"
"Ye?" Yura jujur aja.. ya dia terkejut. Karna Minhyuk tidak pernah meminta yang seperti itu. Bahkan hal meminta tolong aja baru kali ini. Tapi dia juga tidak masalah, apalagi mengingat yang sudah terjadi padanya hari ini, menurutnya itu wajar aja. "Tentu."
Yura membentangkan tangannya selebar yang ia bisa, membiarkan Minhyuk datang untuk masuk ke dalam pelukannya.
Minhyuk tersenyum tipis, senyum yang tampak letih namun tetap menyimpan pesona hangatnya. Ia sedikit memajukan tubuh, lalu merengkuh Yura ke dalam pelukannya dengan gerakan lembut. Satu tangannya terangkat, menuntun kepala Yura bersandar lebih dalam di dadanya. Tangan yang lain mengunci tubuh Yura erat, seperti tak ingin melepaskan.
"Jinjja gomawoyo, Yura-ssi," bisiknya.
Yura tersenyum, "tidak masalah." Tangannya mengelus punggung lelaki ini dengan perhatian. Berharap bisa memberikan semangat lebih pada lelaki ini.
Beberapa detik kemudian, pelukan itu terlepas. Bohong kalau keduanya berkata kalau tidak merasa ada yang hilang. Tentu ada. Pelukan singkat itu benar-benar hangat. Padahal hanya singkat saja.
"Masuk lah. Ini sudah malam," ucap Minhyuk.
Yura mengangguk patuh, "baiklah. Jangan lupa saranku. Beri tau keluargamu. Karna bagaimanapun, mereka berhak untuk tau. Apalagi itu menyangkut anak mereka juga.'
"Iya-iya," sahut Minhyuk sambil terkekeh pelan. "Masuk lah."
"Sampai ketemu lagi!" ucap Yura sebelum dia menutup pintu mobil dan masuk, menghilang begitu dirinya masuk ke lorong untuk naik lift. Meninggalkan Minhyuk sendiri di mobilnya dengan pikiran yang berputar.
Bagaimana enaknya bilang pada orang tuanya ya?
***
Breath, Go Minhyuk.
Itu lah yang Minhyuk katakan pada dirinya sendiri selama lima menit belakangan ini. Entah sudah berapa kali tarikan dan hembusan napas yang ia telah lakukan. Kakinya menghentak pelan berurutan, tak bisa diam, menggambarkan betapa gelisahnya dia saat ini, berdiri di depan pintu bon-ga nya sendiri. (Rumah Utama)
Masuk
Tidak
Masuk
Tidak
Dia rasa, tidak akan heran kalau bibir bawahnya akan terluka sedikit mengingat betapa seringnya dia menggigit bibir bawahnya sendiri, gusar. Kepalanya menunduk, memilih untuk melihat kakinya sendiri sembari berpikir.
Pikirannya berkecamuk, apakah ia benar-benar harus menceritakannya? Apa reaksi mereka nanti? Dan pikiran yang paling dominan adalah... Bagaimana cara dia menceritakan kembali hal yang sebenarnya dengan sengaja ia tutupi agar cukup hanya dia saja yang kecewa. Karna ini bukanlah hanya menyangkut dia dan Nahee, tapi juga... kembarannya.
Minhyuk sekali lagi menatap pintu depannya dengan lamat, sebelum seseorang menepuk bahunya pelan. "Hyung."
Suara Minjun yang sudah familiar di telinganya itu membuatnya membalikkan tubuh, menatap adiknya dengan... perasaan campur aduk. Dia benar-benar tidak ingin membiarkan adiknya yang selalu dekat dengan dia dan kembarannya ini menjadi kecewa.
"Kau sedang apa berdiri disini?" Minjun menggeser pelan tubuh kakaknya ke samping agar dia bisa membuka pintu rumahnya. "Kenapa kau tidak langsung masuk?"
Tepat sebelum Minhyuk mundur untuk pergi karna sudah berubah pikiran, Minjun sudah menarik tangannya untuk masuk ke dalam rumah. "Eomma, Appa. Hyung datang."
Seketika kedua orangtuanya berjalan untuk menyambut anak sulung mereka dari arah ruang tamu. "Eo? Adeul wasseo? Kenapa kau tidak menelepon dulu? Jadi eomma bisa memasakkan sesuatu untuk kau makan."
Minjun menganga, "eomeoni... Kenapa aku tidak diperlakukan seperti itu, ya?"
Eommanya menyipit dan menepuk pelan bahu anaknya itu. "Kau kan setiap hari juga memakan masakanku."
"Eomma terlalu pilih kasih," canda Minjun sedikit dengan bumbu serius. Sedangkan appa mereka hanya diam saja, memperhatikan.
"Maaf, aku juga dadakan hari ini." Dengan sedikit terpaksa Minhyuk menyunggingkan senyumnya. Senyum pahit sebelum dia akan menumpahkan air panas ke dalam keluarga ini.
"Minjun. Kau mandi dulu, habis pulang dari rumah sakit soalnya," suruh appa pada anak bungsunya itu. Dan dengan cekatan Minjun mengikuti arahan appa, segera masuk ke dalam kamarnya sendiri untuk mandi.
Eommanya mengelus bahu Minhyuk dengan senyuman di wajahnya, senyum yang selalu ia berikan saat Minhyuk datang, senyum yang cukup berbeda jika dibandingkan sebelum insiden menyakitkan untuk Minhyuk itu terjadi. Senyum yang memiliki kekhawatiran di dalamnya.
"Kau duduklah dulu di ruang keluarga. Eomma akan memasakkan sesuatu."
Minhyuk mengangguk patuh, mengikuti langkah appa yang sudah lebih dulu berjalan kesana.
Iya. Lebih baik jika ada sesuatu yang bisa disantap terlebih dahulu, selingan untuk menenangkan pikirannya juga.
***
Makan sore itu berjalan seperti biasa. Jarang ada yang bicara, hanya suara dentingan yang berasal dari sendok garpu bertabrakan dengan piring mereka.
"Kau hari ini jaga malam, kah, Minjun?" tanya appa.
Minjun menggeleng, "aniyo. Aku aja baru pulang tadi loh, Appa." Rasanya sedikit kesal ya karna baru aja pulang langsung ditanya apakah kerja atau tidak. Ckckck
Percakapan barusan mengundang kekehan pelan dari eomma dan Minhyuk yang masih makan.
"Minhyuk-ie. Kau mau tambah sesuatu lagi?" tanya eommanya dengan sorot mata penuh perhatian dan senang karna anaknya datang tanpa diminta.
Minhyuk menggeleng pelan, "ini juga aku masih ada lauk. Geokjeongmayo, Eomma. Nanti aku akan ambil kalau aku kurang lauk atau masih lapar." (Jangan khawatir)
Hanya berselang beberapa menit, semua sudah selesai makan. Piring dengan rapi bertumpuk di tempat cuci piring. Minjun yang bagian membantu eomma untuk membereskan meja makan dan menaruh piring kotor di sink, sementara Minhyuk dengan sigap sudah berdiri depan sink, memakai janggab yang biasa dipakai untuk mencuci piring. (Sarung tangan)
Ini sudah kebiasaan mereka dari kecil. Membantu membereskan meja makan. Kalau ada yang ngambek atau tidak membantu, appanya biasa akan memarahi mereka. Karna semua membantu.
Bahkan appanya pun juga ikut membantu dengan mengelap meja makan sebelum kembali ke ruang keluarga. Eomma sudah sibuk masak dan menyiapkan santapan, jadi hanya ini yang para lelaki bisa lakukan untuk membantu eommanya.
"Taruh di samping situ dulu. Aku masih mencuci yang ini." Minhyuk bicara sudah dengan jelas loh. Tapi Minjun masih dengan sengaja menaruh piring kotor di depannya lagi. Membuat Minhyuk ingin memukulnya. "YA!"
Minjun memang sengaja, sudah terlihat dari cengirannya di wajah tengil itu yang dengan angkuhnya berjalan menjauh dari ruang dapur. "Selamat mencuci, Hyung!"
Aigoo. Enaknya diapakan ya anak itu.
Minhyuk sampai menghela napas dan menggelengkan kepala sendiri saking lelahnya punya adik seperti itu.
Setelah semua piring bersih sudah tersusun dengan rapi di rak sebelah sink, Minhyuk mengelap tangannya di kain bersih yang tergantung disana. Dan eomma juga tak lama masuk lagi ke dapur, membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa anggur yang terlihat segar.
"Eomma. Ini mau dicuci?" tanyanya.
"Eo. Sekalian buat kita nonton bareng di ruang keluarga."
Tangan Minhyuk terulur, mengambil alih kantung anggur dari tangan eommanya. "Biar aku aja yang mencucinya. Nanti akan ku bawakan kesana."
"Gwaenchanha. Eomma juga bisa, kok."
Minhyuk menggeleng keras, "Nggak apa. Biar aku aja. Eomma kembalilah duduk. Oke?"
Eomma tersenyum dan menepuk bahu Minhyuk beberapa kali dengan pelan, "baiklah. Gomawo, Adeul."
Sebenarnya, mencuci anggur itu hanyalah alasan untuknya. Agar dia bisa punya waktu lebih untuk berpikir. Bagaimana dia harus bicara tentang hal itu pada keluarganya sendiri.
Dan apa yang harus ia lakukan saat setelah menceritakan hal itu?
Membayangkan keluarganya nanti akan terkejut dan kecewa... sudah membuatnya sedih setengah mampus. Membayangkan wajah sedih eommanya sendiri, rasanya sesak di dada.
Haruskah dia benar-benar membicarakannya?
"Hyung! Kau masih lama mencucinya? Kau tidak mencucinya dengan sikat dan sabun, kan?"
Di kala Minhyuk sedang sibuk dengna pikirannya sendiri, pekikan dari Minjun yang bercanda dari ruang keluarga malah membuyarkannya dan membuatnya menggelengkan kepala.
Setelah anggur terakhir tercuci dan tersaji diatas piring bercorak bunga itu, Minhyuk dengna pelan membawanya dan menaruh piring tersebut di atas meja di ruang keluarga.
Wajah jahil Minjun terpampang dengan nyata, membuat Minjun ingin melempar bantal sofa padanya.
"Mwolbwa?!"
Minjun hanya memeletkan lidah, meledek kakaknya.
"Gomawo, Adeul." Eommanya mengambil dua butir anggur. Satu untuknya, dan satu untuk appa.
Minhyuk mengangguk samar, sembari menyiapkan diri untuk bicara.
Atur napas.
Tarik...
Buang...
Tarik...
Buang...
"Jeogi... Appa. Eomma. Minjun-ah." Nada tegas yang keluar saat Minhyuk membuka suara, membuat tiga pasang mata tertuju padanya saat itu juga dengan pandangan bertanya.
"Aku ingin bicara."
"Eo. Silahkan," ucap Appa.
"Tinggal ngomong doang, pake izin. Sopan sekali uri hyung," canda Minjun sebelum memakan sebutir anggur lagi.
"Go Minjun. Nggak boleh gitu, ah." Minjun tersenyum kaku saat ditegur oleh eomma. "Mau ngomong apa?"
"Ini tentang masalahku..."
Sial. Rasanya oksigen di tubuhnya semakin menipis sekarang. Dia hampir tidak bisa bernapas rasanya. Apalagi saat semua mata di ruangan itu tertuju padanya.
"Nahee..."
Tidak apa, Go Minhyuk. Kau bisa melakukannya.
"... dan Go Minhyun."
Matanya memejam. Dia sudah melempar bom sekarang. Tidak ada kata mundur.