Setelah kejadian di IGD kemarin itu, Minhyuk sudah bisa memprediksikan kalau cepat atau lambat, adiknya ini akan membuatnya kesal. Apalagi setelah tau kalau Yura ternyata satu rumah sakit dengan adiknya.
Tapi yang tidak bisa dia prediksi adalah, kalau ternyata akan terjadi secepat ini.
Begitu Minjun pulang ke rumah esok harinya, sepertinya adiknya itu cerita mengenai Yura ke eommanya, karna tak lama kemudian, appanya Minhyuk-Minjun langsung memanggil Minhyuk untuk datang ke rumah saat luang.
Ada alasan kenapa appanya yang meminta Minhyuk untuk pulang, karna eommanya tau kalau permintaan appa tidak akan ditolak oleh anak pertamanya itu. Untuk Go Minhyuk, appa adalah seorang panutan dalam hidupnya, dan dia sangat menurut pada appanya.
Dan begitulah asal usul kenapa Minhyuk akhirnya melangkahkan kakinya ke dalam rumah yang sudah familiar di benaknya itu pada hari Sabtu yang seharusnya bisa ia pakai tidur. Setelah berganti dengan sandal rumah, Minhyuk mendapati semua sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton acara ragam korea.
Aktivitas yang memang selalu dilakukan jika sedang bersama di rumah.
Waktu Minhyuk masih tinggal disana, Minhyuk juga sering ikut bareng nonton. Dilengkapi dengan buah semangka jika musim panas tiba.
Sudah beberapa tahun berlalu sejak terakhir mereka nonton bareng, ya. Senyum sendu muncul begitu saja di wajah Minhyuk begitu memikirkan kilas balik itu. Mereka berenam dulu sangat sering melakukan aktivitas ini.
"Eomma. Appa, na wasseo." Minhyuk ikut duduk di sofa seberang adiknya itu.
"Eo, wasseo." Suara hangat ibunya langsung menyambutnya dengan senyuman yang tak lupa juga ikut menyertainya begitu melihat Minhyuk. "Mau buah? Atau kudapan?"
Minhyuk menggeleng kuat, "tidak perlu. Ada apa memanggilku kesini?" Sesekali dia masih melempar tatapan tajam pada adiknya itu yang seakan tidak bersalah.
"Ada apa lagi, kalau bukan ingin interview hyung," jawab Minjun yang masih nonton dengna posisi sedikit tiduran di sofa single itu.
Minhyuk langsung menatap dengan tatapan membunuh pada adiknya itu, saking tajamnya, Minjun sampai bisa merasa ada yang menusuknya, membuatnya menoleh dan duduk dengan tegak sambil menundukkan kepalanya. Adiknya ini benar-benar tidak bisa menjaga mulut.
"Kau... katanya sedang dekat dengan perempuan?" tanya eommanya langsung tanpa basa-basi.
Anak pertama lelaki di rumah itu dalam sekejap langsung menatap adiknya, meminta penjelasan yang dijawab oleh Minjun dengan bahu yang terangkat, seperti tidak tau apa-apa. "Eomma, aku tidak bilang sedang dekat, ya. Aku bilang hyung sednag mendapat teman baru yang ternyata adalah temanku dari zaman kuliah."
"Sama aja," sahut papanya santai dan singkat.
Aish. Kalau sudah begini, rasanya dia menyesal sudah mengantar makanan ke Minjun kemarin itu. Minhyuk menghela napasnya. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi lambat laun. Memang dasar takdir ini seperti mengerjainya. Siapa juga yang bisa menebak kalau ternyata Yura adalah teman Minjun. Simjieo, mereka satu rumah sakit.
"Dia hanya asal ngomong saja. Aku tidak sedang dekat dengan siapapun," jelasnya singkat.
"Loh, lalu Han Yura itu siapamu? Dia teman Minjun yang sedang denganmu katanya belakangan ini." Mendengar penuturan eommanya barusan, membuat Minhyuk langsung melempar tatapan membunuh untuk kedua kalinya pada adiknya itu.
Minjun yang ketakutan langsung menggelengkan kepalanya dengan tegas, "aku tidak bilang begitu, Eomma." Seakan takut dengan kakaknya, Minjun memilih untuk kabur saja. "Lebih baik aku istirahat aja di kamar deh." Buru-buru Minjun berlari dan mengunci kamarnya dari dalam. Meninggalkan Minhyuk yang hanya bisa menghela napasnya sekarang.
"Han Yura hanya aneun saram, Eomma. Aku tidak dekat dengannya. Bahkan aku tidak tau dia temannya Minjun. Eojjeodaga, tak sengaja kenal di Jakarta." Adiknya itu benar-benar. Seandainya saja dia bisa memukulnya.
"Jadi kalian dekat dari waktu di Jakarta," tanya papanya. Minhyuk rasanya ingin mengubur kepalanya sendiri di bantal, kenapa papanya juga ikutan sekarang.
"Tidak dekat. Hanya saling tau nama satu sama lain saja."
"Tetap saja, nanti juga akan jadi dekat. Eommarang appaneun chanseongida! Minjun bilang dia anak yang baik." (Mama dan Papa setuju!)
Loh, apa-apaan ini.
"Eomma. Appa. Jinjja amu sai eobdanikkayo. Kalau mau terus membahas ini, lebih baik aku pulang saja." (Ma, Pa, benar-benar tidak ada hubungan spesial kok)
"Ehhh. Baiklah, baiklah. Sekarang tidak—" seakan tau arti tatapan dari anaknya yang pertama itu saat ini, mamanya mengangguk dan mengoreksi kata-katanya. "tidak ada hubungan. Oke. kau tetaplah disini. Makan malam bersama, oke?"
"Baiklah. Kalau ada yang perlu dibantu, panggil saja ya. Aku ingin ke kamar dulu."
***
Di kamarnya, Minhyuk hanya merebahkan diri di kasurnya yang tetap bersih dan wangi walaupun hanya ia tempati beberapa bulan sekali. Ini semua pasti karna mamanya yang tetap rajin membersihkan kamarnya. Padahal Mihnyuk sudah pernah bilang, kamarnya tidak perlu dibersihkan setiap hari. Tapi mamanya bersitegas ingin membersihkannya.
Haruskah dia mulai memejamkan matanya dan beristirahat sebentar? Hm, pikiran yang menarik.
TAPI!
Minhyuk baru saja memejamkan matanya sebentar, saat pintunya berbunyi, terbuka dan tertutup lagi.
Begitu matanya terbuka, dia sudah mendapati Minjun sedang duduk di kursi belajarnya dengan wajah cengegesannya.
"Mau apa lagi kau kesini?"
"Aku mau mengaku salah. Mengingat aku sudah mengenal Yura sejak lama--" Tunggu, kesalahan apa lagi ini. "Dan aku tau dia bagaimana, jadi aku memilih untuk mengaku salah dulu."
Wah, perasaan Minhyuk jadi tidak tenang sekarang. Kali ini adiknya melakukan apa lagi?
Dirinya yang tadinya tiduran, sampai duduk dengan bersandar di dinding kasurnya, "apa lagi kali ini?" tanyanya tegas dan dalam.
Minjun sudah bersiap dengan memundurkan tubuhnya sedikit. Memberi jarak antara dirinya dan hyungnya itu. "Tapi kau harus berjanji untuk tidak menimpukku dengan bantal."
Minhyuk memejamkan matanya seraya menarik dan membuang napasnya berat. "Cepat katakan."
"Ah, Hyung. Janji dulu!"
"Go Minjun!"
"Wae?! Janji dulu." Ini merupakan suatu upaya Minjun agar tidak terkena timpukan dari hyungnya itu. Walaupun hanya bantal, tapi cukup sakit juga.
"Oke oke. Janji."
Minjun meneguk ludahnya sekilas dan menggigit bibirnya sebelum dia tersenyum kikuk dan membuka suara. "Aku memberikan kontakmu padanya."
"YA, GO MINJUN!"
Minjun semakin tersenyum kikuk sambil menggaruk lehernya. "Dia anak yang baik kok. Dia hanya ingin bilang makasih saja, karna kemarin itu tidak berterima kasih dengan tepat. Tenang saja. Dia bukan orang aneh."
Persetan dengan orang baik atau bukan. Kenapa juga adiknya ini memberikan kontaknya pada orang lain tanpa persetujuannya lebih dahulu. Hadeh, Go Minjun. Sabar, Minhyuk, sabar.
"Biarpun begitu, bagaimana bisa kau memberikan kontakku begitu saja? Tanpa persetujuanku? Kau seharusnya bertanya dulu."
Raut wajah Minjun sekarang membuat Minhyuk semakin kesal, raut wajah tak bersalah itu. "Toh, kalian sudah kenal, kan, Hyung? Jadi kupikir tidak ada yang salah."
"Amu munje eobda japajyeottne." Hah.. Minhyuk merasa penat seketika sekarang. Tangannya sudah memijit tulang hidungnya. (Gak ada masalah kepalamu!)
Adiknya itu kembali duduk dengan tegak, menatap kakak satu-satunya dengan serius. "Hyung."
Mendapati wajah serius adiknya itu, Minhyuk jadi ikut menegakkan tubuhnya juga, disertai dengan helaan napas, "mwo?"
"Bukankah sudah waktunya membuka lembaran baru? Sampai kapan kau mau mengingat hal itu? Sudah cukup lama kau tinggal di waktu yang sama. Ini sudah 5 tahun berlalu. Bukankah sudah cukup?"
Minhyuk hanya bisa diam. Tidak berniat untuk membalas apapun. Keputusan Minhyuk tidak ada yang bisa mengubahnya. Dia tidak ada niat untuk membuka lembar baru. Tidak setelah apa yang sudah terjadi padanya.
"Hyung. Aku sebagai adikmu, merasa sedih melihatmu seperti ini. Apalagi orangtua kita. Soljikhi malhaesseo, mau sampai kapan kau seperti ini? Waktumu terus berputar, tapi pikiran dan hatimu masih berdiri di tempat yang sama. Padahal napasmu saja juga terus keluar masuk. Kau tidak mau mencoba dulu?"
"Tidak mau." Jawaban Minhyuk sangat singkat, tapi itu terlihat sangat jelas bagi Minjun. Adiknya itu berdiri seraya menghela napas dan menepuk pundak bahu kakaknya.
"Yura.. aku tidak mengatakan ini hanya karna dia temanku. Tapi dia memang orang yang baik. Dan kurasa dia cocok denganmu. Kau bisa mencobanya jika kau tertarik. Tapi jika tidak, tolong jangan sakiti dia. Jal saenggak hae, Hyung." Setelah mengatakan itu, Minjun pergi dari kamarnya. Meninggalkan Minhyuk yang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Mau dipikirkan bagaimanapun, keputusannya tidak akan berubah. Kejadian itu bagaikan luka yang lebih sakit dibanding operasi tanpa anestesi. Ya walaupun tidak pernah menjalani operasi sih, tapi Minhyuk dapat menggambarkannya seperti itu.