Yura merasa napasnya hampir habis. Setelah rapat panjang yang cukup menguras energi, ia segera berdiri dan menyusup ke dalam barisan dokter senior yang akan melakukan visite pasien. Tablet di tangannya sudah siap, meskipun tubuhnya masih terasa lelah.
Namun, kelelahan itu seolah lenyap begitu saja ketika ia melihat anak-anak kecil yang sering ditemuinya di bangsal anak. Mereka melambaikan tangan dengan senyum cerah, menyapa para dokter dengan antusias.
Hati Yura menghangat.
Meski sedang sakit, anak-anak itu tetap tersenyum, dan ia berharap senyum mereka tak akan pernah pudar. Ia berjanji dalam hati akan melakukan yang terbaik untuk mempertahankan senyum itu.
Dengan semangat, Yura ikut melambaikan tangan pada mereka sebelum kembali fokus saat dokter seniornya memanggil namanya.
Saat akan melangkah keluar dari ruangan, tiba-tiba ia merasakan tarikan lembut di snelli-nya. Seorang anak laki-laki, pasien yang sedang menunggu donor jantung, menatapnya dengan mata berbinar.
"Seonsaengnim," panggilnya dengan suara khas anak kecil.
Yura menoleh dan tersenyum lembut. Ia memberi isyarat pada teman-temannya untuk pergi lebih dulu, lalu berjongkok agar sejajar dengan si anak.
"Ne?" sahutnya pelan, tak ingin membangunkan ibu si anak yang tertidur di kursi di samping tempat tidurnya.
Anak itu menatapnya sebentar, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Yura dan berbisik, "Seonsaengnim... igeon bimil-indeyo."
Yura menahan napas, menunggu kelanjutan kata-kata si anak.
"Aku masih bisa sembuh, kan?" tanyanya polos, matanya berbinar penuh harapan.
Jantung Yura serasa mencelos. Ia tercekat, tak bisa langsung menjawab. Anak itu menatapnya dengan keyakinan penuh, seolah percaya bahwa Yura memiliki semua jawaban di dunia ini.
"Aku sudah janji mau liburan dengan keluargaku di ulang tahunku yang ke-17 nanti. Masih lama sih... tapi sebelum 17 tahun, aku bisa sembuh, kan?"
Yura merasa dadanya sesak. Ia ingin menangis saat itu juga, tapi ia menahannya sekuat tenaga. Tuhan, apa yang harus ia katakan?
Dengan hati-hati, Yura mengangkat tangannya dan mengelus lembut kepala anak itu. "Seonsaengnim dan semua dokter di sini akan melakukan yang terbaik agar kau bisa sembuh. Jadi, kau juga harus janji minum obat dan makan dengan baik, oke?"
Anak itu tersenyum lebar dan mengangguk mantap. "Yaksok!"
Setelah berpamitan, Yura melangkah kembali ke barisan teman-temannya. Namun, hatinya terasa berat. Kata-kata anak tadi terus terngiang di kepalanya. Anak sekecil itu... sudah berpikir sejauh itu.
Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk. Saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah berjuang lebih keras lagi.
***
Selama dua minggu disini, rasanya Yura mulai merasa pilihannya menjadi dokter spesialis bedah anak itu adalah pilihan yang tepat. Dia benar-benar ingin menyembuhkan anak-anak itu. Dan dia tidak menyesal sama sekali.
***
Setelah beberapa minggu sejak kembali ke Korea, akhirnya Minhyuk mengunjungi rumah orang tuanya. Itu pun dengan sedikit paksaan, karena semalam eommanya sudah bertanya lagi kapan dia akan pulang.
Seperti yang sudah diduganya, setibanya di rumah, meja makan penuh dengan berbagai hidangan yang ia sukai. Dari ujung ke ujung, semua tertata rapi di atas piring dan mangkuk.
Minhyuk, tentu saja, merasa senang. Dia tau betul kalau ini adalah bentuk kasih sayang eommanya. Tapi tetap saja, ini terlalu berlebihan. Apalagi eommanya sudah tidak muda lagi. Memasak sebanyak ini pasti sangat melelahkan.
Sambil menyuap makanan dengan perlahan, Minhyuk berusaha mencari waktu yang pas untuk berbicara dengan eommanya, yang kini sedang tersenyum lebar sambil memperhatikannya makan.
"Eomma, berhenti menatapku seperti itu. Memangnya aku tidak pernah makan di rumah sampai harus diperhatikan terus?"
Eommanya mengangguk setuju. "Kau memang jarang makan di sini. Eomma bahkan lupa kapan terakhir kali kita sekeluarga duduk makan bersama seperti ini."
Minhyuk menghela napas pelan. "Tapi tetap saja, kenapa harus memasak sebanyak ini? Kalau tidak habis, kan sayang. Eomma juga pasti capek menyiapkannya."
Eommanya tersenyum kecil, menggeleng. "Tidak lelah. Untukmu, eomma mau masak apa pun yang kau suka."
Minhyuk baru saja hendak membalas, tapi eommanya tiba-tiba menambahkan, "Ah, mumpung kau di sini, bagaimana kalau eomma telepon Minjun? Suruh dia makan malam di rumah sekalian?"
Minhyuk langsung menggeleng cepat. "Tidak perlu. Dia dokter, Eomma. Dia pasti sibuk. Nanti saja kalau ada kesempatan lain."
"Kalau begitu, kau saja yang antar makanan ke Minjun," ujar eommanya dengan nada tenang, seolah sudah merencanakannya sejak awal. "Sekalian kau bisa melihat keadaan adikmu. Dia sering kali lupa makan kalau sudah sibuk."
Minhyuk menyipitkan mata curiga. "Jangan-jangan eomma memanggilku ke sini cuma karena ingin menyuruhku mengantar makanan ke Minjun?"
Eommanya tertawa pelan. "Aniya~ Kalau kau tidak mau, tidak apa. Eomma bisa mengantarkannya sendiri nanti."
Minhyuk menghela napas panjang. "Sudahlah, biar aku saja yang antar. Eomma istirahat saja di rumah."
Eommanya tersenyum puas, lalu menepuk pundak Minhyuk penuh kasih. "Gomawo, adeul."
Tanpa menunggu jawaban lagi, eommanya beranjak ke dapur, mengambil beberapa kotak makanan, lalu mengisinya satu per satu dengan lauk yang sudah tersaji di meja. Sementara itu, Minhyuk hanya bisa menghela napas lagi, sedikit pasrah karena rencana bersantai di rumah malah berubah jadi misi antar makanan ke rumah sakit.