Whoo....!
Rasanya jantung Yura ingin meledak pagi ini. Ini hari pertama dia akan menjalani hari-hari fellowshipnya di spesialis bedah anak. Bohong sekali kalau dia bilang dia tidak mnunggu hari ini datang. Tentu saja dia sangat antusias dengan datangnya hari ini. Tapi bagaimana ya.. dia merasa gugup gitu loh.
Yura menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya. Sambil berdiri di depan cermin, ia merapikan snelli nya dan sekali lagi memeriksa isi tasnya. Stetoskop? Ada. Buku catatan? Ada. Pulpen? Ada. Dan tentu saja, sepasang boneka kecil yang selalu dibawanya untuk pasien anak-anak. Ia tersenyum kecil saat menggenggam boneka itu, mengingat betapa anak-anak biasanya lebih tenang ketika melihat sesuatu yang familiar dan menghibur.
Dengan langkah mantap—meski jantungnya masih berdetak cepat—ia berangkat ke rumah sakit. Gedung rumah sakit yang sudah tidak asing lagi berdiri megah di hadapannya. Hari ini, ia bukan lagi hanya seorang dokter umum yang sedang mencari pengalaman. Ia adalah bagian dari tim spesialis bedah anak, dan ini adalah langkah besar dalam kariernya.
Saat memasuki ruang ganti dokter, suara familiar menyapanya dari belakang. "Ou~ Han Seonsaeng! Bersiaplah untuk hari yang panjang."
Minjun, salah satu dokter yang seangkatan dengannya di fellowship, menyapanya dengan senyum tipis khasnya. Mereka sudah mengenal sejak masa kuliah, dan kini kembali berada di jalur yang sama. Yura tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan di dadanya. "I'm ready, Minjun-ah. Setidaknya, aku berharap begitu."
Mereka berjalan bersama menuju ruang konferensi tempat briefing pagi akan dilakukan. Suasana di dalam ruangan sudah cukup ramai dengan Minjun, satu-satunya dokter lain di fellowship selain dirinya, serta tiga residen spesialis bedah anak yang akan berada di departemen ini untuk beberapa bulan ke depan. Kepala spesialis bedah anak, seorang pria berusia sekitar lima puluhan dengan aura penuh wibawa, berdiri di depan layar proyektor, menampilkan jadwal dan pembagian tugas.
"Selamat datang di program fellowship bedah anak," suaranya tenang tapi penuh ketegasan. "Di sini, kalian akan menghadapi jadwal yang padat, tantangan yang tak terhitung, dan tentu saja, tanggung jawab besar terhadap pasien-pasien kita. Kami berharap kalian bisa bekerja sama dengan tim dan tetap belajar setiap harinya."
Yura mencatat dengan cepat beberapa poin penting di dalam bukunya. Ia melirik ke sekitar, melihat wajah-wajah yang sebagian terlihat bersemangat, sementara yang lain tampak gugup—mungkin sama seperti dirinya.
Setelah briefing, mereka diberi waktu untuk berkenalan. Beberapa dokter senior menyambut Yura, Minjun, dan beberapa residen spesialis bedah dengan ramah, dan berbincang ringan. Namun, ada juga beberapa dokter senior yang hanya meliriknya sekilas dengan ekspresi skeptis. Yura tau ini adalah bagian dari dinamika kerja, dan ia tidak bisa berharap semua orang langsung menerimanya begitu saja. Yang penting, ia menunjukkan bahwa ia layak ada di sini.
Salah satu dokter senior, pria dengan postur tinggi dan sorot mata tajam, menatap para dokter yang baru bergabung sebelum akhirnya berkata, "Para dokter yang baru, semoga kalian bisa mengikuti ritme kerja di sini. Karena semuanya bergerak dengan cepat."
Tekanan langsung terasa di ruangan itu. Yura menegakkan punggungnya dan tersenyum, berusaha menunjukkan keyakinan dirinya. "Terima kasih atas peringatannya, dok. Yeolsimhi hagesseumnida!"
Si dokter senior itu hanya mengangguk singkat sebelum kembali fokus pada jadwal yang ditampilkan di layar.
Di sela-sela orientasi, ponsel Yura bergetar di dalam saku jasnya. Saat melihat nama di layar, senyumnya langsung merekah. Hyena.
Ia membuka pesan suara dari sahabatnya itu. "Yura-ya! Cheotnal-iji? Geomnaejima, oke? Kau sudah kerja keras untuk sampai di titik ini. Kau pasti bisa menghadapi apa pun. Hwaiting!"
Yura menghela napas, merasakan kehangatan mengalir di dalam dadanya. Ia mengepalkan tangannya dengan semangat baru.
Baiklah, hari pertama dimulai sekarang. Dan ia akan memberikan yang terbaik.
***
Waw. Hari ini hari pertama dia masuk kerja, sudah ditugaskan di IGD juga, dan ternyata setelah melihat jadwal jaga bulan ini, ternyata dia jaga malam. Mantap sekali.
Tapi... hwaiting haeyaji?!
"Annyeong haseyo~ Oneulbuteo geunmu hagedwaen, Han Yura imnida~!" sapa Yura dengan senyum cerah di nurse station bangsal bedah anak, menyapa beberapa suster yang ada disana.
kepala Suster yang bernama Joo Dahee ikut tersenyum padanya. "Hwanyeong hamnida, Han Ssaem. Semoga kau betah disini ya!"
"Tenang saja, Joo Ssaem." Tiba-tiba Minjun, salah seorang teman lama yang juga di spesialis yang sama dengna Yura muncul sambil membaca rekam medis pasien. "Dia ini preman di kampus. Jadi tenang saja, dia tidak akan gampang mundur."
Yura menyipitkan matanya ke Minjun, mendelik. "Eo majja, Kau mau aku pukul sekalian? Sebagai penyambutan?"
"Aku tinggal adukan pada Hyena nanti," ledek minjun sambil memelet ke arah Yura yang membuat perempuan itu semakin emosi.
Selain ada kepala suster Joo, ada juga suster Park Roha, dan suster Min Gayoung. Selebihnya sedang sibuk katanya.
Suster Park dan suster Min tersenyum menyambut kedatangan dua dokter itu juga. "Jal butakdeurimnida," kata mereka girang. Iya, girang. Mungkin karna teman yang akan ikut dalam lingkaran setan ini bertambah kali ya?
Tringggg tringggg
"Iya? Dengan bangsal bedah anak disini," jawab Suster Park begitu mendengar dering telepon berbunyi. Raut wajahnya sedikit berubah sedikit khawatir, dan darisanalah Yura dan Minjun tau kalau itu bukan hal yang bagus. Kemungkinan dari IGD. Memikirkan hal itu, Minjun langsung menepuk bahu temannya itu dengna sedikit medelek. "Ne, algesseumnida."
Begitu telepon itu ditutup, suster Park langsung tersenyum meringis pada dokter Han. "Eunggeubsil-e..."
Han Yura tersenyum pahit lalu membenarkan snellinya, "danyeo ogesseumnida." Dan dia pergi ke IGD seperti yang memang harusnya terjadi.
***
Yura melangkah cepat menuju ruang periksa setelah mendapat laporan dari dokter jaga.
"Yura ssaem, pasien anak laki-laki, lima tahun. Demam tinggi sejak tadi malam, sakit perut, diare sudah tiga hari, dan mual muntah. Perutnya tampak tegang di kuadran kanan bawah. Saya rasa gejala usus buntu," jelas dokter jaga IGD.
Yura mengangguk, lalu mendekati kedua orang tua pasien yang menunggu dengan cemas. Ayah pasien tampak gugup, sementara ibunya berkali-kali melihat jam tangan, wajahnya menunjukkan ketidaksabaran.
"Permisi, saya dokter Yura. Saya akan menangani putra Bapak dan Ibu. Mohon izinkan saya bertanya beberapa hal untuk memastikan diagnosa yang tepat."
"Dok, anak saya sudah kesakitan sejak tadi! Kenapa harus lama sekali? Kenapa tidak langsung ditangani?!" protes sang ibu dengan suara meninggi.
Yura tetap tenang dan tersenyum sabar. "Saya mengerti kekhawatiran Ibu. Tapi kami harus melakukan pemeriksaan dengan teliti agar tidak terjadi kesalahan dalam penanganan. Saya mohon kerja samanya, ya."
Sang ayah menarik napas dalam-dalam. "Baik, Dok... Kami jawab sebisa kami."
Yura mulai menggali informasi lebih dalam. "Sejak kapan tepatnya demamnya muncul? Dan apakah ada sesuatu yang ia makan sebelum mulai muntah?"
"Demamnya mulai tadi malam, tapi dia sudah diare sejak tiga hari lalu. Makan biasa saja, tidak ada yang aneh, tapi dia mulai muntah sejak pagi ini," jawab sang ayah.
"Baik. Bagaimana dengan buang air kecilnya? Masih lancar atau ada keluhan?" lanjut Yura.
Sang ibu menghela napas. "Saya rasa lebih jarang dari biasanya, Dok. Tapi saya tidak tau pasti."
Yura mencatat semua informasi, lalu beralih ke pemeriksaan fisik. Setelah selesai, ia menatap mereka dengan tenang.
"Kami menduga ini usus buntu, tapi kami tetap perlu melakukan beberapa pemeriksaan tambahan, termasuk tes darah dan USG perut, untuk memastikan apakah ini usus buntu atau ada penyebab lain. Saya tau ini mungkin terasa lama, tapi kami ingin memastikan putra Ibu dan Bapak mendapat perawatan terbaik."
Sang ibu masih terlihat tak puas, tetapi kini suaranya lebih terkendali. "Jadi harus dites dulu, ya, Dok?"
"Iya, Bu. Ini penting agar kami bisa mengambil langkah yang tepat. Kami akan bergerak secepat mungkin," Yura meyakinkan.
Tak lama setelah Yura menyelesaikan pemeriksaannya, dokter senior yang mengawasi IGD menghampirinya.
"Eo~~~ Han yura seonsaengnim! Baik sekali caramu menangani pasien di hari pertama. Kau baru mulai hari ini, kan?"
Yura mengangguk, "terima kasih, Dok."
"Teruskan, ya! Walaupun saya cukup prihatin karna kau kebagian menangani IGD di hari pertama. Hwaiting!"
Yura tersenyum kecil, lega karena setidaknya ia telah melakukan yang terbaik untuk pasien dan keluarganya.
***
Yang pasti, selama setengah hari itu, Yura hampir tidak bisa duduk, karna ada saja pasien yang datang. Belum lagi dia harus ikut dokter profesornya visite ke kamar-kamar pasien.
Dirinya hampir kelimpungan karna banyak ayng harus dikerjakan. Tangannya tak berhenti bekerja. Entah itu menulis di buku, mengetik rekam medis, memeriksa pasien. Matanya pun begitu. Apalagi otaknya. Jika profesornya bertanya, ia dan yang lain harus siap untuk ditanya dan menjawab dengan cepat dan tepat.
Siapa yang memintamu untuk jadi dokter, Han Yura? Hadeh..
Dan tiba saatnya dia bisa pergi sebentar untuk makan siang -atau makan sore ini karna sudah telat sekali-
Begitu melihat lambaian tangan Minjun yang sudah duduk duluan di kantin rumah sakit, Yura dengan langkah sedikit cepat berjalan ke meja tersebut, tentu saja dengan membawa makanannya juga.
Dirinya langsung menjatuhkan tubuhnya di senderan kursi. Di seberangnya, Yura bisa melihat Minjun yang tak kalah lelah darinya. Jujur saja, dia jadi sedikit terhibur karna ternyata bukan hanya dia yang lelah disini.
Tak lama Rowoon menyusul karna mendapat pesan dari Minjun kalau mereka sudah di kantin, mengambil tempat duduk di sebelah Yura. "Hyena mana?" tanya Yura.
"Masih ada pasien katanya," jawab Minjun lelah.
Rowoon yang baru datang, langsung tertawa kecil melihat kedua temannya itu seperti tidak ada nyawa. "Kalian ini habis ngapain sih? Jeonjaeng gatnya?" ledeknya. "Makanya, kalian salah jurusan, sih."
"Rowoon-ah. Na jigeum him-i eobta. Jangan mulai ya," kata Yura lesu sambil mulai duduk dengan benar untuk makan. Karna entah kapan dirinya akan dipanggil lagi. Minjun juga sudah duduk dengna benar, dan mengangguk pada perkataan Yura.
Karna sedikit berbaik hati, Rowoon menyuapkan makanan satu suap masing-masing dari piring mereka ke mulut Minjun dan Yura bergantian. "Manhi meogeo, uri aegideul-ah." (Makan yang banyak, anak-anakku)
"Gomawo, Appa," ujar Minjun lelah.
Yura mengunyahnya dengan sisa tenaga yang ada, "hari ini aku jaga malam pula."
Seakan baru ingat hal itu, Minjun langsung sedikit bertenaga karna setidaknya dirinya bisa pulang hari ini. "Hwaiting! Setidaknya aku tidak jaga di hari pertama."
Rowoon juga ikut menimpali, walaupun sedikit meledek, "hwaiting!" Tak lupa tangannya juga mengelus rambut Yura, tentu saja untuk mengejek.
Hah.. Yura benar-benar salah memilih teman.