Jujur sekali, Minyhuk sama sekali tidak menyangka kalau dia akan bertemu dengan Yura di PIK waktu itu. Tepatnya, dua hari yang lalu. Makanya dia agak terkejut saat mendengar Yura memanggil namanya.
Perempuan itu terlihat lucu dengna dress putih selututnya, berbeda dengan outfit saat mereka bertemu tak sengaja di rumah sakit. Itu loh, insiden yang waktu itu. Yura lebih banyak memakai kaos oversize dengan baggy jeans, atau hoodie dengan jeans selama menjaga Minhyuk juga saat itu. Makanya agak terkejut juga melihatnya.
"Oh, Go Minhyuk! Kau ini mikir apa sih!?" Sadar kalau dia sudah mulai ngaco, Minhyuk menggelengkan kepalanya, tak mau memikirkan perempuan itu lagi.
Kembali pada aktivitasnya tadi, jarinya menslide layarnya untuk melihat aplikasi cuaca. Matanya memeriksa dengan seksama bagaimana cuaca di Seoul saat ini. Apakah salju masih turun di kota besar Korea itu. Dan ternyata sudah dari lima hari belakangan ini, salju tidak turun di Korea.
Minhyuk menyenderkan kepalanya di senderan sofa, memperhatikan langit-langit kamar hotelnya. Apakah sudah saatnya dia kembali ke kota kelahirannya sekarang?
Perbedaan cuaca di Seoul dan Jakarta pasti akan terasa sekali padanya. Dari yang hangat sehangat nasi baru matang, akan berubah menjadi dingin sedingin ice cream di kulkas.
Drrttt drrrttt
Tepat saat dia sedang terhanyut dalam pikirannya sendiri, ponsel di tangannya itu bergetar. Melirik siapa yang menelepon, alih-alih mengangkatnya, Minhyuk memilih untuk tidak menjawabnya dan meletakkan ponsel itu diatas meja.
Sudah berapa hari ini ponsel Minhyuk terus berbunyi. Dari siapa? Tentu saja telepon dari mamanya. Tapi tidak ada niatan untuk mengangkatnya, sekalipun. Hanya telepon dari Minjun yang ia jawab. Sejak kejadian lima tahun yang lalu itu, dia memilih untuk menjaga jarak dari semua orang, terlebih dari orangtuanya.
Ponsel yang tadi di atas meja itu, masih bergetar. Sekitar dua kali. Lalu benda itu diam. Setelah ponselnya diam, Minhyuk baru melihat ponselnya lagi. Dua kali telepon tidak terangkat dari mamanya. Tak lama, benar-benar hanya itungan menit, telepon masuk dari Minjun datang.
Laki-laki itu menghela napas dulu lalu menjawabnya kali ini.
"Halo."
"Mwo?! Halo?! Hyung, kau kena heat-stroke kah? Kepalamu terbentur sesuatu kah? Kenapa kau tidak mengangkat telepon dari eomma? Karna kau tidak mengangkatnya, aku yang jadi kena ocehannya, tau! Padahal aku baru saja pulang dan istirahat dari belajar semalam suntuk dari perpustakaan karna fellowship akan dimulai." Suara Minjun benar-benar kencang sekali dan bulat. Wah, Minyhuk sampai harus menjauhkan sedikit ponselnya dari telinganya. Agak kaget sih awalnya kenapa Minjun bisa sekenceng itu suaranya, tapi lama-lama ya dia terbiasa.
"Tolong sampaikan maafku saja. Hapeku sedang dalam mode do not disturb."
"Ish! Memang sudah gila kau ini. Bisa-bisanya kau menggunakan mode itu padahal kau sednag jauh dari keluargamu."
Minhyuk terkekeh pelan mendengar ocehan adiknya itu. Siapa yang butuh adik perempuan untuk mendengar ocehan, kalau kau punya adik seperti Minjun yang bawelnya bisa melebihi perempuan. "Jangan marah-marah terus. Bagaimana kabar semuanya disana?"
"Waw." Terdengar suara tepukan tangan yang terkesan jauh, sepertinya Minjun sengaja meletakkan ponselnya dulu untuk bertepuk tangan secara sarkasme untuknya. "Suatu keajaiban hyungku ini bisa menanyakan kabar seseorang."
"Jawab saja, Go Minjun."
"Masih baik, masih bernapas dan makan dengan baik semuanya."
Minhyuk mengangguk-anggukan kepalanya mendengar jawaban Minjun. "Lalu kenapa telepon sampai berkali-kali?"
"Ah benar juga. Hyung, han-guk-e eonje dora olgeoya?" (Kak, kau kapan akan kembali ke Korea?)
"Entah, belum ada rencana dalam waktu dekat ini sih."
"Kau bisa pulang sekarang, kok. Sudah beberapa hari ini salju tidak turun di Korea."
Walaupun tau adiknya tidak bisa melihat anggukan kepalanya, tapi Minhyuk tetap mengangguk. "Aku tau. Tadi aku baru saja melihat cuaca di Korea. Mungkin dalam waktu dekat ini aku akan pulang."
Minjun di ujung sana ber-oh ria panjang. "Baiklah kalau begitu, akan kusampaikan pada eomma nanti. Kau jagalah kesehatanmu di Jakarta. Sampai nanti!"
"Eo, sampai nanti."
Lalu sambungan telepon itu terputus, meninggalkan nada tut tut tut saja.
Haruskah dia kembali minggu ini?
***
Pagi-pagi sekali, Minhyuk yang masih sangat terlelap di tidurnya, dibangunkan oleh suara panggilan masuk. Dengan keadaan sadar-tak sadar, Minhyuk mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa yang meneleponnya sepagi ini. Bingung juga siapa yang menelepon.
"Halo?" jawabnya masih dengan mata yang tertutup. Ponselnya hanya ditaruh begitu saja diatas telinganya.
"Akhirnya kau mau mengangkat telepon dari eomma."
Tunggu. Suara ini, suara yang Minhyuk kenal. Sekejap, rasanya dia terbangun secara maksimal. Dirinya langsung bangun terduduk di kasurnya, lalu mengecek ID caller yang menghubunginya sepagi ini.
Sial. Ternyata memang benar mamanya. Tidak mungkin kan dia matikan langsung?
Minhyuk mengambil napas dalam dan membuangnya pelan sebelum menjawab mamanya. "Eomma? Achim buteo museun irieyo?" (Mama? Ada apa pagi-pagi begini?)
"Hanya ingin bertanya bagaimana kabarmu saja. Minjun sih bilang kau baik-baik saja di Jakarta. Tapi namanya orangtua, lebih lega lagi jika mendengar secara langsung, kan."
Ah, memang sudah lama sepertinya dia tidak menelepon mamanya. Terakhir telepon mamanya itu saat hari pertama dia di Jakarta, setelahnya dia tidak mengangkat ataupun menelepon mamanya lagi.
"Aku baik-baik saja."
"Syukurlah kalau begitu. Salju sudah tidak turun disini semingguan ini. Kapan kau akan pulang?"
"Iya, aku tau. Minjun sudah memberitauku kemarin itu. Mungkin besok. Aku harus mencari tiket dulu juga."
"Okela. Nanti kabari tanggal kepulanganmu ya. Biar eomma, appa, dan Minjun menjemputmu di bandara. Tidak ada penolakan. Kau tidurlah lagi. Maaf karna mengejutkanmu dengan telepon pagi-pagi begini."
"Tidak apa, Eomma. Jaga kesehatanmu ya!"
"Eo~ Tidurlah lagi. Eomma kkeutneunda."
"Ne, Eomma. Deureogaseyo~!"
Sudah lama sekali dia tidak mendengar suara orangtuanya. Waw. Rasanya dia menjadi anak yang kurang ajar. Hm..
Kalau begitu, Minhyuk sepertinya harus berkata selamat tinggal pada Jakarta. Sayang sekali. Tapi tak apa. Tiga bulan sudah cukup juga.
Karna dia sudah benar-benar terbangun dari tidurnya, tangannya terulur mengambil segelas air yang tersedia di nakas samping kasur, lalu meminumnya karna lehernya kering sekali.
Lalu dia merenung menatap jauh ke depan.
Sudah saatnya pulang. Pulang ke kota yang... membuatnya sedikit sulit bernapas lega.