Pagi di rumah sakit dimulai seperti biasanya, suara langkah suster yang tergesa-gesa, panggilan dari speaker di nurse station, dan aroma khas desinfektan yang menguar. Minhyuk, yang masih setengah tertidur, membuka matanya perlahan. Namun, sebelum dia bisa benar-benar sadar, suara pintu yang dibuka dengan sedikit keras mengejutkannya.
"Selamat pagi!" suara berat seorang pria terdengar, penuh semangat.
Minhyuk mengerjap, menoleh, dan mendapati seorang pria paruh baya dengansnelli yang rapi sudah berdiri di sisi tempat tidurnya. Yura mengikutinya dari belakang dengan wajah setengah mengantuk, membawa secangkir kopi di tangan.
"Appa," Yura memanggil pelan. "Jangan berisik pagi-pagi. Kau membuat pasienku kaget."
"Dia bukan pasienmu. Kau hanya penjaga, Yura," jawab sang Appa sambil tertawa kecil.
Minhyuk menghela napas, mencoba mengumpulkan sisa-sisa ketenangannya. "Dokter Han, selamat pagi..." suaranya terdengar serak.
"Selamat pagi, Minhyuk-ssi. Bagaimana kondisimu hari ini?" tanya papa Yura sambil membuka file medis yang ia bawa.
Minhyuk mengangkat bahu. "Sepertinya sudah lebih baik."
"Dia sudah jauh lebih baik," sela Yura, meneguk kopinya. "Diarenya sudah berkurang, tapi semalam sempat demam tinggi sampai mengigau. Aku harus memanggil suster untuk memberinya paracetamol."
Minhyuk melirik Yura dengan bingung. "Aku... mengigau?"
Yura mengangguk sambil menyipitkan matanya, menahan tawa. "Oh iya. Kau bahkan sempat menggenggam tanganku erat sekali dan bergumam sesuatu seperti 'kenapa kau melakukan itu padaku.' Seram sekali, seperti sedang syuting drama thriller."
Wajah Minhyuk memerah seketika. "Aku tidak ingat," katanya cepat, mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Wajar. Demam tinggi bisa membuat seseorang mengigau," kata papa Yura sambil tertawa kecil. "Bagus kalau sekarang sudah lebih baik. Kalau dalam dua atau tiga hari ini tidak ada demam lagi, kau sudah boleh pulang."
"Syukurlah," gumam Minhyuk lega.
Papa Yura menoleh pada anaknya yang masih berdiri di dekat meja. "Yura, jangan menyusahkan Minhyuk, ya. Ingat, kau di sini untuk membantu, bukan untuk membuatnya semakin lelah."
Yura memutar bola matanya dengan dramatis. "Appa, padahal aku yang menjaga dia, bukan dia yang menjaga aku."
"Tetap saja," balas papanya sambil tersenyum kecil. "Jangan lupa tidur yang cukup dan makan yang benar."
"Ya, ya, ya..." jawab Yura setengah kesal, melambai seperti sedang mengusir papanya keluar dari kamar.
Sang Appa tertawa dan menepuk bahu Minhyuk sebelum pergi. "Jaga diri, Minhyuk-ssi. Kalau ada masalah, panggil saja suster atau Yura."
Setelah papanya keluar, Yura duduk kembali di kursinya. Tapi belum sempat ia membuka bukunya, suara getaran ponsel mengalihkan perhatiannya.
Ponsel Minhyuk yang terletak di atas nakas bergetar beberapa kali. Nama "Dongsaeng" muncul di layar. Namun, Minhyuk hanya menatapnya tanpa niat mengangkat.
"Kenapa kau tidak mengangkatnya?" tanya Yura akhirnya, sedikit kesal. "Bagaimana kalau penting?"
Minhyuk mendesah, tapi akhirnya menurut. Dia meraih ponselnya dan menjawab panggilan itu. "Yeoboseyo."
Suara keras dari seberang langsung terdengar, membuat Minhyuk menjauhkan ponselnya dari telinga. "Hyung! Kenapa belakangan ini kau sulit sekali dihubungi? Bagaimana keadaanmu? Aku sudah chat sejak kemarin tapi tidak ada jawaban! Kau membuatku khawatir, tahu!"
"Aku sedang diopname sekarang."•
"MWO?!" pekik adiknya kaget di seberang sana. Saking kencangnya, Minhyuk sampai harus menjauhkan ponsel dari telinganya. Bahkan suara adiknya itu terdengar sampai ke tempat Yura duduk, membuat Yura sampai berhenti dari kegiatan mencatatnya.
"Kau gila, ya? Berteriak seperti itu. Kalau telingaku pecah bagaimana?"
"Telingamu tidak akan pecah semudah itu," balas suara di seberang. "Dan yang pecah itu bukan telingamu, tapi gendang telingamu. Sudahlah, kenapa kau tidak bilang apa-apa kalau kau masuk rumah sakit? Ada yang menjagamu di sana?"
"Kenapa aku harus bilang? Kau di Korea, aku di Jakarta. Dan aku punya seseorang yang menjagaku di sini. Jadi jangan khawatir dan jangan bilang apa pun pada bumonim," jawab Minhyuk dengan nada tegas.
"Siapa yang menjagamu? Memangnya kau punya teman di sana?"
Minhyuk melirik sekilas ke arah Yura sebelum menjawab singkat, "Ada lah seseorang. Sudah, aku mau istirahat. Kkeutneo." Tanpa menunggu balasan, dia memutus sambungan teleponnya.
Yura, yang diam-diam mendengarkan percakapan itu, hanya menggeleng pelan. "Ternyata kau memang seperti itu dengan semua orang, ya? Bahkan dengan keluargamu sendiri."
Minhyuk menoleh dan mengangkat bahu. "Aku hanya tidak suka banyak bicara."
Yura mencibir sambil menatapnya tajam. "Astaga. Hidupmu pasti sangat sepi."
Minhyuk tidak menjawab, hanya mengambil botol air mineral di meja dan meminumnya. Yura menggeleng lagi, memutuskan untuk kembali fokus pada catatan medisnya. Namun, dia tidak bisa menahan senyum kecil.
"Dia dingin, tapi... ada sesuatu yang menarik dari dia," gumamnya pelan, hampir tidak sadar bahwa dia baru saja berpikir seperti itu.