Matahari pagi menerobos gorden tipis kamar rawat inap, menebarkan cahaya lembut di dalam ruangan. Yura sudah bersiap sejak subuh, meninggalkan kamar Minhyuk untuk turun ke lobi rumah sakit. Dengan langkah cepat, dia menuju minimarket terdekat, memutar otak sambil menatap rak berisi pakaian dalam pria.
"Ukuran apa ya?" gumamnya sambil memiringkan kepala. Pilihan di rak tidak banyak, tetapi untungnya ada beberapa ukuran standar yang bisa dipilih. Dia menghela napas. "Ah, ini semua karena Appa," ujarnya pelan, sedikit sebal karena tugas yang tak terduga ini.
Setelah membayar dan kembali ke kamar Minhyuk, Yura mendapati lelaki itu masih tidur dengan wajah yang cukup damai. Dia meletakkan tas kertas di atas kasur Minhyuk, lalu duduk di sofa, membuka bukunya, dan mulai membaca sambil menunggu.
Tak lama, Minhyuk mulai bergerak, kelopak matanya terbuka perlahan. Tatapannya langsung tertuju pada Yura yang terlihat sibuk di sampingnya. Namun, tas kertas yang diletakkan di kasurnya menarik perhatian lebih dulu.
"Itu apa?" tanyanya, suaranya serak karena baru bangun.
Yura menoleh dan menyengir kecil. "Oh, itu? Aku beli pakaian dalam untukmu. Dalaman, lebih tepatnya. Kau tidak membawa apa-apa, kan?"
Minhyuk berdeham, merasa sedikit tidak enak. "Gomawo. Tapi..." Dia melirik Yura dengan alis terangkat. "Bagaimana kau tahu ukuranku?"
Yura membeku sejenak, lalu wajahnya memerah. Dia tidak berpikir sejauh itu sebelumnya. Astaga, kenapa ini bisa terdengar seperti sesuatu yang salah? "I-Itu... Aku bertanya pada Appa. Jangan berpikir macam-macam!" ujarnya tergagap, buru-buru mengalihkan pandangannya.
Minhyuk mendengus pelan, senyum tipis yang nyaris tidak terlihat muncul di wajahnya. "Hm. Kalau begitu, aku mau mandi. Tolong panggilkan suster untuk melepas infus ini."
Yura mengangguk cepat, merasa lega karena topik pembicaraan berganti. "Baiklah. Aku juga mau ke perpustakaan untuk mengganti buku," katanya sambil beranjak dari sofa.
***
Di perjalanan kembali dari perpustakaan, Yura bertemu dengan papanya yang sedang berjalan santai di koridor.
"Bagaimana keadaan pasienmu?" tanya sang papa, melirik tumpukan buku yang dibawa Yura.
"Sudah membaik," jawab Yura dengan datar. Dia melirik buku-bukunya, lalu mengeluh pelan, "Tapi kenapa aku yang harus mengurus lelaki itu? Aku bahkan tidak mengenalnya, Appa."
Sang Appa tertawa kecil, menepuk bahu anaknya. "Jangan merengek. Anggap saja kau sedang membantu orang lain. Bukankah itu tujuanmu jadi dokter?"
Yura mendesah panjang. "Baiklah, baiklah..."
Setelah percakapan singkat itu, Yura kembali ke kamar Minhyuk.
***
Minhyuk, yang sudah selesai mandi dan terlihat lebih segar, memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman rumah sakit. Dia bosan terkurung di kamar dan memutuskan butuh udara segar.
Di taman, langkahnya terhenti ketika melihat Yura sedang mengumpulkan buku yang terjatuh, tampaknya karena tertabrak anak kecil yang berlari. Yura hanya tersenyum sambil mengusap rambut anak itu, kemudian melanjutkan jalannya ke arah kamar.
Minhyuk hendak memanggilnya, tetapi tersadar bahwa dia tidak tahu nama perempuan itu. Untungnya, Yura sudah melihatnya lebih dulu. Dengan buku tebal di pelukannya, dia berjalan mendekat.
"Kau sedang apa di sini? Bukannya harus istirahat?" tanya Yura, menatapnya dengan dahi berkerut.
"Bosan," jawab Minhyuk singkat.
"Cih, singkat sekali jawabannya." Yura mendengus. "Duduk dulu di sana," perintahnya sambil membantu Minhyuk mendorong tiang infus ke bangku taman terdekat.
Keduanya duduk diam menikmati semilir angin pagi. Matahari sudah mulai tinggi di atas kepala mereka, tapi suasana taman masih cukup sejuk.
"Namaku Yura, by the way," ujar Yura tiba-tiba, memecah keheningan.
"Aku tidak bertanya," balas Minhyuk datar.
Yura mendelik, menahan kekesalan. "Aku hanya memberi tahu. Masa iya aku tahu namamu, tapi kau tidak tahu namaku?"
"Tidak peduli," jawab Minhyuk, meskipun sebenarnya dia penasaran juga.
Yura mendesah panjang. "Kau memang selalu sediam ini? Selalu sejutek ini?"
Minhyuk hanya berdeham pelan, tidak memberi jawaban langsung.
"Lalu, kapan kau akan kembali ke Korea? Atau kau akan tinggal di sini?" tanya Yura lagi, mencoba mengalihkan percakapan.
"Bisakah kau diam dulu? Aku ingin menikmati suasana sunyi," potong Minhyuk, menatap lurus ke depan.
"Cih, baiklah."
Setelah itu, keduanya benar-benar terdiam. Suara burung yang berkicau mulai terdengar jelas, diselingi langkah kaki orang-orang yang lewat di sekitar mereka. Keheningan itu terasa damai, mengisi udara di antara mereka tanpa perlu banyak kata.
Setelah beberapa saat, Yura akhirnya berkata, "Kau perlu kembali ke kamar. Kau butuh istirahat."
Minhyuk hanya mengangguk pelan, membiarkan Yura membantunya kembali ke kamar.
***
Di kamar, Yura menyadari makanan pagi Minhyuk masih utuh di meja. Dia segera menyiapkan makanan itu untuk lelaki itu.
"Kau ini sedang sakit, jadi nurut saja. Aku ini dokter juga. Tenang," ujar Yura tegas ketika Minhyuk mencoba menolak untuk disuapi.
Minhyuk mendesah kecil, menyerah. Yura menyuapinya dengan tenang, tanpa keluhan sama sekali.
Setelah selesai, Yura membantu mendorong meja makan ke sisi ruangan, lalu kembali ke sofanya. Dia menyiapkan buku tebal dan tablet yang ia bawa dari perpustakaan, lengkap dengan kacamata yang bertengger di hidungnya.
Minhyuk memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. "Kau tidak makan?" tanyanya akhirnya.
"Sudah tadi pagi," jawab Yura tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya.
Minhyuk melirik buku tebal yang sedang dibaca Yura. "Sebenarnya, apa yang kau baca sejak kemarin?"
Barulah Yura mengangkat kepalanya, menatap Minhyuk dengan kacamata yang melorot sedikit di hidungnya. Wajahnya terlihat lucu dalam pandangan Minhyuk, hampir membuatnya tersenyum.
"Ini?" Yura mengangkat bukunya. "Buku tentang penyakit anak-anak, penyakit yang sering terjadi pada mereka. Kemarin aku membaca buku anatomi anak-anak."
Minhyuk mengangguk, pura-pura tidak peduli, lalu menyalakan televisi dengan suara kecil agar tidak mengganggunya. Dalam hati, dia mulai mengakui bahwa perempuan ini... menarik, dengan caranya sendiri.