Zayne Arkana, atau yang lebih sering dipanggil Babi oleh teman-teman sekelasnya, sudah terbiasa dengan neraka yang bernama sekolah. Dia tahu persis bahwa setiap harinya hanya akan menjadi pengulangan dari siksaan yang sama: ejekan, pukulan, tugas yang harus ia kerjakan untuk orang lain, dan penghinaan tanpa akhir. Tapi dia tidak peduli. Selama dia masih punya Zahra—meskipun dia sadar bahwa cewek itu hanya memanfaatkannya—itu sudah cukup.
Hari ini dimulai seperti biasa. Belum sempat Zay duduk di kursinya, Sean Haikal Pratama, pemimpin geng motor Black Hounds, sudah menarik kerah bajunya dan menyeretnya ke toilet belakang. Di dalam, lima orang sudah menunggu, termasuk Ardi, mantan atlet tinju yang sekarang menjadi tukang pukul Sean.
"Lama banget, babi!" Sean menyeringai, mendorong Zay hingga punggungnya membentur wastafel.
"Lo tau kenapa dipanggil ke sini, kan?" Sean mengangkat kepalanya, menatap Zay dengan tatapan tajam penuh kebencian.
Zay diam. Dia tahu tidak ada gunanya menjawab.
Sean meninju perutnya tanpa peringatan. Zay terhuyung, rasa sakit menyebar seperti api yang membakar tubuhnya dari dalam.
"Gue bilang, tau kenapa lo di sini?!" Sean menendang kakinya, membuatnya jatuh ke lantai yang basah dan bau.
"Karena aku ada di sini," jawab Zay lirih, hampir berbisik. Jawaban yang benar, tapi tidak cukup untuk menghentikan Sean.
"Lo mulai pintar sekarang, ya?" Sean menarik rambut Zay dan menekan wajahnya ke lantai kotor. "Tapi lo tetap cuma babi gendut yang nggak guna."
Ardi terkekeh, ikut menekan bahu Zay ke bawah dengan lututnya. "Jangan lupa, bos, babi ini masih berguna buat tugas."
"Oh, bener juga!" Sean menyeringai, lalu meludahi punggung Zay. "Makanya lo harus bersyukur sama kita. Tanpa kita, lo bukan apa-apa."
Tertawa puas, mereka meninggalkan Zay yang masih tergeletak di lantai, tubuhnya kotor dan bau air kencing yang menggenang di lantai. Bel berbunyi.
Zay bangkit perlahan, menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit yang menyebar di tubuhnya. Kepalanya pusing, perutnya perih, tapi dia harus kembali ke kelas. Seolah tidak ada yang terjadi.
*
Saat Zay memasuki kelas, suasana langsung berubah. Beberapa siswa menutup hidung, beberapa melangkah mundur, dan sisanya hanya menatapnya dengan jijik.
"Babi itu bau banget!" salah satu dari mereka berbisik, cukup keras agar Zay mendengarnya.
Zay mengabaikannya. Dia berjalan ke mejanya, tapi sebelum sempat duduk, seseorang berdiri di depannya. Zahra.
"Zay," suara Zahra terdengar manis, tetapi matanya kosong. "Tugas gue udah lo kerjain, kan?"
Zay menelan ludah. Napasnya masih terengah-engah, tetapi dia mengangguk. "Udah. Di tas."
"Bagus," Zahra tersenyum tipis, mengambil buku dari tangan Zay tanpa mengucapkan terima kasih. "Oh ya, nanti siang lo juga kerjain tugasnya Sean. Jangan lupa."
Zay hanya bisa mengangguk. Dia tahu bahwa Zahra sama sekali tidak peduli padanya. Baginya, Zay hanya alat untuk mengerjakan tugas—bukan pacar, bukan teman, hanya alat.
*
Saat Zahra pergi, seseorang mendekatinya. Farhan, si kurus kering yang sering dipanggil Triplek oleh teman-teman mereka.
"Lo masih aja ngerjain tugas mereka?" Farhan bertanya pelan.
"Kan aku pacarnya Zahra," jawab Zay datar.
Farhan tertawa sinis. "Lo sadar kan, dia itu pacarnya Sean? Dia cuma manfaatin lo."
Zay mengepalkan tangannya. Dia tahu itu. Tentu saja dia tahu. Tapi dia tidak peduli. Selama Zahra tetap mau berbicara dengannya, selama dia masih punya alasan untuk berpura-pura hidup, itu sudah cukup.
"Diam, Farhan," gumamnya.
Farhan menghela napas. "Lo nggak perlu kayak gini, Zay."
Sebelum Zay sempat menjawab, suara lain menyela. Reiner Wicaksono.
Reiner adalah sosok pemimpin kelas, penguasa kelas. Dia adalah atlet tinju nasional yang menjadi runner up. Dan begitulah yang dia lakukan setiap hari. Tidur di pojok kelas. Menganggap semua hal tidak ada gunanya selain tinju.
"Eh, lo ngapain berisik pagi-pagi?" Reiner menatap Farhan dengan tatapan mengancam. "Gue lagi enak tidur, tau nggak?"
Farhan mundur selangkah, tapi Reiner lebih cepat. Dia menarik kerah baju Farhan dan meninju perutnya. Farhan meringis, jatuh terduduk di lantai.
"Denger ya, triplek. Lo nggak usah sok jadi pahlawan. Lo cuma serangga di kelas ini," Reiner menyeringai, lalu melirik Zay. "Dan lo, babi, jangan berani-berani ngelawan."
Zay tidak berkata apa-apa. Dia hanya diam, seperti biasa.
Karena dia tahu, dalam dunia ini, tidak ada yang akan percaya padanya. Tidak ada yang akan membantunya.
*
Zay berjalan menyusuri lorong sekolah dengan langkah gontai, pikirannya masih kacau setelah menerima pukulan di kelas tadi pagi. Sudah menjadi kebiasaannya diperlakukan seperti itu—dihina, didorong, dipukuli—seolah keberadaannya tak lebih dari sekadar samsak hidup bagi mereka yang lebih kuat.
Hari ini sama saja. Ia hanya ingin ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya, menenangkan napasnya, berharap setidaknya air dingin bisa sedikit meredakan sesak di dadanya.
Namun, saat membuka pintu WC sekolah, langkahnya terhenti.
Di depan matanya, Zahra dan Sean saling berciuman di sudut ruangan.
Bibir mereka bertaut, tubuh mereka begitu dekat hingga tak menyisakan ruang di antara mereka. Nafas keduanya memburu, dan tawa kecil Zahra terdengar di antara kecupan mereka.
Zay membatu.
Seolah dunia berhenti berputar.
Seolah napasnya ikut menghilang.
Jantungnya berdebar kencang, tapi bukan karena kebahagiaan—melainkan rasa sakit yang begitu mendalam, seolah ada pisau yang menembus dadanya, mengguncang setiap bagian dari dirinya.
Ia ingin percaya kalau ini hanya salah paham. Mungkin Sean memaksanya? Mungkin ini hanya kebetulan? Tapi tidak. Senyum di wajah Zahra, caranya merangkul leher Sean, cara tubuhnya melebur dengan pria itu… Semua terlalu nyata.
Zay ingin melangkah mundur, tapi suara Zahra tiba-tiba terdengar, membuatnya semakin tenggelam dalam kehancuran.
"Serius, babi itu masih nggak sadar juga?" Zahra tertawa kecil sambil menyandarkan kepalanya ke dada Sean.
Sean tertawa meremehkan. "Si babi bodoh itu? Jelas aja dia nggak sadar. Dia terlalu tolol buat ngerti."
Zay menahan napas.
Zahra mendengus, mengusap dada Sean dengan jari-jarinya. "Iya sih. Dia pikir beneran bisa pacaran sama gue? Gue cuma kasihan aja. Lagian, kalau bukan karena dia, tugas-tugas kita pasti berantakan."
"Tepat," Sean terkekeh. "Makanya, biarin aja dia jadi anjing suruhan kita. Selama ini, dia mikir lo beneran suka sama dia. Padahal dia nggak lebih dari babi buat kita mainin."
Zahra kembali terkekeh, kali ini suaranya lebih lembut, penuh kebanggaan. "Iya, aku sendiri jijik tiap deket dia. Mana mungkin aku suka sama dia beneran?"
Brak!
Sebuah suara nyaring menggema di dalam kamar mandi.
Zay tersadar—sikutnya tak sengaja menyenggol rak tempat tisu toilet saat tubuhnya melemas akibat syok.
Sean dan Zahra langsung menoleh.
Pandangan mereka bertemu.
Hening.
Detik berikutnya, wajah Sean berubah dingin. Senyuman di bibir Zahra lenyap.
"Jadi, lo denger semuanya, babi?" Sean melangkah maju, suaranya rendah dan mengancam.
Zay tidak bisa menjawab. Tenggorokannya tercekat. Jantungnya berdetak kencang bukan karena takut, tapi karena kesadarannya yang terlambat.
Ia ingin tertawa—tertawa karena betapa bodohnya dirinya sendiri.
Selama ini, ia benar-benar percaya bahwa Zahra menyukainya. Bahwa ada satu orang di dunia ini yang peduli padanya.
Tapi ternyata, itu semua cuma ilusi.
Sebuah kebohongan keji yang ia telan mentah-mentah.
Sean tidak menunggu jawaban. Dengan satu langkah cepat, tinju pertama menghantam perut Zay.
Zay tersentak. Udara di paru-parunya terhisap keluar, dan tubuhnya membungkuk seketika.
Sean tidak memberinya kesempatan untuk pulih.
Tinju kedua menghantam wajahnya, membuatnya terhuyung ke belakang. Darah mulai merembes dari sudut bibirnya.
Zahra hanya menonton di sudut, tanpa sedikit pun niat untuk menghentikan Sean. Ia bahkan tidak terlihat terkejut—seolah semua ini adalah hal yang biasa baginya.
"Lo beneran nyedihin, Zay," suara Zahra terdengar.
Zay ingin bertanya, kenapa?
Kenapa Zahra melakukan ini padanya? Kenapa Sean begitu membencinya? Kenapa semuanya terasa begitu salah?
Tapi sebelum ia bisa mengeluarkan suara, tendangan keras menghantam dadanya, membuatnya terjatuh ke lantai. Kepalanya terbentur ubin dingin, pandangannya berkunang-kunang.
Sean berjongkok di sampingnya, meraih kerah bajunya dan membisikkan sesuatu yang membuat darah Zay semakin membeku.
"Lo berani ngomong ke siapa pun soal ini, gue bakal pastiin lo mati."
Zay tidak menjawab. Tidak bisa menjawab.
Ia hanya bisa terbaring di lantai, menatap langit-langit yang mulai berputar dalam penglihatannya.
Dan di detik itu, sesuatu dalam dirinya mati.
Bukan hanya rasa cintanya.
Bukan hanya kepercayaannya.
Tapi juga dirinya sendiri.
Mungkin, inilah yang namanya benar-benar hancur.
*
Zay duduk diam di bangkunya, matanya kosong menatap papan tulis. Guru matematika berdiri di depan kelas, menjelaskan sesuatu tentang logaritma, tapi Zay tak bisa menangkap satu kata pun.
Kepalanya masih berdengung, tubuhnya masih terasa sakit akibat pukulan Sean tadi siang. Bibirnya bengkak, ada sedikit darah kering di sudutnya, dan kepalanya masih berdenyut akibat benturan di lantai kamar mandi.
Dia ingin tidur.
Atau mungkin, dia ingin tidak ada lagi di sini.
"Zay!"
Suara keras itu menghentak kesadarannya. Ia mendongak pelan, melihat guru matematika—Pak Rahmat—menatapnya tajam.
"Seperti biasa, kamu melamun lagi, ya? Coba kerjakan soal di papan tulis!"
Zay diam saja. Ia tidak bergerak, tidak berniat bangkit.
Pak Rahmat mendecak kesal. "Kamu pikir kamu bisa terus begini, hah? Malas-malasan di kelas, tidak pernah serius belajar. Tidak heran nilaimu selalu di bawah rata-rata! Bodoh!
Tawa kecil terdengar dari beberapa sudut kelas. Zay bisa merasakan tatapan rekan-rekannya—tatapan yang penuh ejekan, tatapan yang mengatakan ya, memang dia bodoh.
"Kenapa diam? Tidak bisa menjawab? Atau memang otakmu tidak sanggup berpikir?" Pak Rahmat kembali mencibir, suaranya sengaja diperkeras agar seluruh kelas mendengar.
Zay menunduk. Dia tidak peduli. Dia tidak mau peduli.
Tapi entah kenapa, hari ini, kata-kata itu menusuk lebih dalam dari biasanya.
Bodoh. Lemah. Sampah.
Itulah yang mereka lihat dalam dirinya.
Dan mungkin... itu memang benar.
*
Hari sudah sore ketika Zay berjalan pulang. Langit mulai gelap, matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Ia melewati gang kecil yang biasa ia gunakan sebagai jalan pintas. Tempat ini sepi—terlalu sepi.
Tapi Zay tidak peduli.
Sampai tiba-tiba—
Brak!
Seseorang menarik tasnya dari belakang, membuatnya tersentak. Sebelum ia bisa berbalik, dorongan kuat mendorongnya ke dinding.
Zay mengerang. Napasnya tercekat.
Dua pria berdiri di depannya—wajah mereka setengah tertutup masker, mata mereka penuh niat buruk.
"Oi, bocah. Kasih dompet lo," kata salah satu dari mereka, suaranya serak.
Zay terdiam.
Bukan karena takut.
Tapi karena... entah kenapa, ia merasa tidak peduli lagi.
Dompetnya? Ambil saja. Nyawanya? Silakan. Ia sudah cukup lelah untuk melawan.
Pria itu mengulurkan tangan, mencoba meraih saku Zay. Tapi entah kenapa, refleksnya bekerja lebih cepat. Tangannya menepis tangan si begal.
Si begal terkejut sesaat, lalu menyeringai. "Oh? Mau lawan?"
Zay sendiri tidak tahu kenapa ia melakukan itu.
Mungkin, di tengah segala kehancuran yang ia alami hari ini, ia hanya ingin meninju sesuatu.
Atau mungkin, ia hanya ingin seseorang menghabisinya sekalian.
Begal itu mengayunkan tinjunya—Zay mencoba menghindar, tapi pergerakannya lambat dan canggung. Pukulan itu mengenai pipinya dengan keras.
Zay terhuyung ke belakang.
Tapi, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa marah.
Marah pada dirinya sendiri.
Marah pada Zahra.
Marah pada Sean.
Marah pada dunia yang terus menindasnya.
Dan sebelum ia bisa berpikir dua kali—
Tinju pertamanya melayang.
Sialnya, pukulannya meleset total.
Udara. Yang ia pukul hanya udara.
Si begal bahkan sempat terdiam, seolah tak percaya bahwa ada orang sepayah ini dalam perkelahian.
"Lihat ini, bos. Bocah ini nggak bisa berantem," kata begal yang satunya sambil tertawa.
Zay tidak peduli.
Ia mencoba lagi. Tinju kedua.
Kali ini, pukulannya mengenai perut si begal—tapi terlalu pelan. Rasanya seperti cubitan kecil daripada serangan sungguhan.
Si begal hanya mundur sedikit, menatap Zay dengan ekspresi datar.
"...Serius?"
Zay tahu, dia tidak punya teknik bertarung.
Dia tidak punya tenaga.
Tapi tetap saja—dia terus meninju.
Tanpa strategi.
Tanpa kekuatan.
Tanpa harapan untuk menang.
Hanya melemparkan pukulan sekenanya, seperti orang bodoh yang mencoba melawan dunia yang sudah lama menolaknya.
Dan begal itu, akhirnya kesal.
Dengan satu gerakan cepat, dia mengangkat lututnya dan—
Bugh!
Siku tajam menghantam perut Zay dengan keras.
Napasnya terhenti.
Lututnya lemas.
Kakinya kehilangan keseimbangan, dan tubuhnya roboh ke tanah.
Begal itu menatapnya, lalu menggeleng sambil tertawa kecil. "Kasihan banget. Gue sampe nggak tega ngebukulin bocah sekonyol lo."
Lalu, seolah sudah bosan, mereka mengambil dompet dan tasnya sebelum pergi meninggalkannya di tanah.
Zay tetap diam di sana.
Napasnya pendek-pendek.
Matanya menatap langit sore yang berubah menjadi merah keunguan.
Dingin.
Hampa.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya...
Ia benar-benar ingin menghilang.
Zay tersungkur di tanah. Tubuhnya terasa remuk setelah dihantam bertubi-tubi oleh kedua begal itu. Napasnya tersengal, darah merembes dari sudut bibirnya.
Tawa mereka menggema di gang sempit itu.
"Dasar pecundang."
"Kasihan, coba bayangin orang selemah ini berani ngelawan."
Zay tidak peduli.
Sungguh, ia sudah tidak peduli.
Namun, di antara debu dan dinginnya aspal yang menekan pipinya, jarinya meraba sesuatu yang tajam.
Pecahan kaca.
Darah dari tangannya langsung mengalir ketika ia menggenggamnya, tetapi rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan lubang besar yang sudah lama menganga di hatinya.
Kepalanya berdengung.
Dunia terasa berputar.
Matanya kabur oleh kemarahan.
Tiba-tiba, ia berteriak dan menikamkan pecahan kaca itu ke kaki salah satu begal.
"ARGH!!"
Si begal menjerit, terhuyung mundur, tapi Zay tidak berhenti. Ia melompat ke atas tubuhnya dan menancapkan pecahan kaca itu ke bahunya.
Darah muncrat ke wajah Zay.
Ia tidak peduli.
Ia hanya ingin membuat mereka merasakan sesuatu.
Tangan mereka yang selama ini menindasnya. Mulut mereka yang selalu menghina. Mereka harus merasakannya juga!
Si begal yang lain berusaha menariknya, tetapi Zay menggigit telinganya sekuat tenaga.
"ARRRGGHH!!"
Darah mengalir ke lidahnya, rasa anyir yang menjijikkan, tapi ia tidak peduli!
Begal itu meronta-ronta, mencoba melepaskan diri, tapi Zay tidak melepaskan gigitannya sampai ia merasakan dagingnya hampir robek.
Si begal yang pertama masih bergulat di tanah, mencoba menarik pecahan kaca dari bahunya, tetapi Zay kembali menghujamkannya ke dada pria itu.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Jeritan itu berubah menjadi rintihan.
Lalu hanya suara napas pendek yang tersisa.
Zay terengah-engah. Darah membasahi tangannya, cipratan merah memenuhi bajunya.
Si begal yang satunya terpaku, wajahnya dipenuhi horor.
"Sial... lu gila!!"
Tanpa pikir panjang, dia kabur, meninggalkan temannya yang terkapar di tanah.
Zay masih diam di tempatnya, tangan bergetar, jantung berdetak kencang.
Lalu—
Kesadarannya kembali.
Ia melihat tubuh pria di bawahnya, napasnya tersengal lemah, darah merembes ke tanah.
Apa yang baru kulakukan...?
Zay terperangah.
Tangannya—tangannya berlumuran darah.
Nafasnya memburu, dadanya naik-turun.
Tidak. Tidak. Tidak.
Ia harus kabur.
Tanpa pikir panjang, Zay berlari, meninggalkan lorong gelap itu.
Meninggalkan tubuh yang berlumuran darah.
Meninggalkan bagian dirinya yang tidak akan pernah kembali sama.