Hari itu cerah, sinar matahari memancarkan kehangatan yang menyenangkan saat Dami melangkah ke dalam Lotte World. Suasana riuh rendah penuh tawa dan teriakan pengunjung yang menikmati wahana menambah semangat Dami. Namun, hatinya tetap terasa kosong. Kenangan Jian masih menyelimuti pikirannya, seperti bayangan yang tak kunjung pergi.
Saat Dami melangkah lebih jauh, matanya terperangkap pada sosok yang dikenalnya. Di tengah keramaian, Jian berdiri tersenyum sambil melambaikan tangan. Dami terkejut dan seketika jantungnya berdegup kencang. Tidak mungkin!
"Jian-ahhhhh!" teriak Dami, berlari dengan cepat menuju temannya. Dia tidak bisa menahan rasa antusiasnya, dan tanpa ragu memeluk Jian erat.
"Dami-yaaaaa!" Jian membalas pelukan itu, tawa mereka bergema di antara keramaian. "Jinjja bogosipheoseo!!!"
Dami melepaskan pelukan, menatap wajah Jian yang penuh keceriaan. "Na do!!! Rasanya seperti mimpi bisa bertemu lagi. Kapan kita bisa bermain bersama seperti ini lagi?"
"Jigeum!!" jawab Jian, menegaskan semangatnya. "Mari kita coba semua wahana yang ada di sini!"
Mereka berlarian dari satu wahana ke wahana lainnya, menjelajahi semua sudut Lotte World. Dami tidak pernah merasa sebahagia ini. Dia berteriak kegirangan saat menaiki roller coaster yang meluncur cepat, terpingkal-pingkal saat Jian membuat wajah lucu di foto mereka, dan berbagi camilan favorit sambil bersenda gurau.
"Lihat!" Jian menunjukkan sebuah bando berbentuk telinga kucing yang lucu. "Kau harus pakai ini!"
Dami tertawa, menerima bando itu dengan kedua tangannya. "Baiklah, tapi hanya jika kau juga memakainya!"
Jian segera mengambil bando serupa dan memakainya. "Sempurna!" serunya, mereka berdua tertawa lepas, melupakan semua beban yang ada di hati mereka.
***
Setelah beberapa jam penuh keceriaan, Dami dan Jian duduk di bangku di tengah taman, dengan es krim di tangan mereka. Dami menatap langit biru yang cerah, berusaha menyusun kembali pikiran yang semrawut.
"Dami-ya, bagaimana kabar keluargamu?" tanya Jian, menatap Dami dengan penuh perhatian.
Dami mengangguk, lalu menghela napas. "Mereka baik-baik saja. Tapi aku.. aku merasa bersalah karena tidak sempat mengucapkan selamat tinggal padamu dengan baik sebelum..." Suaranya meredup, mengenang momen sulit yang mereka lewati.
Jian mengangguk, mengerti. "Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi tidak ada yang menyalahkanmu. Semua ini bukan salahmu."
Dami menatap mata Jian, yang dipenuhi rasa pengertian. "Tapi aku seharusnya... seharusnya aku lebih cepat menemui kau. Aku seharusnya tahu betapa beratnya semua ini untuk mu saat itu."
"Dami-ya, gwaenchanha," Jian berkata lembut. "Aku yang justru ingin meminta maaf. Aku pergi begitu saja tanpa memberi tahu apa pun. Itu salahku. Aku seharusnya berbicara padamu sebelum pergi."
Dami merasa hatinya tertegun. "Jo Jian... aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa."
"Cukup dengar kata-kataku. Aku tidak ingin kau merasa tertekan karena kepergianku," Jian melanjutkan. "Kau selalu menjadi sahabat terbaikku. Aku ingin kau bahagia."
Dami mengangguk, merasa terharu. "Aku akan berusaha, Jian-ah. Tapi rasanya sulit."
"Semua butuh waktu," jawab Jian, memberi senyuman yang menenangkan.
Keduanya terdiam, menikmati semilir angin dengan menyantap es krim di tangan mereka, sebelum Jian kembali membuka suara. "Geunde, Dami-ya," Jian tiba-tiba meledek, "bagaimana? Kau masih belum punya pacar sama sekali?"
Dami tertegun, terkejut dengan pertanyaan mendadak itu. "Apa? Kenapa tiba-tiba nanya seperti itu?" jawabnya sambil tertawa kecil, berusaha menyembunyikan rasa malu.
"C'mon, Dami! Seharusnya kau sudah punya pacar setelah sekian lama! Atau mungkin kau memang jomblo selamanya?" Jian menggoda, senyum nakalnya semakin lebar.
Dami memukul lengan Jian lembut. "Jangan begitu! Aku... aku dekat dengan seseorang, kok."
"Oh ya? Siapa?" Jian langsung melayangkan pandang penasaran. "Ceritakan tentang dia!"
Dami menggigit bibirnya, merasa malu tapi juga bersemangat. "Namanya Seungjae. Dia baik banget. Dia selalu ada untukku setelah kau pergi. Kadang-kadang, aku merasa dia bisa mengerti apa yang aku rasakan."
"Seungjae, ya?" Jian mengangguk dengan senyum lebar. "Kau beruntung. Apakah dia sering menggodamu?"
"Eh, iya, dia sering! Kadang dia suka membuatku bingung dengan semua ledekannya. Tapi... ada rasa nyaman yang bikin aku merasa baik-baik saja saat bersamanya," Dami menjelaskan dengan antusias, wajahnya merona.
"Wow, sepertinya aku harus bertemu dengan Seungjae! Aku penasaran seberapa baik dia bisa menggodamu!" Jian menggodanya lagi, dan Dami hanya bisa tertawa.
"Jangan terlalu berharap! Dia mungkin tidak akan semenyenangkan ini saat bertemu denganmu!" Dami balas menggoda, merasa senang bisa berbagi cerita dengan Jian.
Di antara tawa dan candaan, Dami merasa seolah hidupnya kembali pulih. Kenangan indah bersamanya dan Jian akan selalu membantunya melangkah ke depan, menghadapi kehidupan dengan keberanian baru.
"Jian-ah, terima kasih sudah selalu mendukungku. Aku berjanji akan terus berusaha untuk bahagia," kata Dami dengan tulus.
"Tidak perlu berterima kasih, Dami. Itu semua sudah menjadi bagian dari kita," jawab Jian sambil memandangnya hangat.
Momen-momen sederhana itu terasa sangat berharga bagi Dami, dan saat ia melanjutkan petualangan mereka di Lotte World, ia merasa bahwa meskipun ada kesedihan yang menyertainya, ada juga harapan baru yang menanti di depan.
Saat hari mulai beranjak sore, Dami dan Jian duduk kembali di bangku taman, kali ini memegang balon yang mereka beli dari pedagang. Dami melihat sekeliling, menyaksikan anak-anak bermain dan tertawa, rasanya hatinya semakin ringan.
"Lihat betapa bahagianya mereka," kata Jian, tersenyum melihat keceriaan anak-anak di sekitarnya.
"Ya," jawab Dami, "Aku juga merasa bahagia hari ini. Gomawo, Jo Jian. Hari ini sangat berarti bagiku."
Jian menatap Dami dengan lembut. "Aku senang kau merasa seperti itu. Ingat, kau tidak sendiri. Aku selalu ada di sini untukmu."
"Selamanya?" tanya Dami, dengan nada menggoda.
"Selamanya," jawab Jian, diiringi tawa mereka berdua.
Saat senja mulai menutup hari, mereka saling berbagi cerita dan tawa, menyimpan kenangan yang akan selalu mengikat mereka meskipun jarak memisahkan. Hari itu, meskipun diwarnai kesedihan, Dami menemukan kembali cahaya harapan dalam persahabatan mereka.
Dami tahu, meskipun Jian tidak lagi ada secara fisik, kenangan indah bersama sahabatnya akan selalu hidup dalam hatinya. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Dami merasa siap untuk melangkah maju, menggenggam semua kenangan dengan penuh rasa syukur.