Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya di rumah Sangho. Udara yang mulai dingin akibat pindah musim September menuju Oktober masuk melalui celah jendela yang terbuka, menyegarkan ruangan, namun tidak bisa mengusir ketegangan yang melingkupi rumah. Sangho duduk di ruang tamu, menatap adiknya, Dami, yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah Seungjae dan mengantarkan jadwal kerjanya. Pikirannya berputar-putar, mengulang-ulang percakapan yang akan segera ia mulai. Ini bukan percakapan yang mudah. Ia tahu, akan ada luka yang mungkin terbuka, tapi itu perlu dilakukan.
"Dami-ya, sebelum kau pergi," panggil Sangho perlahan. Suaranya serak, seolah dipenuhi beban yang tak terlihat. "Bisa duduk sebentar?"
Dami berhenti, menatap kakaknya dengan tatapan bingung. " Cuma sepuluh menit. Aku harus ke agensi untuk mengambil jadwal Seungjae bulan ini." Ia kemudian duduk di sofa di depannya, mencoba terlihat santai. "Ada apa, Oppa? Tumben banget panggil aku duduk."
Sangho menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. Ia tahu apa yang akan ia katakan akan sulit diterima oleh Dami. Selama ini ia menunda-nunda percakapan ini, berharap keadaan akan membaik dengan sendirinya. Tapi sekarang, setelah apa yang ia dengar dari Seungjae, dia tahu waktu itu sudah tiba.
"Dami-ya," mulai Sangho dengan suara hati-hati. "Kau tahu Jian, kan? Temanmu..."
Wajah Dami berubah lembut saat mendengar nama itu, tapi Sangho bisa melihat sekilas kelelahan di matanya. "Iya, tentu saja aku tahu. Aku baru ketemu dia kemarin. Kenapa memangnya?"
Sangho meremas tangannya yang terasa dingin. "Dami-ya... Jian sudah meninggal. Satu tahun yang lalu, tepat di jembatan Sungai Han. Dia bunuh diri."
Sejenak, hanya ada keheningan yang menyelimuti ruangan. Dami terdiam, raut wajahnya berubah tak tentu. Campuran dari keterkejutan, kebingungan, dan rasa tidak percaya memenuhi ekspresinya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia tertawa kecil, canggung, seolah mencoba melepaskan ketegangan itu.
"Oppa, itu tidak mungkin. Aku masih sering ngobrol sama dia. Aku masih bisa jalan bareng Jian kok. Kami bahkan masih saling berkirim pesan dan telepon. Lihat ini." Dami merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel, dengan cepat membuka aplikasi kakaotalk dan menunjukkan kepada Sangho.
Sangho menatap layar ponsel itu dengan hati-hati, mengamati pesan-pesan yang Dami tunjukkan. Tapi apa yang ia lihat membuat perutnya terasa mual. Di sana, hanya ada pesan yang dikirim oleh Dami kepada Jian, tanpa ada balasan sama sekali. Tidak ada tanggapan, tidak ada pesan masuk dari Jian. Hanya deretan pesan yang Dami kirim, seolah berbicara sendirian.
Sangho juga memeriksa riwayat panggilan, dan yang ia temukan justru lebih menyakitkan. Semua panggilan berasal dari Dami kepada Jian, tidak ada satu pun panggilan yang terjawab. Kenyataan ini begitu jelas di depan matanya, namun tampaknya Dami tidak melihatnya.
"Song Dami, lihat baik-baik..." Sangho mulai berbicara lagi, mencoba menjelaskan apa yang sedang terjadi. "Semua pesan ini, kau yang kirim. Tidak ada balasan dari Jian. Dan telepon-telepon ini, mereka tidak pernah tersambung. Kau sudah mencoba menghubungi dia, tapi... dia tidak pernah menjawab."
Dami menatap layar ponselnya sejenak, sebelum menggeleng dengan keras. "Oppa, aku benar-benar baru saja bertemu dia! Jian masih ada. Dia tidak mungkin sudah tidak ada. Kalau tidak ada, siapa yang selama ini ngobrol sama aku? Kau pasti salah, Oppa."
Sangho ingin melanjutkan pembicaraannya, ingin meyakinkan adiknya tentang kenyataan yang sebenarnya. Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, Dami sudah bangkit berdiri. Wajahnya yang semula penuh kehangatan kini tampak sedikit tegang.
"Aku harus pergi sekarang. Ada janji dengan Seungjae di rumahnya, terus aku harus ambil jadwalnya di agensi." Dami buru-buru merapikan tasnya, menghindari tatapan kakaknya.
Sangho ingin menahannya, tapi ia tahu Dami butuh waktu untuk mencerna semua ini. Hanya mengangguk pelan, Sangho membiarkan Dami pergi.
***
Dami sampai di rumah Seungjae dengan perasaan yang kacau. Ia berjalan dengan langkah yang pelan dan lesu, tak seperti biasanya. Dalam pikirannya, percakapan dengan Sangho tadi terus berputar. Jian sudah meninggal? Bagaimana mungkin? Semua terasa begitu nyata baginya. Ia bahkan masih bisa merasakan kehangatan tangan Jian saat mereka berpelukan minggu lalu. Tidak, ini pasti salah.
Saat ia masuk ke rumah Seungjae, ia melihat lelaki itu sudah menunggunya di ruang tamu, duduk dengan cemas. Senyumnya yang biasanya hangat tidak terlihat hari ini. Mata mereka bertemu, dan seketika itu juga Dami merasakan gelombang keraguan kembali membanjiri pikirannya.
"Kau juga beranggapan bahwa Jian sudah meninggal?" tanya Dami, langsung to the point tanpa basa-basi.
Seungjae terdiam sejenak, menelan ludah, sebelum menjawab dengan hati-hati. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia tidak bisa menghindar dari kenyataan. "Dami-ssi... Jian memang sudah meninggal. Satu tahun yang lalu. Aku... aku juga baru tahu dari Sangho hyung, dan aku tahu ini sulit buatmu."
Dami memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Seungjae yang penuh keprihatinan. Ia merasa hatinya semakin berat. "Tapi... aku masih bisa berbicara dengannya. Kami masih sering telepon."
Seungjae mencoba mendekatinya, namun ia tetap menjaga jarak untuk tidak membuat Dami merasa tertekan. "Dami-ssi, aku tahu ini terdengar aneh. Tapi selama ini, teleponmu itu... tidak pernah tersambung. Waktu kau bilang Jian-ssi ingin bicara denganku di telepon kemarin, aku tidak dengar apa-apa. Tidak ada suara sama sekali. Dan setiap kali kau menghubungi Jian-ssi, teleponnya tidak pernah ada."
Dami menatap Seungjae dengan kening berkerut, merasa semua yang dikatakan lelaki itu semakin tidak masuk akal. "Jadi... selama ini aku bicara sama siapa?"
Seungjae menelan ludah lagi, tahu bahwa jawaban ini mungkin akan semakin menyakitkan. "Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, Jian sudah tidak ada. Aku rasa... mungkin kau hanya merasakan kehadirannya karena rindu. Dan itu wajar, setelah apa yang terjadi."
Dami menunduk, tangan gemetar saat ia menggenggam erat tali tasnya. Semua ini terasa seperti mimpi buruk. Sesuatu yang seharusnya tidak nyata tapi terus menghantuinya.
"Aku tidak percaya..." bisik Dami dengan suara serak. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia buru-buru mengusapnya sebelum jatuh. Ia menggeleng pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Aku... aku harus pulang."
Seungjae mencoba menghampirinya, berharap bisa memberikan sedikit kenyamanan. "Dami-ssi, kita bisa ngobrol lagi kalau kau mau. Aku di sini untukmu."
Namun, Dami sudah memutuskan. Ia meraih tas yang ia bawa dan dengan gerakan cepat memberikan jadwal kerja Seungjae yang telah ia ambil dari agensi. "Ini jadwalmu. Aku harus pergi sekarang," ucapnya cepat, tanpa memberi ruang untuk diskusi lebih lanjut.
Sebelum Seungjae bisa berkata apa-apa, Dami sudah berjalan keluar pintu. Pintu tertutup perlahan di belakangnya, meninggalkan Seungjae dengan perasaan berat dan tak berdaya. Ia hanya bisa berharap bahwa suatu saat Dami akan bisa menerima kenyataan ini, meskipun ia tahu, perjalanannya tidak akan mudah.