Sore itu terasa lebih dingin di rumah Sangho, meski udara di luar cukup hangat. Seungjae duduk dengan wajah pucat, seperti baru saja melihat sesuatu yang tak terjelaskan. Sangho, yang duduk di seberangnya, menatap temannya dengan tatapan penuh kebingungan.
"Jian... dia sudah meninggal tahun kemarin," kata Sangho dengan hati-hati, suaranya pelan, namun terasa jelas di telinga Seungjae.
Mata Seungjae melebar seketika, wajahnya makin pucat seperti darahnya mengalir keluar dari tubuhnya. Dia tidak bisa berkata-kata, mulutnya terkatup rapat, seolah mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. Tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdetak tak beraturan.
Sangho yang melihat ekspresi temannya ikut terkejut, merasa ada sesuatu yang salah. Ia tak pernah melihat Seungjae sekaget ini sebelumnya. Wajah Seungjae kini tampak terkejut sekaligus penuh kebingungan, membuat Sangho mulai panik.
"Kenapa kau begitu syok?" Sangho bertanya dengan suara yang penuh kecemasan.
Seungjae, masih syok dengan kenyataan yang baru saja ia dengar, mencoba mengumpulkan pikirannya. Setelah beberapa saat terdiam, ia menghela napas dalam-dalam. Wajahnya tampak kehilangan sinar. "Dami sering cerita tentang Jian," ucap Seungjae dengan pelan, suaranya hampir berbisik. "Dia bilang Jian masih sering telepon dia. Bahkan katanya mereka kadang bertemu."
Kalimat itu membuat Sangho terdiam, otaknya berusaha mencerna ucapan Seungjae. Jian sudah meninggal setahun yang lalu dalam kecelakaan tragis di Jembatan Sungai Han. Dan sejak saat itu, Dami, adiknya, tidak pernah lagi mau membahas tentang Jian. Bahkan, jika ada yang menyebut namanya, Dami selalu menghindar, seolah-olah kenangan tentang Jian terlalu menyakitkan baginya. Bagaimana mungkin Dami mengatakan bahwa dia masih berbicara dengan Jian?
"Apa?" Sangho bergumam bingung, tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya. "Sejak Jian meninggal, Dami tidak pernah mau membicarakan soal dia lagi, Seungjae-ya. Sama sekali. Bahkan kalau aku tanya soal Jian, Dami pasti menghindar."
Seungjae mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti. Dami tampak biasa saja ketika menyebut nama Jian. Bahkan, beberapa kali Dami terlihat tersenyum ketika menceritakan pertemuannya dengan Jian. Namun, kata-kata Sangho semakin membuatnya bingung dan cemas.
"Dia bilang sering ketemu Jian... Mereka ngobrol lewat telepon juga. Bahkan tadi dia juga mengobrol dengannya dan Jian ingin berkenalan denganku. Tapi saat aku coba bicara dengannya lewat telepon, tidak ada suara apapun," lanjut Seungjae, suaranya mulai terdengar tidak stabil. "Ah! Aku juga ingat Dami mengalami sesak napas setiap kali kita lewat jembatan Sungai Han."
Mendengar itu, Sangho seketika tersentak. Wajahnya berubah serius, pandangannya tajam ke arah Seungjae. Ada sesuatu yang sangat mengganggunya. "Sesak napas?" tanya Sangho, nadanya berubah lebih serius.
"Iya, saat itu aku dan Dami sedang ke panti asuhan dan jembatan itu," jawab Seungjae, masih belum sadar betapa besar artinya pernyataan itu. "Dan tiba-tiba saja dia sesak napas."
Sangho menatapnya dengan tatapan penuh kecemasan, suaranya terdengar sedikit gemetar saat dia berbicara lagi. "Seungjae-ya... Jian bunuh diri di Jembatan Sungai Han tahun lalu. Sejak itu, Dami tidak pernah mau melewati jembatan itu."
Seungjae terdiam, jantungnya terasa berhenti berdetak sejenak. Kata-kata Sangho bagaikan pukulan telak di dada, membuatnya merasa berat bernapas. Jian bunuh diri? Di jembatan Sungai Han? Seungjae tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Apa yang Dami ceritakan selama ini tentang Jian? Apakah itu semua hanya imajinasi? Kenapa Dami tidak pernah bercerita tentang kejadian tragis itu?
Suasana di antara mereka menjadi hening sejenak, masing-masing larut dalam pikiran mereka sendiri. Sangho tampak ragu-ragu, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari Seungjae. Dia menatap temannya dengan penuh kecemasan, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya. Sementara Seungjae duduk dengan kepala tertunduk, pikirannya berputar tak tentu arah. Apa yang sedang terjadi pada Dami? Apakah ini hanya halusinasi atau ada sesuatu yang lebih dalam dari ini?
Sangho akhirnya memecah keheningan. "Aku spertinya akan bicara sama Dami nanti. Aku harus memastikan apa yang sebenarnya terjadi."
Seungjae mengangguk, meskipun dalam hatinya, ada ketakutan besar bahwa semua ini mungkin hanya kesalahpahaman. Mungkin Dami hanya terjebak dalam kenangan dan kesedihan. Tapi bagaimana dengan telepon dan pertemuan-pertemuan itu? Semua terasa begitu nyata bagi Seungjae. Namun, kenyataan bahwa Jian sudah meninggal membawa kebingungan besar dalam hatinya.
"Ya, aku setuju. Kita harus memastikan," ujar Seungjae pelan. Meskipun kata-katanya terdengar tenang, batinnya bergejolak. Ia takut jika kenyataan yang mereka hadapi lebih mengerikan daripada apa yang bisa mereka bayangkan.
***
Malam itu, Sangho duduk di ruang tamu rumahnya. Tubuhnya yang masih dalam proses pemulihan terasa lelah, namun pikirannya tidak bisa tenang. Pikirannya terus berputar pada apa yang Seungjae ceritakan sore tadi. Jian yang sudah meninggal, tapi Dami bersikeras mengatakan bahwa ia masih sering bertemu dengannya. Bagaimana mungkin?
Pintu depan berderit pelan ketika Dami masuk. Ia tersenyum tipis pada kakaknya, tidak menyadari kekhawatiran yang tersembunyi di balik tatapan Sangho. "Kau sudah makan, Oppa?" tanya Dami dengan nada riang, seolah tidak ada yang aneh.
Sangho mencoba bersikap tenang. Ia tidak ingin langsung menekan adiknya. "Sudah. Kau dari mana tadi?" tanyanya santai, namun sebenarnya ingin mendengar jawaban yang bisa memberikan kepastian.
Dami duduk di sofa di sebelah Sangho. "Aku habis bertemu Jian," jawabnya dengan santai.
Hati Sangho seakan berhenti berdetak mendengar kalimat itu. Matanya langsung melebar, meskipun dia berusaha menahan ekspresinya. Kalimat itu menguatkan apa yang diceritakan Seungjae sebelumnya. Jian sudah meninggal, tapi Dami masih merasa bertemu dengannya.
Sangho tidak tahu harus berkata apa. Ada keinginan untuk langsung bertanya lebih jauh, tapi dia khawatir reaksi Dami. Apakah adiknya sadar bahwa Jian sudah tidak ada? Atau apakah Dami sedang mengalami sesuatu yang lebih serius, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan akal sehat?
"Dami..." Sangho akhirnya bersuara, meskipun ada keraguan di hatinya. "Jian sudah... maksudku, apa yang kalian bicarakan tadi?"
Dami tersenyum kecil. "Kami bicara seperti biasa. Jian bilang dia senang melihat aku sudah lebih baik."
Sangho hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Kata-kata Dami membuatnya semakin bingung dan cemas. Ia tahu ada sesuatu yang salah, tapi tidak tahu bagaimana cara untuk menghadapinya. Haruskah ia langsung mengingatkan Dami bahwa Jian sudah meninggal? Atau apakah lebih baik menunggu sampai Dami sadar sendiri? Tapi, jika menunggu, ia takut segalanya akan terlambat.
Dami berdiri dari sofa, tersenyum tipis sebelum berjalan ke arah kamarnya. "Aku lelah, Oppa. Aku mau tidur dulu, ya."
Sangho menatap punggung adiknya yang perlahan menghilang di balik pintu kamarnya. Ada perasaan hampa yang tiba-tiba muncul di dadanya. Ia merasa tak berdaya, tidak tahu harus bertindak apa. Pikiran tentang Jian dan bagaimana Dami masih berbicara dengannya terus menghantuinya.
Malam itu, Sangho hanya duduk sendirian di ruang tamu, merenung dalam diam. Kepalanya penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban, tapi satu hal yang pasti: sesuatu yang sangat aneh sedang terjadi pada Dami. Dan esok harinya, ia tahu harus mencari jawaban, apa pun risikonya.