Seungjae menginjak pedal gas mobil dengan perlahan, membiarkan pemandangan kota yang sibuk bergulir di kaca jendela. Di kursi penumpang, Sangho duduk dengan nyaman, tubuhnya tampak lebih kurus dari biasanya setelah beberapa minggu di rumah sakit. Namun, wajahnya terlihat cerah, dengan senyum kecil yang sesekali terselip di antara percakapan mereka.
"Jadi, bagaimana kabarmu selama di rumah sakit? Bosan, ya?" tanya Seungjae sambil melirik sekilas ke arah Sangho, memastikan ia baik-baik saja.
Sangho tertawa kecil. "Ya, bosan juga, tapi aku sudah lebih baik sekarang. Untung ada Dami yang selalu berkunjung. Kalau tidak, mungkin aku sudah gila sendirian di sana."
Menyebut nama Dami, Seungjae tersenyum kecil. "Ah, ngomong-ngomong soal Dami, dia itu benar-benar pekerja keras, ya. Selama ini dia banyak bantu aku sebagai manajer. Jujur, aku tidak tahu bagaimana jadinya tanpa dia. Dia selalu mengatur segalanya dengan baik, bahkan saat aku tidak minta. Kadang aku merasa terlalu mengandalkannya."
Sangho mendengarkan sambil tersenyum lebar. "Dami memang seperti itu. Dia selalu memberi lebih dari yang diminta. Tapi aku tahu dia pasti kesal juga sama kau."
Seungjae mengangkat alis, penasaran. "Kesal? Kenapa?"
Sangho terkekeh, melipat tangan di dadanya. "Ya, kesal karena kau. Kadang dia cerita ke aku, katanya kau sering minta tolong mendadak, atau tiba-tiba mengubah rencana tanpa kasih tahu sebelumnya. Tapi tenang saja, dia tidak benar-benar marah. Dami itu sabar, tapi dia juga tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. padaku"
Seungjae tertawa kecil mendengar itu. "Ah, ya, aku memang sering melakukan itu dulu. Tapi aku tidak tahu dia kesal sampai sebegitu, sih. Aku harus lebih hati-hati kalau begitu."
Tapi, di balik percakapan ringan itu, ada satu pertanyaan yang terus mengganggu pikiran Seungjae. Pertanyaan tentang Jian, perempuan yang Dami sebut-sebut beberapa kali belakangan ini. Sebuah rasa penasaran mengusik hatinya, meskipun ia tidak ingin terlihat terlalu tertarik. Kata-kata tentang Jian sudah berada di ujung lidahnya, tetapi ia menahannya, takut pertanyaannya akan terdengar aneh di telinga Sangho.
Akhirnya, Seungjae memilih mengubah arah pembicaraan. "Oh ya, soal Dami... Dia baik-baik saja, kok, selama ini bersamaku. Kau tidak perlu khawatir. Fokus saja pada penyembuhanmu dulu."
Sangho mengangguk pelan. "Gomawo, Seungjae-ya. Aku tahu Dami selalu bisa diandalkan, tapi tetap saja, aku tidak bisa berhenti khawatir. Sekarang, aku sudah di rumah, aku akan lebih sering melihatnya. Jadi, jangan terlalu merepotkannya, ya."
"Tenang saja," jawab Seungjae sambil terkekeh. "Aku akan pastikan dia tidak terlalu sibuk."
Mereka melanjutkan perjalanan tanpa banyak percakapan lagi, membiarkan suasana nyaman di antara mereka menyelimuti sepanjang jalan. Sesampainya di rumah, Seungjae membantu Sangho turun dari mobil dan mengantarnya ke dalam rumah. Sangho terlihat lega bisa kembali ke rumah setelah berminggu-minggu di rumah sakit.
"Kalau ada apa-apa, kabari aku, ya," kata Seungjae sebelum pergi.
"Pasti," jawab Sangho dengan senyum tipis. "Jaga dirimu juga."
***
Di sisi lain kota, Dami duduk di sebuah bangku taman bersama Jian, sahabatnya sejak masa kuliah. Mereka sering bertemu di sini untuk saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Udara sore yang sejuk dan angin lembut membuat suasana semakin tenang, cocok untuk obrolan panjang yang tidak pernah selesai.
Jian, dengan senyum cerahnya, menghela napas puas setelah mendengar cerita terbaru Dami. "Jadi, kau sibuk sekali akhir-akhir ini membantu Seungjae-ssi, ya?"
Dami mengangguk, sambil menyandarkan tubuhnya di bangku taman. "Iya, kadang-kadang rasanya capek juga. Tapi, aku menikmati pekerjaanku. Seungjae-ssi memang kadang susah ditebak, tapi dia orang baik. Aku belajar banyak dari dia."
"Masa?" Jian tersenyum menggoda. "Kau sering loh ngomongin dia belakangan ini."
Dami melirik Jian dengan mata menyipit. "Jangan mulai, Jian-ah. Kau tahu aku cuma kerja, kan."
Mereka berdua tertawa bersama. Saat itu, ponsel Dami bergetar, menandakan pesan masuk. Ia membuka chat dan mendapati pesan dari Seungjae.
Lim Seungjae:
eodiya?
Dami tersenyum kecil dan mengetik balasan.
Song-Da:
sedang bersama Jian
wae?
Seungjae membalas cepat.
Lim Seungjae:
aku baru saja dari rumahmu
mengantar Sangho hyung
mau makan bareng? aku jemput
Dami menatap pesan itu sejenak sebelum membalas.
Song-Da:
bole
jemput aku di taman dekat rumah
aku sedang disini
Jian yang melihat reaksi Dami hanya tersenyum iseng. "Siapa itu? Seungjae-ssi?"
"Ya, dia mau jemput untuk makan bareng."
"Oh, titip salam, ya. Jangan lupa." Jian mengedipkan mata jahil, membuat Dami tertawa pelan. "Ya sudah. Aku juga harus kembali. Pacarku sudah mencari. Bye!"
Dami mengangguk dan membalas lambaian tangan Jian sebelum Jian menghilang di balik tembok.
Beberapa menit kemudian, Seungjae tiba di taman dan menemukan Dami duduk sendirian. Setelah memarkir mobilnya, Seungjae berjalan mendekati mereka.
"Jian titip salam untukmu," kata Dami sambil bangkit dari bangku taman ketika Seungjae sudah tiba.
Seungjae tersenyum singkat dan mengangguk. "Salam balik untuknya."
Mereka berdua kemudian berjalan bersama menuju mobil.
Dalam perjalanan menuju restoran yang telah mereka sepakati, Seungjae dan Dami bercakap-cakap ringan, meskipun ada satu hal yang tak henti-hentinya mengganggu pikiran Seungjae—tentang Jian. Ada rasa ingin tahu yang terus tumbuh dalam dirinya tentang hubungan antara Dami dan Jian, tetapi seperti sebelumnya, ia menahan diri untuk tidak bertanya terlalu jauh.
"Mau makan apa?" tanya Seungjae, memecah keheningan yang singkat.
"Gimana kalau makan ramen?" jawab Dami sambil melirik ke arah Seungjae, berharap ia setuju.
"Ramen sounds good," balas Seungjae sambil mengarahkan mobil menuju restoran ramen terdekat.
Setelah mereka sampai di restoran, suasana kembali menghangat. Mereka duduk berhadapan di meja kecil, aroma kuah ramen yang sedap segera mengisi udara. Dami terlihat nyaman, mengobrol dengan semangat tentang berbagai hal, mulai dari pekerjaan hingga rencana liburannya nanti.
Seungjae mendengarkan dengan seksama, namun pikirannya kadang-kadang melayang ke Jian. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya penasaran tentang sosok pria itu. Tapi, ia memilih untuk tidak terlalu memikirkannya dan menikmati malam bersama Dami.
"Jadi, bagaimana tadi dengan Sangho oppa?" tanya Dami tiba-tiba.
"Oh, dia sudah lebih baik," jawab Seungjae. "Kita bicara banyak tentang kau, loh."
Dami tersenyum geli. "Tentang aku? Apa yang kalian bicarakan?"
"Yah, Sangho cerita kalau kau sering kesal karena aku. Tapi, aku tahu kau sebenarnya tidak benar-benar marah," jawab Seungjae dengan senyum menggoda.
Dami tertawa pelan. "Ya, dulu memang kadang kau memang menyebalkan, tapi aku sudah terbiasa."
Obrolan mereka berlanjut dengan tawa dan canda. Malam itu terasa ringan, tanpa ada beban. Meski ada banyak hal yang ingin Seungjae tanyakan tentang Jian, ia memilih untuk menunggu waktu yang tepat. Yang penting, malam itu mereka menikmati kebersamaan, tertawa, dan berbagi cerita seperti biasanya.
Seungjae tahu, meskipun ada banyak hal yang belum ia pahami tentang Dami dan kehidupan pribadinya, ada satu hal yang ia yakini—bahwa ia menikmati setiap momen yang mereka habiskan bersama. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup.