Loading...
Logo TinLit
Read Story - Between Us
MENU
About Us  

Setelah perdebatan yang sengit di ruang rapat tadi, suasana di sekitar Seungjae terasa lebih panas dari biasanya. Dia keluar dari ruangan dengan langkah cepat, wajahnya masih tegang setelah tidak berhasil mendapatkan dukungan untuk ending yang ia inginkan. Dami berjalan di belakangnya, sesekali meliriknya dengan cemas. Seungjae benar-benar terdiam. Ia bahkan tak berkata sepatah kata pun sepanjang perjalanan ke bioskop, hanya fokus menyetir, bibirnya mengatup rapat.

Dami paham betul mengapa Seungjae sangat bersikeras mempertahankan sad ending. Ini bukan sekadar soal cerita, tapi juga prinsip. Seungjae ingin menyampaikan pesan bahwa hidup tidak selalu berakhir bahagia, bahwa terkadang, hal-hal yang kita anggap bisa diperbaiki ternyata terlambat untuk diperbaiki. Baginya, mengubah ending menjadi happy ending akan merusak esensi cerita yang sudah ia bangun dengan hati-hati sejak awal. Tapi agensi, seperti biasa, menginginkan sesuatu yang lebih bisa diterima pasar—sesuatu yang ceria dan menyenangkan.

Perjalanan mereka ke bioskop terasa singkat, mungkin karena jalanan tidak terlalu macet. Sesampainya di sana, Dami sedikit lega melihat Seungjae mulai tenang, meski sisa-sisa emosi masih terlihat di matanya. Mereka berdiri di antrean untuk membeli tiket, hanya ada satu orang lagi di depan mereka.

Saat tiba gilirannya, Seungjae tanpa banyak bicara langsung memesan dua tiket untuk film komedi romantis. "Film ini, untuk dua orang," ucapnya singkat, lalu mengeluarkan ponsel untuk membayar dengan cepat sebelum Dami sempat mengeluarkan kartunya. Dami hanya bisa tersenyum tipis melihat refleks Seungjae yang cepat.

Mereka mengambil popcorn dan minuman sebelum berjalan pelan menuju studio. Seungjae membawa sebagian besar barang-barang, termasuk minuman soda mereka, sementara Dami hanya menggenggam tiket dan popcorn. Sepanjang jalan, Dami masih memikirkan apa yang terjadi di rapat tadi dan apa yang sebenarnya membuat Seungjae begitu ngotot.

"Kau... kenapa tadi sangat ngotot ingin menulis sad ending?" tanya Dami, akhirnya memberanikan diri untuk membuka percakapan.

Seungjae menoleh sedikit sebelum kembali fokus berjalan. "Karena dari awal, aku sudah membangun cerita ini untuk sad ending. Semuanya sudah kususun begitu sejak konsep, outline, hingga plotnya. Kalau tiba-tiba diubah jadi happy ending, rasanya tidak masuk akal."

Dami mengangguk paham, tapi rasa penasarannya belum juga hilang. "Memang cerita apa yang sedang kau tulis kali ini?"

Seungjae menghela napas, tampak sedikit enggan bercerita. Namun, akhirnya ia mulai bicara. "Ini tentang seorang pria yang bertemu dengan seorang perempuan di media sosial. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda—jurusan kuliah, kehidupan keluarga, semuanya. Mereka mencoba menjalin hubungan, tapi seiring waktu, lelaki itu tidak memberikan perhatian yang cukup. Hubungan itu terasa satu arah, di mana hanya si perempuan yang berjuang."

Dami menelan ludah, mendengar alur cerita yang terdengar begitu nyata dan menyakitkan. "Lalu apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Dami, menyerahkan tiket mereka pada petugas sebelum masuk ke studio.

Setelah mereka duduk di kursi mereka, Seungjae melanjutkan. "Perempuan itu akhirnya menyerah dan memutuskan hubungan. Lelaki itu menyesal setelah perempuan itu benar-benar pergi. Dia baru sadar betapa pentingnya keberadaan perempuan itu di hidupnya."

Dami mendengarkan dengan seksama, merasakan kedalaman cerita yang Seungjae tulis. "Menurutmu, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku membuat mereka kembali bersama di akhir?" tanya Seungjae tiba-tiba, membuat Dami terkejut.

Dami berpikir sejenak, tapi sebelum sempat menjawab, Seungjae menepuk pahanya, seakan sudah menemukan jawabannya sendiri. "Aku masih yakin dengan sad ending. Tapi kita lihat nanti."

Mereka terdiam sejenak. Film akan segera dimulai, dan Seungjae tiba-tiba meletakkan jaketnya di atas kaki Dami yang mengenakan dress. Sentuhan hangat jaket itu membuat Dami tertegun sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia melirik ke arah Seungjae yang tampak tidak terlalu memperhatikan, lalu mengalihkan pandangan ke layar. Sepanjang film, kadang tangan mereka bersentuhan saat mengambil popcorn. Setiap kali itu terjadi, Dami buru-buru menarik tangannya dan berdeham pelan, merasa gugup. Sepanjang film ia lebih banyak diam, dan mengeluarkan suara jika Seungjae mengajaknya bicara. Begitu saja.

Film berakhir lebih cepat dari yang Dami kira. Meski cerita di layar begitu ringan dan menghibur, pikiran Dami masih terfokus pada Seungjae dan cerita novel yang sedang ia tulis. Tanpa banyak bicara, mereka keluar dari studio dan kembali menuju mobil. Suasana masih terasa canggung, terutama dengan Dami yang belum tahu harus berkata apa. Seungjae juga masih tampak terdiam, mungkin masih memikirkan hasil rapat tadi.

***

Perjalanan pulang berlangsung dalam keheningan yang cukup nyaman. Dami sibuk memandangi jalanan yang semakin sepi dari balik jendela mobil, sementara Seungjae mengemudi dengan tenang. Namun, ada sesuatu yang terasa menggantung di antara mereka. Seungjae sesekali melirik ke arah Dami, memperhatikan bagaimana sikap gadis itu terlihat canggung sejak tadi.

Saat mobil akhirnya berhenti di depan rumah Dami, gadis itu dengan cepat membuka pintu dan bersiap turun. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, Seungjae dengan sigap menahan pergelangan tangannya.

"Hei, kenapa buru-buru sekali?" kata Seungjae, suaranya terdengar ringan namun ada nada ledekan di dalamnya. "Belakangan ini kau aneh sekali, tahu?"

Dami terdiam sejenak, menoleh ke arah Seungjae dengan ekspresi bingung. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai dirinya. "Aku... aku tidak aneh," jawabnya dengan cepat, meski nada suaranya terdengar sedikit gugup. "Ini sudah malam, kau harus pulang."

Seungjae mengangkat alis, senyum kecil muncul di wajahnya. "Sudah malam? Itu alasanmu? Sejak kapan kau begitu peduli pada waktu malam?" Ia melepaskan tangannya perlahan dari pergelangan Dami, tapi tetap menatapnya dengan tatapan yang penuh rasa ingin tahu. "Atau... kau sedang menghindariku?"

Dami tergagap mendengar tuduhan itu. "Aku tidak menghindarimu! Aku hanya... ya, kau tahu, aku hanya... sibuk," jawabnya, berusaha mencari alasan yang masuk akal, meskipun ia tahu bahwa itu terdengar lemah.

"Sibuk?" Seungjae tertawa kecil, menggoda. "Kau benar-benar tidak pandai berbohong, Dami-ssi." Ia kemudian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, matanya memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu dengan tajam. "Kau sering bertingkah aneh akhir-akhir ini. Saat kita nonton tadi, kau bahkan seperti berusaha menghindari kontak denganku setiap kali kita bersentuhan. Ada apa sebenarnya?"

Dami merasa wajahnya memanas, tetapi ia tetap mencoba menghindari tatapan Seungjae. "Aku tidak bermaksud begitu," gumamnya pelan, lalu tersenyum kecil, meski jelas-jelas gugup. "Mungkin aku hanya terlalu fokus pada film."

Seungjae menyipitkan mata, seakan tidak percaya dengan jawaban itu. "Oh ya? Terlalu fokus pada film? Padahal filmnya tidak terlalu menarik."

Dami tertawa pelan, sedikit lega bahwa Seungjae hanya meledeknya. "Ya, mungkin filmnya kurang seru."

Namun, Seungjae tidak berhenti di situ. Ia terus menggoda, sambil tersenyum lebar. "Atau mungkin... kau hanya merasa canggung di dekatku. Apa aku terlalu menakutkan?"

"Bukan begitu!" protes Dami, kini wajahnya benar-benar memerah. "Kau sama sekali tidak menakutkan."

Seungjae tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Kalau begitu, kenapa kau terlihat seperti ingin melarikan diri setiap kali kita bertemu? Kalau kau terus begini, aku bisa salah paham, loh."

Dami menghela napas, merasa malu sekaligus sedikit terhibur dengan sikap Seungjae yang terus menggodanya. "Aku tidak sedang melarikan diri," gumamnya, meski jelas-jelas ia merasa sedikit canggung dengan situasi ini.

"Kau yakin?" Seungjae kembali tertawa, mengacak rambutnya dengan santai. "Karena aku mulai berpikir, mungkin aku harus lebih berhati-hati di dekatmu. Siapa tahu aku melakukan sesuatu yang membuatmu tidak nyaman."

Dami akhirnya tersenyum kecil, meski pipinya masih memerah. Ia menggelengkan kepala dan akhirnya mengakui, "Mungkin aku hanya sedang lelah, itu saja."

Seungjae mengangguk pelan, tapi senyumnya masih tidak hilang. "Baiklah, kalau begitu, aku tidak akan meledekmu lagi." Ia kemudian menambahkan, "Untuk malam ini, setidaknya."

Dami tertawa kecil, merasa lebih rileks sekarang. "Terimakasih," katanya sambil membuka pintu mobil dengan lebih santai kali ini. "Sampai jumpa besok, Seungjae-ssi. Josimhi gayo." (Hati-hati di jalan)

Seungjae hanya mengangguk dan mengangkat tangannya sebagai salam perpisahan. "Sampai jumpa, Dami-ssi. Jangan lari-lari lagi besok."

Dami menggeleng sambil tersenyum sebelum akhirnya turun dari mobil. Ketika dia masuk ke rumah, senyum di wajahnya tetap ada, merasa sedikit terhibur dengan lelucon-lelucon Seungjae. Di dalam mobil, Seungjae masih tersenyum, menikmati interaksi singkat itu sebelum akhirnya melajukan mobilnya ke jalan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Penantian
4058      1747     16     
Romance
Asa. Jika hanya sekali saja, maka...
Coldest Husband
1629      823     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
Teman
1466      678     2     
Romance
Cinta itu tidak bisa ditebak kepada siapa dia akan datang, kapan dan dimana. Lalu mungkinkah cinta itu juga bisa datang dalam sebuah pertemanan?? Lalu apa yang akan terjadi jika teman berubah menjadi cinta?
Janjiku
610      437     3     
Short Story
Tentang cinta dan benci. Aku terus maju, tak akan mundur, apalagi berbalik. Terima kasih telah membenciku. Hari ini terbayarkan, janjiku.
Melody Impian
639      437     3     
Short Story
Aku tak pernah menginginkan perpisahan diantara kami. Aku masih perlu waktu untuk memberanikan diri mengungkapkan perasaanku padanya tanpa takut penolakan. Namun sepertinya waktu tak peduli itu, dunia pun sama, seakan sengaja membuat kami berjauhan. Impian terbesarku adalah ia datang dan menyaksikan pertunjukan piano perdanaku. Sekali saja, aku ingin membuatnya bangga terhadapku. Namun, apakah it...
Le Papillon
3229      1271     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
Love Dribble
10713      2072     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
The Accident Lasts The Happiness
568      393     9     
Short Story
Daniel Wakens, lelaki cool, dengan sengaja menarik seorang perempuan yang ia tidak ketahui siapa orang itu untuk dijadikannya seorang pacar.
Manusia Air Mata
1165      709     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Heartbeat
225      177     1     
Romance
Jika kau kembali bertemu dengan seseorang setelah lima tahun berpisah, bukankah itu pertanda? Bagi Jian, perjumpaan dengan Aksa setelah lima tahun adalah sebuah isyarat. Tanda bahwa gadis itu berhak memperjuangkan kembali cintanya. Meyakinkan Aksa sekali lagi, bahwa detakan manis yang selalu ia rasakan adalah benar sebuah rasa yang nyata. Lantas, berhasilkah Jian kali ini? Atau sama seper...