Dami memang berkata pada Seungjae jika dia ingin pulang, tapi sebenarnya...
Tidak. Dami tidak langsung pulang. Untuk apa pulang ke rumah jika dia hanya mendatangi ruang kosong tak berpenghuni. Ya entah sih apakah ada penghuni lan yang tidak terlihat atau tidak, tapi pastinya tidak ada penghuni yang dapat Dami ajak lihat dan bicara di rumah itu. Sangho juga masih di rumah sakit. Jadi... Dami memilih untuk pergi beli icecream di toko kelontong dekat rumah dan duduk di bangku ayunan yang terdapat tak jauh dari sana.
Kakinya sesekali menarik ayunan mundur yang mengakibatkan ayunan itu bergerak pelan, terbang ke udara rendah. Dirinya juga memakan ice cream tersebut perlahan. Menikmati rasa manis yang memasuki mulutnya. Langit malam tidaklah seindah yang kemarin memang, tapi masih bisa dianggap cantik. Beberapa bintang menghiasi langit berwarna biru gelap dengan awan putih-kelabu itu.
Sambil bermain pelan dan menikmati malamnya, pikiran Dami berputar ke belakang, ke ingatan pada hari dia dan Seungjae bermain ke rumah panti asuhan. Mengingat bagaimana dirinya bisa tersenyum lepas saat bermain dengan mereka, Seungjae yang ternyata bisa tertawa lepas dan berlagak sebagai kakak pada anak-anak di panti asuhan tersebut.
Mengingat bagaimana panasnya wajahnya saat diledek oleh anak-anak, bagaimana Seungjae meresponsnya.
Dengan memikirkan itu sjaa, membuat Dami tersenyum lagi. Hanya sebentar, karna setelahnya dia menggelengkan kepalanya seakan tersadar dari pikirannya sendiri.
"Kau ini berpikir apa sih, Song Dami."
Dami kembali menarik bangku itu ke belakang dengan kakinya, kali ini agak lebih tinggi agar ia bisa sedikit terbang lebih tinggi di ayunan tersebut.
Sepertinya dia tahu alasan dia merasa aneh belakangan ini. Ini karna interaksinya dengan Seungjae sudah berbeda dengan dulu. Lebih sering dan lebih santai. Pandangannya mengenai lelaki itu juga sudah berubah. Awalnya Dami merasa bahwa Seungjae adalah lelaki menyebalkan yang sebaiknya Dami tidak temui. Tapi setelah berkenalan dan bertemu lebih lama, ternyata lelaki itu tidak semenyebalkan seperti pikiran Dami.
Justru... lelaki itu memiliki hati yang hangat. Ada bagian hangat sendiri untuk beberapa orang. Apalagi setelah Dami melihat interaksi dekat antara Seungjae dan adik-adiknya di panti asuhan. Latar belakang Seungjae termasuk adopsinya. Jujur saja, Dami sempat sedikit terkejut mendengar bahwa Seungjae adalah anak adopsi, dan bahkan menceritakan itu kepada dirinya. Tapi Dami juga berterimakasih karna dengan itu, Dami menjadi lebih mengenal Seungjae. Pandangannya juga ikut berubah seiring berjalannya waktu.
Dami tidak percaya dirinya bisa dekat, bermain, apalagi tertawa dengan orang lain selain Jian. Mengingat bagaimana diamnya diri dia sendiri, dan bagaimana pertemuan mereka yang menyebalkan itu. Tidak terbayang bagaimana mereka bisa sedekat ini sekarang.
Permainan ayunan itu dan lamunan terhenti saat Dami merasakan ponselnya bergetar dalam saku jaketnya. Kakinya langsung menapak tanah untuk menghentikan laju ayunan tesebut dan mengecek ponselnya.
Lim Seungjae:
besok kita nonton ya
sehabis dari rapat
aku butuh inspirasi, oke?
Seukir senyum terbit di wajah Dami. Digigitnya ice cream tersebut agar jarinya bia mengetik balasan dan mengirimnya pada Seungjae.
Song-Da:
oke!
***
Seungjae duduk tegap di ujung meja, wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Rapat yang seharusnya selesai satu jam lalu terus berlanjut, dengan topik akhir cerita novelnya yang semakin memanas. Tim editorial, terutama kepala editornya, tidak setuju dengan keputusannya untuk memberikan sad ending.
"Seungjae jakkanim, kebanyakan pembaca menginginkan happy ending," ujar kepala editor, suaranya terdengar tegas namun tetap tenang. "Itulah yang laku di pasaran. Orang suka menutup buku dengan perasaan senang, mengetahui bahwa segalanya berjalan baik-baik saja." (Penulis Seungjae)
Seungjae mendengus pelan, tatapannya tajam mengarah pada kepala editor. "Justru karena itulah aku ingin sesuatu yang berbeda," jawabnya dengan nada yang tak kalah keras. "Aku sudah menulis happy ending selama ini. Pembaca selalu tahu apa yang akan terjadi di akhir—semua beres, semua bahagia. Tapi hidup tidak selalu seperti itu. Orang butuh cerita yang lebih realistis, yang bisa mereka pikirkan lama setelah menutup bukunya. Sad ending punya kekuatan itu."
Kepala editor bersandar di kursinya, menghela napas panjang. "Tapi pembaca kita tidak mau realistis, Jakkanim. Mereka baca novel untuk lari dari kenyataan, bukan untuk diingatkan betapa sulitnya hidup. Pembaca ingin merasa lega, puas. Sad ending akan membuat mereka kecewa."
"Baro geugeoyeyo! Jega wonhaettdeon ge baro gegoyeyo, Timjangnim." Seungjae tak lagi bisa menyembunyikan emosinya. "Aku ingin novel ini berbeda. Aku ingin mereka merasakan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kebahagiaan. Kalau kau masih tidak bisa setuju dengan sad ending, kita bisa pilih open ending. Bagaimana?" (Justru itu! Itulah yang kuinginkan, Kepala Tim!)
Kepala editor menggeleng kuat, seolah tak habis pikir. "Open ending juga bukan solusi. Orang mau jawaban, bukan menggantung. Sejujurnya, Seungjae jakkanim, kalau kau tetap kekeuh dengan sad atau open ending, aku takut pembaca akan kecewa dan berhenti membaca karya-karyamu."
Dami duduk di pojok ruangan, memperhatikan perdebatan yang semakin panas. Seungjae yang biasanya santai, sekarang terlihat serius dan keras kepala, mempertahankan keinginannya. Dami bahkan bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara, membuat napasnya sedikit tersendat.
"Aku tidak peduli," Seungjae menjawab dengan tegas, suaranya terdengar semakin berat. "Jika aku harus terus menulis novel dengan pilihan yang sama hanya demi memuaskan orang lain, apa gunanya aku menulis? Aku ingin memberikan karya yang bermakna, bukan sekadar cerita yang mudah dilupakan."
Kepala editor menatapnya, sedikit frustrasi. "Kau tahu sendiri, industri ini tidak berjalan hanya dengan idealisme, Jakkanim. Kau salah satu penulis terbaik kami, tapi kita juga harus mempertimbangkan apa yang diinginkan pasar. Jika kau terus mendorong sad ending, ini bisa berdampak pada penjualan buku."
"Kau pikir aku peduli soal penjualan?" Seungjae bersandar ke belakang, melipat tangan di dada. "Kalau pembaca benar-benar suka cerita yang bagus, mereka akan menghargai ending yang sesuai dengan alur cerita, bukan hanya karena berakhir bahagia. Aku tidak menulis hanya untuk membuat orang senang. Aku menulis untuk membuat mereka merasa."
Suasana semakin menegang. Semua orang di ruangan terdiam, tak ada yang berani menyela perdebatan antara Seungjae dan kepala editor. Dami, yang sedari tadi diam, tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Sisi profesional Seungjae yang begitu keras kepala dan penuh keyakinan membuatnya kagum. Dia bukan hanya seorang novelis sukses, tapi juga seseorang yang tidak mau mengorbankan idealismenya demi keuntungan komersial.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, kepala editor mengangkat tangan, mencoba meredakan situasi. "Baiklah. Kita sudahi dulu rapat hari ini. Kita bisa lanjutkan diskusi ini lagi setelah kau selesai dengan chapter 20 yang sedang kau tulis. Aku harap, ketika itu, kau punya perspektif yang lebih baik tentang akhir cerita."
Seungjae hanya mengangguk singkat, tidak menjawab. Matanya masih menatap editor dengan dingin. Begitu rapat berakhir, semua orang mulai berkemas dan meninggalkan ruangan. Dami melirik Seungjae sebelum berdiri. Dia bisa melihat ketegangan di wajah pria itu, tapi juga kegigihan yang membuatnya merasa kagum.
Ketika Dami melangkah keluar dari ruangan, satu hal terlintas di benaknya—ia belum pernah melihat seseorang sekeras kepala Seungjae saat mempertahankan apa yang ia yakini benar. Dan hal itu, entah bagaimana, membuat sosok Seungjae semakin menarik di matanya.