Lagi. Dami duduk di depan komputernya yang menampilkan laporan yang telah ia selesaikan lagi. Sebuah laporan yang sebenarnya bukanlah pekerjaannya.
Tuk tuk
Ketukan di meja kantornya itu menarik perhatian Dami sejenak untuk melihat Yena dengan penampilan cantiknya -Dami akui yena memang cantik kok- itu sedang berdiri bersandar di mejanya dan tersenyum manis padanya.
"Dami-ssi. Bagaimana laporanku yang kemarin ku berikan?" Tentu saja. Tidak mungkin perempuan ini datang ke mejanya dengan senyuman manis hanya untuk menyapa.
Dami tersenyum terpaksa, merasakan otot-otot wajahnya tegang seakan-akan menolak bergerak dan menghela napasnya pelan. "Hari ini harusnya sudah selesai. Bisakah kau tugngu sebentar, Sunbae?"
Iyap, seperti yang sudah kalian duga, itu adalah pekerjaan si yena ini sebenarnya. Tapi seperti biasa, Yena melemparkan tugas itu ke para juniornya dengan alasan dia sudah banyak pekerjaan. Dan sebagai karyawan yang masih kontrak, Dami dan yang lain tidak berani mengatakan itu kepada atasan karna penilaian kinerja mereka ada di tangan si Park Yena ini.
"Baiklah. Jangan terlalu terlambat. Aku sudah ditanya kapan laporan itu akan selesai."
"Ne, Sunbae."
***
"Dami-ssi. Kau sudah melihat penilaian kinerja bulan ini?"
Dami yang kini sedang melangkahkan kakinya di sebelah teman seperjuangannya di bawah 'didikan' Park Yena itu menoleh dengan senyum lesunya dan menggeleng. "Sudah keluar kah?"
"Sudah tau. Kau tau, Namgi mendapat nilai tertinggi dari kita bertiga lagi. Bukankah itu suatu kebohongan? Padahal Namgi tidak mengerjakan apa-apa. Kau yang selalu disusahkan oleh Yena sunbae selama ini. Selalu diminta mengerjakan ini itu, tapi tetap saja kau tidak pernah diberikan credit olehnya. Sedangkan Namgi selalu dipuji-pujinya di depan para atasan." Terdengar helaan napas berat dari temannya ini yang membuat Dami sedikit terhibur karna ada yang menggantikannya untuk kesal.
Kaki mereka rasanya sangat pegal karna memakai sepatu sepanjang hari. "Biarkanlah. Nanti jika sudah menjad ikaryawan tetap, kita bisa membicarakannya pada atasan, bukan, Mina-ssi?"
Yeo Mina, perempuan yang daritadi menemaninya keluar dari gedung perkantoran itu mendengus pelan, "awas saja si Yena. Akan kubalas nanti. Kau jangan mau dimanfaatkan terus dengan Yena sunbae."
"Song Dami."
Seruan nama itu membuat kedua perempuan tersebut melihat lurus ke depan, mendapati seorang pria berpakaian santai yang mempunyai kemiripan dengan Dami sedang melambaikan tangannya pada mereka. "Sangho Oppa."
Sangho mendekat, senyum canggung di wajahnya, "ayo pulang. Mina-ssi sekalian?"
Mina yang sedang berdiri kaku tidak bergeming di samping Dami karna ketampanan Sangho ini langsung tersadar saat Dami menyikut pelan temannya. Padahal sudah bertemu beberapa kali, tapi masih belum terbiasa dengan ketampanan Sangho ini. "Oh- oh tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri," katanya sedikit tergagap dan melambaikan tangannya pada Dami dengan cepat. "Dami-ssi. Aku pulang duluan ya."
"Eo, hati-hati!"
Seusai peninggalan Mina, sisa Dami dan Sangho yang kini sudah duduk di mobil Sangho.
"Apa yang Mina maksud tadi?"
Dami sedikit terkejut. "Maksudnya?" Apakah oppa nya mendengar pembicaraannya dengan Mina tadi?
"Kau dimanfaatkan oleh Park Yena?"
Gelengan kepala langsung dilakukan oleh Dami untuk menjawab pertanyaan kakaknya. "Tidak dimanfaatkan, hanya melakukan tugasku."
"Tugasmu itu mengerjakan tugas orang lain, kah?"
"Tidak begitu."
"Kau keluarlah dari sana. bekerja di perusahaan tempatku bekerja saja. Kebetulan sedang ada lowongan kosong disana."
"Oppa."
"Tidak ada penolakan. Lakukan saja. Kau keluar dari perusahaan itu besok."
Dami menghela napasnya berat, ia hanya bisa mengikuti keinginan kakaknya bukan? "Baiklah."
***
Beberapa buku terbaris rapi di rak buku yang ada di ruang tamu itu. Bagian sudut ruangan tamu itu seakan sudah dapat menghirup bau kertas dari buku-buku yang terbitan lama dan baru disana. Suasana hangat seseorang yang suka membaca buku menjadi suatu gambaran pasti jika melihat bagaimana ruang tamu itu tertata. Rapi sekali.
Namun, ruang kerja di seberang jauh berbeda. Kertas-kertas kusut berhamburan di lantai, beberapa di antaranya hanya berisi coretan tak jelas atau satu-dua kata yang kemudian dicoret dengan gerakan penuh frustrasi. Buku-buku terbuka berserakan di meja, beberapa bahkan ditumpuk sembarangan di kursi kosong.
Laptop yang menyala di tengah meja menampilkan dokumen kosong, seolah mengejek lelaki tengah yang duduk di depannya, terjebak dalam writer's block. Ketukan keyboard terdengar kasar, sering disertai desahan lelah saat kata-kata yang tertulis dihapus begitu saja.
Secangkir kopi yang sudah dingin duduk di samping keyboard, bekas lingkaran cangkir menodai meja yang dipenuhi kertas, pena, dan sampah kecil. Cahaya matahari senja masuk lewat jendela, menambah kesuraman di ruangan yang terasa sesak oleh frustrasi.
Di dinding, papan tulis yang biasanya penuh ide-ide brilian kini hampir kosong, hanya menyisakan catatan yang tak terbaca. Udara di ruangan itu terasa berat, penuh dengan aroma kertas lama dan debu, seolah-olah menguatkan kekosongan mental lelaki itu.
Seorang lelaki dengan pandangan kosong, menatap layar laptop yang juga kosong, seolah-olah menunggu inspirasi datang seperti hujan di tengah kemarau panjang. Frustrasi dan kelelahan tergurat di wajahnya, memperjelas bahwa writer's block telah menguasai dirinya sepenuhnya.
"ARGH!!!!"
Guk guk guk Guk guk guk
Jika saja di rumah ini ada manusia lain yang hidup, mungkin manusia itu juga akan meneriaki si empunya suara serperti anjing yang sekarang sedang menggonggong saking terkejutnya dengan suara pekikan marah lelaki tersebut.
"Bisa gila aku rasanya." Tangannya mengacak-acak rambut hitam yang lebat tumbuh di kepalanya. Lalu ia meletakkan kacamatanya di atas laptopnya dengan kasar dan menyenderkan tubuhnya di kursi.
Drrrtttt drrrtttt
"Halo?" Suara serak akibat dari kurang minum itu menjawab telepon dengan malas.
"Kau sedang kena writer's block lagi ya?"
"Kau memasang CCTV di ruang kerjaku kah?"
Terdengar suara kekehan dari seberang telepon itu seakan meledeknya secara tidak langsung. "Oi, Lim Seungjae. Aku kan sudah mengenalmu selama 3 tahun. Tidak mungkin aku tidak dapat mengenali suasana hatimu dari cara menjawabmu sekarang. Saranku, lebih baik kau pergi dulu cari angin. Untuk mendapat inspirasi. Sudah berapa hari kau tidak keluar rumah, hah?"
Mata lelaki bernama Seungjae itu mencari kalender yang bertengger tak jauh di dinding ruang kerjanya dekat pintu. "Karna terakhir aku keluar saat membeli makan untuk Nemo tanggal 14, sepertinya sudah empat hari aku tidak keluar rumah."
Wah. Sudah empat hari dia berkutat di rumah saja tanpa keluar sama sekali. Tak heran suasana hatinya seperti berat sekali. Dia hanya melihat warna monochrome saja tanpa warna langit, tanaman, manusia dan lainnya. Paling-paling, ia hanya bermain dengan Nemo, anjing poodle berwarna cokelat yang ia pelihara saat awal ia menerbitkan buku pertamanya.
"Nah kan. Lebih baik kau bawa Nemo pergi dulu sebentar gih. Mencari udara segar. Tapi jangan terlalu lama karna ini sudah malam."
"Baiklah baiklah, Song Sangho maenijeonim."
Song Sangho yang merupakan kakak dari Song Dami itu adalah manajer yang menangani penulis bernama Lim Seungjae ini. Sudah bekerja sama selama 3 tahun, membuat hubungan mereka lebih seperti kakak dan adik.
***
Disinilah dia dan Nemo berada sekarang. Di tempat duduk bagian tengah taman apartemennya. Beristirahat sebentar setelah lari sebentar dengan Nemo tadi. Semilir angin berhembus melewatinya. Yeoksi, angin malam memang lebih dingin rasanya. Tapi sepi, jadi tidak mengganggu untuk Seungjae.
Drrrttt drrrttt
"Ne?" Suaranya masih terdengar agak lelah sehabis berlari tadi.
"Hyung!" Suara anak kecil yang memanggilnya dari seberang telepon memanggil senyumnya keluar di wajahnya.
"Dowoon," panggilnya pelan dengan senyuman di wajahnya. "Kau sedang apa jam segini belum tidur?"
"Hyung, eonje wa?" (kapan kau datang?)
"Belum tau. Kenapa?"
"Kami sudah menunggumu untuk main lagi. Sudah lama kau tidak datang, Hyung." Dapat terdengar nada sedih yang tersirat dalam kata-kata anak lelaki itu.
"Haruskah aku pergi minggu ini?"
"Benarkah?"
Walaupun dia tau Dowoon tidak akan bisa melihatnya, tapi Seungjae tetap mengangguk, "iya. Minggu ini aku kesana ya!"
"Dowoon-ah. Sudah waktunya kau tidur. Ayo berikan hapenya."
"Hyung, sampai bertemu minggu ini! Jaljayo, Hyung!" (Tidur yang nyenyak!)
"Jalja!" Lalu suara yang berbicara di telepon berubah menjadi suara seorang wanita paruh baya yang ia kenal sekali. Mama angkatnya yang selalu mengurusnya sejak ia baru datang ke panti asuhan, orang yang memberikan nama Seungjae padanya.
"Seungjae-ya." Lalu suara yang berbicara di telepon berubah menjadi suara seorang wanita paruh baya yang ia kenal sekali. Mama angkatnya yang selalu mengurusnya sejak ia baru datang ke panti asuhan, orang yang memberikan nama Seungjae padanya.
Seungjae tersenyum, "eomma."
"Bagaimana kabarmu belakagan ini?"
"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu dan yang lain?"
"Semua baik-baik saja disini. Kau jagalah kesehatanmu ya."
"Eomma juga ya! Jangan khawatirkan aku disini. Aku baik-baik saja."
"Aku tau kau pasti baik-baik saja. Ya sudah, jangan tidur terlalu malam ya. Sampai bertemu lagi."
"Ne, Eomma. Sampai nanti."
[TBC]