Cuaca pagi itu sangat menyejukkan para penghuni desa. Dedaunan menari-nari, menghiasi jalanan yang sedikit basah akibat hujan kemarin.
Di ujung desa itu, berdiri sebuah rumah kayu yang dihuni satu keluarga. Rumah berjendela doa itu, dipenuhi ricuhan para anggota keluarga yang bersiap untuk berperang hari ini.
Sedang Gadis berambut sebahu itu, sedang menyiapkan teh untuk sang ayah yang sedang bersiap-siap ke sawah, menyusul sang Ibu yang sejak subuh tadi sudah ke sawah.
"Ini tehnya, Ayah!" Gadis bernama Lara itu, meletakkan teh hangat itu di depan sang ayah.
"Terimakasih Lara," ucap Borang pada anak tengahnya itu.
Lara mengambil tempat duduk di samping sang ayah. Lama ia menatap sang ayah dari samping, seperti ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Suasana pagi ini jangan sampai rusak hanya karena pertanyaannya.
"Apa yang ingin kau katakan, Lara?" tanya Borang. Ia menangkap kegelisahan di mata sang anak.
Angin bertiup dari arah Utara, menerbangkan anak rambut gadis itu. Lara kembali menatap sang ayah. Namun hanya sebentar, belajar kimia lebih mudah dari pada berbicara hal serius dengan ayahnya.
"Jika tidak ada yang ingin kau bicarakan. Ayah berangkat kerja dulu!" ujar Barong sambil memasang sepatu kerjanya.
"Ayah!" panggil Lara saat Borang hendak berdiri.
Ia menggigit ujung bibirnya, takut jika nanti semua hanya akan merusak suasana hati sang ayah.
"Cepatlah Lara! Ibu mu sudah menunggu di sawah!" ujar Borang geram.
Lara menghela nafasnya. "Kalau begitu lain kali saja, Lara bicara sama ayah. Semangat kerjanya, ayah!" ucap Lara sambil mengepalkan tangannya memberikan semangat pada Borang.
Borang hanya tersenyum lalu pergi.
"Jam berapa kau berangkat sekolah, Lara?" tanya Kakak tertua Lara yang baru saja keluar dari rumah.
Perempuan berumur 25 tahun itu, menatap sang adik. Ia merasakan ribuan pertanyaan sedang menari-nari di dalam diri sang adik.
Tapi Jeni tidak ingin menyelamatkan sang adik. Sedangkan dirinya saja sudah tidak punya arah hidup. Mimpinya menjadi designer terkenal harus ia kubur sedalam-dalamnya, demi bisa membantu ekonomi keluarga.
Orang tua mereka hanya petani di ladang orang. Pak Bajo memiliki sawah dan mempekerjakan kedua orangtuanya.
Angin semakin deras menerbangkan daun-daunan yang sudah Lara sapu tadi pagi. Namun ia lupa membakarnya.
"Kak Jeni, aku pergi dulu!" pamit Lara setengah berteriak pada Kakaknya yang sedang menjemur pakaian mereka.
Lara menyelusuri sawah milik Pak Bajo tempat orangtuanya bekerja. Ia melambaikan tangannya ketika melihat sang ibu yang tengah menanam padi.
"IBU, LARA BERANGKAT SEKOLAH YAA!" teriak gadis itu. Sang ibu hanya mengangkat jempol lalu melambaikan tangan pada Lara.
Gajani nama ibu Lara. Wanita itu menyeka peluhnya yang membasahi wajahnya. Melihat Lara lewat ia melambaikan tangannya.
"Kudengar, Lara anak yang berprestasi di sekolah ya, Bu?" tanya Rumi teman Gajani bekerja.
Gajani tersenyum mendengar pertanyaan temannya itu. Ada rasa bangga tersendiri mendengar hal itu.
"Seperti yang ibu dengar, itu benar."
"Pasti anaknya masuk universitas negri," tebak Rumi sambil tertawa kecil.
Seketika atmosfer di sekeliling Gajani terasa sesak. Padi bergerak kesana kemari seolah menjelaskan perasaan wanita itu. Matahari semakin mempercepat langkahnya menuju ujung langit. Memberikan terik bagi para pekerja.
"Kenapa kau diam saja, Gajani? Anakku saja sering kumarahi karena tidak pernah mendapatkan rangking di kelasnya." Rumi menepuk pundak Gajani. Menyadarkan wanita itu dari lamunanya.
"Ah- aku rasa semua anak punya bidangnya masing-masing, Rumi."
"Mungkin Pita anakmu, punya talenta di bidang lain!" ujar Gajani.
Lara dan Pita merupakan sepasang sahabat, keduanya sudah bersahabat sejak kecil. Keduanya memiliki kadar otak yang berbeda. Lara anak yang pintar, di rumah gadis itu punya lemari khusus yang dibuatkan oleh Baron untuk menyimpan piala ataupun piagam yang Lara dapatkan dari berbagai lomba.
Sedangkan Pita, gadis itu banyak menghabiskan waktunya untuk latihan bela diri. Rumi hampir gila menghadapi anak gadisnya itu, setiap hari selalu ada gebrakan-gebrakan dari Pita. Kamar gadis itu dipenuhi dengan berbagai foto dirinya saat latihan bela diri.
Namun begitupun, Rumi ingin sekali anaknya itu masuk perguruan tinggi negri. Namun Pita tidak memiliki kepintaran seperti Lara, Rumi tidak yakin Pita akan masuk siswa eligibel.
Matahari semakin marak mengeluarkan sinarnya. Seolah memamerkan kemampuannya. Gajani dan Rumi menarik diri dari lumpur sawah. Melindungi diri di bawah pondok bambu yang berada di sisi barat.
"Kalau saja Pita seperti anakmu Lara, sudah ku pastikan dia masuk kedokteran!" ujar Rumi tak berhenti. Gajani hanya tersenyum mendengar ocehan Rumi.
"Sudah ku katakan, semua anak punya talenta yang berbeda-beda. Jangan terus memaksa Pita seperti yang kau inginkan, Rumi!" tegurnya.
"Itu karena kau tidak merasakan apa yang kurasakan, Gajani. Andai saja-"
"Ahk! Sudahilah andai saja mu itu!"
"Perutku sudah sangat lapar!" kata Gajani menyela ucapan Rumi yang tidak ada hentinya.
Keduanya pun tertawa sambil membuka bekal masing-masing.
Sedangkan suami mereka masih bekerja, karena kedua pria itu datang di jam sepuluh pagi. Borang tertahan di rumah Among suami Rumi saat ia hendak mengajak pria itu berangkat bekerja. Namun keduanya terjebak pada secangkir kopi, dan catur yang mengajak mereka memainkannya.
__
Malam terasa sunyi, masing-masing sibuk dengan kesibukannya tersendiri. Borang sedang memijit kaki sang istri yang mengeluh sakit. Jeni tengah menyelesaikan jahitannya yang akan diambil pemiliknya besok sedangkan Lara sedang duduk sambil menggenggam sebuah amplop berisikan surat kelulusannya dan juga hasil tes masuk ke perguruan tinggi negeri. Lara diam-diam mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi negeri, dibantu wali kelasnya, Lara percaya ia lulus tapi Lara tidak yakin ia akan memperoleh mimpinya itu.
"Apa yang kau pegang itu, Lara?" tanya Gajani yang sedang menyandarkan kepalanya di atas kursi sedangkan ia duduk di lantai beralaskan tikar.
Lara tampak diam sejenak, ia menarik nafasnya dalam-dalam. "Lara diterima di universitas Indonesia, Bu, Yah. Ini!" Lara menyerahkan amplop itu dengan takut-takut. Jeni hanya menyeringai sambil menggeleng. Ternyata adiknya punya keberanian mengambil langkah yang sudah pasti Jeni tau ujungnya.
"Lara..." panggil Borang dengan nada rendah. Ia bahkan tidak membaca surat itu.
Lara hanya menatap mata sang ayah, menunggu jawaban yang mungkin menggerogoti kewarasannya.
"Menganggurlah dulu!"
"Masih ada kedua adikmu yang bersekolah,"
"Kita tidak punya sepetak tanah untuk dijadikan batu loncatan mu."
"Tamat SMA sudah sangat luar biasa untuk keluarga seperti kita ini, nak!" ujar Borang yang berhasil menciptakan senyuman gentir di bibir Lara