Fadli mengendarai mobil Darlius. Bertujuan untuk menjenguk kakeknya, ayah dari Darlius. Ia menyusuri jalanan yang lumayan jauh. Hingga tiba di sebuah rumah kecil. Ia menghentikan mobilnya, keluar dari mobil itu dan menghampiri seorang pria tua yang sedang duduk di depan dengan memegang tongkat disalah satu tangannya. Pria itu tersenyum menyambut kedatangan Fadli.
"Kemana saja kau cucuku? Sudah satu tahun tidak kemari."
Fadli tersenyum. Mengambil tempat duduk di hadapan kakeknya. Wajahnya mirip seperti Darlius, hanya kerutan yang menjadi pembeda. Kemiripan itulah yang membuatnya enggan untuk menjeguk kakeknya. Sebab setiap kali ia melihat wajah kakeknya, ia selalu terbayang Darlius. Ayah yang sangat dibencinya. Namun akhir-akhir ini ia sering merindukan kakek ini. Nalurinya tiba-tiba berubah menjadi iba. Mengingat kakeknya hidup sebatang kara, hanya tetangga yang datang kerumahnya untuk mengirimi makanan.
"Kau mewarisi sifat baik mamamu. Masih peduli dengan diriku. Tidak seperti Darlius, semenjak ia mewarisi perusahaanku, ia sudah seperti kacang yang lupa dengan kulitnya. Tak sedikit pun teringat untuk menjengukku. Ketika mamamu hidup, dialah yang sering mendatangiku. Mengantarkanku makanan dan sejumlah uang. Namun semenjak ia tiada, tak ada lagi yang mempedulikanku. Untung saja aku masih punya sebidang tanah di belakang rumah. Lalu aku meminta tetangga untuk berkebun di sana. Dari penjualan hasil kebunlah aku bisa makan."
Fadli iba sekaligus merasa bersalah mendengarnya.
"Maafkan aku, Kek."
"Tidak perlu meminta maaf cucuku. Semua ini terjadi juga karena kesalahanku. Aku gagal mendidik Darlius sehingga ia tumbuh menjadi laki-laki jahat yang mempermainkan banyak wanita, termasuk mamamu."
Fadli menunduk. Hatinya selalu perih jika sudah mengingat mamanya.
"Aku sama sekali tidak menyangka, jika anakku-lah yang membuat mamamu meninggal." Suara kakeknya terdengar parau, dengan sedikit rembesan air disudut matanya.
"Mamamu yang begitu baik, tulus dan berhati mulia. Malah dikhianati cintanya oleh Darlius. Hingga ia jatuh sakit dan meninggal dunia." Kakek itu menangis.
"Sudah cukup," ujar Fadli menghentikan karena sudah tak tahan mendengarnya. "Aku kemari karena merindukan kakek. Tolong jangan buka luka lama itu lagi aku mohon. Semua sudah berlalu, tak ada gunanya di sesali."
Kakeknya menangis.
"Tolong jangan menangis, Kek. Nanti jantung Kakek kambuh lagi. Aku tak mau kehilangan Kakek. Hanya Kakek satu-satunya orang tua yang benar-benar mengerti aku."
Kakek mengusap matanya.
"Aku kesini untuk menjemput Kakek. Ingin merawat Kakek dan tak ingin membiarkan Kakek hidup sendirian."
"Tidak usah," sahut Kakeknya. "Tak apa. Aku tak mau bertemu dengan Darlius."
"Jangan khawatir. Aku akan menyewa apartement untuk Kakek tempati nanti. Aku akan berusaha membagi waktu kerjaku dan merawat Kakek."
"Kerja? Kerja di mana? Bukankah selama ini kau hanya hobi keluyuran di jalanan?"
"Di perusahaan. Aku mendapatkan salah satu perusahaan Papa."
"Bagaimana bisa?"
"Panjang ceritanya."
☆☆☆
Fadli mengajak Marrinette ke ruang penelitian, ditemani Pak Adi. Mata Marrinette memerah, ingin rasanya dia menangis di tempat itu melihat keadaan Evelyn. Tapi ia harus bisa mengontrol emosinya agar tidak ketauan bahwa duyung itu ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Sedangkan Evelyn hanya memandangnya sayu.
"Apa yang terjadi Evelyn? Mengapa kau terlihat begitu lemah seperti ini? Apa yang mereka lakukan terhadapmu?" tanya Marrinette melalui telepati.
"Marrinette… kembalilah ke kerajaan Laut Hindia. Tinggalkan aku sendirian. Jangan pedulikan aku. Mungkin sudah nasibku akan berakhir ditangan manusia," sahut Evelyn.
"Tidak-tidak. Aku takkan pernah meninggalkanmu. Aku akan membebaskanmu dari mereka. Kita harus pergi bersama-sama ke kerajaan Laut Hindia."
"Jangan Marrinette, jangan. Kau takkan bisa. Kau hanya akan mengalami sepertiku. Mereka sangat licik."
Marrinette menitikkan air mata.
"Pergilah Marrinette.... Tinggalkan aku sendirian."
Marrinette bergeming. Ia terus menatap Evelyn.
"Pergi!!"
Teriakan Evelyn melalui telepati beserta geraman ikut serta mengeluarkan gelombang udara yang membuat orang-orang yang berada disitu terjatuh. Sedangkan Marrinette terkejut. Tatapan Evelyn tajam dan penuh amarah.
"Kau tidak apa-apa Marrinette?" tanya Fadli yang sempat menangkap Marrinette yang nyaris terjatuh karena terkejut.
"Du-duyungnya sangat garang. Aku takut," lirihnya.
"Kalau begitu ayo kita pergi dari sini," kata Fadli seraya menarik tangan Marrinette keluar dari ruangan itu.
Marrinette mengikutinya, sejenak menoleh kebelakang, memperhatikan Evelyn yang masih menatapnya tajam.
♧♧♧
"Ada pengusaha Amerika yang mau membeli duyung ini berapapun harganya. Ini kesempatan Anda untuk mengambil keuntungan setinggi-tingginya," ucap Agnes.
Marrinette mendengarnya dari balik pintu. Yang sengaja menguping pembicaraan mereka dari tadi. Agnes sedang berbicara dengan Darlius.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Suara itu mengejutkan Marrinette, sontak membuatnya menoleh. Pak Adi, yang menatapnya kebingungan.
"Oo, tidak." Marrinette pura-pura tertawa. "Hanya bersandar karena kelelahan."
Marrinette segera berlalu dari hadapan Pak Adi yang menatapnya penuh kecurigaan.
Marrinette berdiri di dekat kolam renang dengan tatapan kosong, memikirkan nasib Evelyn
"Kamu kenapa?" tanya Fadli yang datang membuyarkan lamunannya.
"Tidak apa-apa," sahut Marrinette.
"Kelihatannya kamu lelah sekali. Rutinitas di dalam rumah pasti membosankan ya."
Marrinette menghembuskan nafas berat.
"Bagaimana kalau kita keluar? Mencari udara segar," usul Fadli.
Huh. Udara di luar pasti lebih kotor dari ini. Mengingat banyaknya kendaraan yang berlalu-lalang. Tapi usulan itu boleh juga. Marrinette mengangguk, memenuhi ajakan Fadli.
Mereka menyusuri tepi jalan dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan, Marrinette lebih banyak diam. Membiarkan perasaannya hanyut oleh pikiran yang tak menentu. Memikirkan berbagai cara untuk membebaskan Evelyn membuat otaknya benar-benar lelah.
"Sudah lama aku tidak berjalan kaki seperti ini," ujar Fadli.
Disampingnya, Marrinette tak menyahut. Fadli keheranan melihat perubahan sikap Marrinette yang cenderung membisu.
"Awas Marrinette!" seru Fadli tiba-tiba menahan langkah Marrinette. Membuat Marrinette terkejut.
Di depannya ada lubang saluran air yang tidak ditutup. Nyaris saja ia terperosok kedalamnya.
"Makanya lain kali kalau jalan jangan melamun," nasehat Fadli.
Marrinette tak menyahut dan melangkah menghindari lubang itu.
"Kamu kenapa sih? Dari tadi diam terus?" tanya Fadli yang mulai kesal dengan sikap Marrinette.
"Tidak apa-apa," sahut Marrinette.
Hh! Jawaban Marrinette tidak memuaskan bagi Fadli. Ia merasa ada hal yang sedang disembunyikan Marrinette darinya.
Mareka kembali melanjutkan perjalanan. Melihat ada seorang badut yang sedang menari-nari ditepi jalan. Seolah ingin menghibur pengguna jalan.
Marrinette tersenyum melihat badut itu. Lucu menurutnya.
"Marrinette, kamu duduk di sana ya," kata Fadli seraya menunjuk kursi taman yang agak jauh. "Aku mau beli es krim dulu buat kita berdua."
Marrinette mengangguk dan melangkah menuju kursi taman. Diam-diam ia merasa badut itu mengikutinya. Marrinette menoleh, badut itu kembali berhenti menghibur pengguna jalan. Marrinette kembali melangkah dan bersikap masa bodoh. Tapi kemudian ia kembali merasa kembali diikuti oleh badut itu. Kembali Marrinette menoleh, dan badut itu kembali menghibur pengguna jalan. Aneh dan mencurigakan menurutnya. Kemudian Marrinette berjalan cepat-cepat agar tak lagi merasa diikuti. Tiba-tiba diantara dua bangunan mulutnya dibungkam oleh seseorang dan menariknya ke balik bangunan itu. Marrinette melepas paksa tangan yang membungkamnya. Sontak menoleh dan betapa terkejutnya dia bahwa yang membekap mulutnya adalah badut tadi.
"Hei! Apa maumu hah!"
Badut itu kembali menutup mulut Marrinette agat tak berteriak namun cepat ditangkis oleh Marrinette.
"Ih!"
Marrinette menjaga jarak darinya. Jijik disentuh oleh sembarangan orang.
"Sepertinya kau ingin bermain-main denganku. Rasakan ini!"
Marrinette mengeluarkan kekuatan panasnya. Si badut buru-buru membuka pembungkus kepalanya.
"Hentikan Marrinette," cegahnya.
"Darimana kau tau namaku?"
"Aku Dilon. Utusan Ratu Apriana."
Marrinette menurunkan tangan yang membuat sihir itu hilang dengan sendirinya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Marrinette.
"Aku disuruh untuk membantumu menyelamatkan Evelyn."
"Benarkah?"
"Ya. Oh ya." Dilon mengeluarkan cincin dari dalam sakunya. "Alya menitipkan cincinmu padaku," katanya seraya memberikannya pada Marrinette.
Marrinette menerimanya.
"Kita harus bikin strategi yang tepat biar tidak gagal-."
Ucapan Dilon terpotong karena mendengar suara Fadli yang memanggil Marrinette.
"Marrinette. Marrinette kamu dimana?"
"Kita akan bertemu lagi nanti," ucap Marrinette kemudian keluar dari balik bangunan itu.
"Marrinette."
Marrinette melompat dari belakang menutup mata Fadli. Bersamaan dengan keluarnya Dilon dari balik bangunan yang sudah kembali menjadi badut dan menari-nari sendiri.
"Marrinette."
Marrinette melepaskan tangannya dan tersenyum pada Fadli.
"Kamu kemana aja? Kucari-cari tidak ketemu."
"Ngejar kupu-kupu," bohong Marrinette seraya senyum.
Fadli memberikan satu es krim yang dari tadi dipegangnya pada Marrinette yang menerimanya dan mengikuti langkah Fadli yang mengajaknya duduk di kursi taman.