Sebulan sudah Marrinette bekerja di rumah Darlius, ia menerima gaji pertamanya. Marrinette meminta izin pada Darlius untuk pulang selama 3 hari.
"Maaf, Pak saya izin pulang ya selama tiga hari."
"Kenapa lama sekali?"
"Saya rindu dengan saudari saya. Sudah lama tak bertemu. Dan tempat kerjanya juga jauh."
"Baiklah saya izinkan."
"Terimakasih, Pak." Ucap Marrinette senang. Ia bergegas ke kamarnya. Mengambil barang keperluannya.
"Kamu mau kemana?" tanya Fadli pada Marrinette yang kini sedang berada diluar pagar menunggu seseorang.
"Liburan," sahut Marrinette.
"Aku temani," kata Fadli.
Marrinette mengerjitkan dahi. Apa-apaan! Selama tiga hari ditemani oleh dia. Waktu bersenang-senangnya bisa hancur!
"Kamu bisa nggak, sehari saja tidak menggangguku. Aku minta izin buat menenangkan pikiran. Kalau kamu ikut bisa-bisa aku makin stress bahkan jadi gila!" seru Marrinette. Sesekali ia harus mengeluarkan uneg-unegnya biar pria itu tau diri.
Sebuah taxi yang akan menjemput Marrinette berhenti di hadapan mereka. Tanpa berpamitan Marrinette langsung memasuki taxi itu yang di dalamnya sudah ada Alya dan Evelyn.
"Tumben diantar sampai depan. Baik sekali dia," goda Alya.
"Hh! Aku habis membentaknya."
"Kenapa?"
"Nggak usah dibahas."
Alya diam. Ia tau, adiknya sedang tidak mood hari ini. Terutama kalau sudah membahas hal yang bersangkut paut dengan Fadli. Terlihat dari raut wajahnya kalau Marrinette begitu membenci pria itu sampai ubun-ubun.
Fadli hanya termanggu melihat taxi yang sudah menjauh itu. Tetiba ia tersadar, mengapa dia tidak membuntutinya? Buru-buru ia mengambil mobilnya. Sebelum ia kehilangan jejak, ia harus menyusulnya. Memacu mobilnya agar bisa menyusul taxi itu. Ia jadi bingung, kemana Marrinette akan pergi sampai sejauh ini? Tapi kemudian ia lewat di jalan yang tak asing baginya. Taxi itu berbelok ke arah restorant Helen. Fadli memarkirkan mobil agak jauh dari taxi itu dan melihat tiga perempuan keluar dari taxi, memasuki restorant.
Fadli bertanya-tanya dalam hati. Apa hubungan Marrinette dengan Helen? Ia memakai topi dan keluar dari mobil dengan menunduk agar tak dikenali, ikut masuk ke restorant Helen.
Halim menyambut kedatangan mereka bertiga.
"Hai, bagaimana kabar kalian?"
"Baik," sahut mereka.
"Marrinette, sudah lama kamu tidak kesini. Aku jadi rindu padamu."
Alya mendehem sedangkan Marrinette hanya tersenyum.
Diam-diam, Fadli cemburu. Bagaimana bisa Marrinette begitu manis pada pria yang hanya seorang pelayan, sedangkan pada dirinya tidak?
Evelyn tak mempedulikan mereka. Ia pergi ke ruang kerja Helen karena suatu keperluan. Semua karyawan restorant sudah tau, kalau Evelyn adalah orang kepercayaan Helen yang bebas memasuki ruang kerjanya kapanpun. Bahkan saat Helen tidak ada sekalipun. Siapa yang tau, kalau Evelyn juga tangan kanan Helen di kerajaan laut Hindia yang terkenal jujur dan dapat diandalkan.
"Kamu mau minum apa? Biar aku buatkan," tanya Halim pada Marrinette.
"Teh saja."
"Kalau kamu?" tanyanya pada Alya.
"Air putih saja," sahut Alya.
Halim pergi kedapur, beberapa menit berselang ia kembali membawakan minuman untuk mereka berdua.
"Marrinette, boleh nggak aku tau lokasi tempatmu bekerja. Sesekali aku mau main ke sana."
Alya langsung berbicara dengannya melalui telepati.
"Jangan diberitahu. Dia hanya akan merepotkanmu nanti."
Marrinette menatap kakaknya.
"Tidak apa-apalah, kak. Minimal ada yang menghiburku biar tidak stress karena harus menghadapi bandit itu setiap hari."
"Boleh. Ketik nomormu disini biar bisa kukirimkan alamatnya." Marrinette memberikan hapenya.
Halim mengetikkan nomornya. Kemudian Marrinette mengetikkan alamat dan mengirimkan pada nomor Halim.
"Makasi ya," kata Halim.
"Iya." Marrinette tersenyum. "Tapi ingat, selama tiga hari ke depan aku tidak akan berada di sana karena sedang liburan."
"Oo baiklah."
Halim kembali mengurus pekerjaannya. Bersamaan dengan datangnya Evelyn yang berbisik pada mereka berdua.
"Bu Helen sedang tidak ada disini dan meminta kita untuk datang langsung ke kerajaannya. Tapi sebelumnya kita ke mall dulu untuk bersenang-senang. Bu Helen meninggalkan segepok uang di laci meja kerjanya untuk kita habiskan bersama-sama."
Marrinette langsung menanggapinya dengan girang. Kemudian mereka langsung pergi.
Pergi ke mall, adalah sesuatu yang baru bagi Marrinette dan Alya. Tampak mereka begitu senang sekali. Bagi mereka, meskipun dunia manusia itu bikin pusing, tapi tetap menyajikan keindahan yang cukup unik yang tidak pernah mereka temui di lautan.
"Kalian mau beli baju tidak?" tanya Evelyn. "Lihatlah bajunya bagus-bagus. Kalian bisa pilih salah satu biar bisa bergaya seperti pemudi disini."
Saat sedang asyik memilih baju, tiba-tiba Evelyn berujar, " sepertinya ada yang mengikuti kita."
Marrinette menegakkan kepalanya menatap kearah kaca didekatnya. Terlihat Fadli yang sedang bersembunyi dari kejauhan.
"Anak sialan itu. Apa yang dia lakukan disini?" gerutu Marrinette dengan nada pelan.
"Anak bosmu?" tanya Evelyn.
"Siapa lagi."
"Aku punya rencana," ujar Evelyn. Lalu mengajak mereka masuk ke ruang ganti.
Diruang ganti itu Evelyn menggenggam tangan mereka masing-masing dan menyuruh mereka memejamkan mata. Wush! Mereka menghilang. Kemudian muncul di parkiran mall.
"Wah hebat! Aku baru tau kau bisa melakukannya," kata Marrinette.
"Ya, tapi aku tak bisa melakukannya setiap saat."
Mereka keluar di parkiran itu, mencari taxi lain untuk mengantarkan mereka ke tepi pantai.
"Kok mereka nggak keluar-keluar? Ngapain sih di dalam ruang ganti selama itu?"
Fadli tetap menunggu. Namun setelah beberapa menit berselang, ia mulai jengah. Akhirnya memutuskan untuk menghampiri ruang ganti itu. Biar saja nanti dipukuli karna dituduh mengintip.
Sebelum membuka gorden yang menutupi ruang ganti, Fadli memutuskan untuk mendengarkan suara mereka terlebih dahulu. Namun tidak terdengar apa-apa. Bagaimana mungkin tiga orang perempuan berganti pakaian tidak mengeluarkan suara? Curiga, ia membuka gorden itu.
Tidak ada siapa-siapa. Hanya tiga buah baju yang tergeletak diatas lantai.
Sialan! Kemana mereka? Apa mereka keluar saat aku lengah? Aaakh! Aku kehilangan jejaknya.
Sesampainya di pantai mereka mencari tempat yang tidak mungkin dilihat orang lain. Lalu mereka menceburkan diri ke dalam laut. Ketiga duyung itu meliuk-liuk di dalam air, menuju kerajaan Apriana.
"Terima hormat kami ratu." Evelyn menundukkan kepala pada Apriana diikuti Marrinette dan Alya.
"Selamat datang kembali di kerajaanku." Apriana berpaling pada Marrinette. "Marrinette, bagaimana dengan tugasmu?"
Marrinette mengangkat kepalanya, menghela nafas berat. Kemudian menggeleng lemah.
"Maaf ratu. Belum ada perkembangan."
"Sepertinya kamu harus ganti strategi," sahut ratu Apriana.
"Bagaimana caranya?"
"Nanti kuberitahu. Sekarang silahkan nikmati liburanmu dengan mereka."
"Baik ratu."
Evelyn mengajak mereka berkeliling lautan. Memperkenalkan tempat-tempat yang belum pernah mereka kunjungi. Mereka tiba di permukaan laut .
"Aku mau kerumah nenek Siti," usul Marrinette.
"Siapa dia?" tanya Evelyn.
"Orang yang pernah menyelamatkan kita." Alya menyahut.
"Baiklah, ayo "
Mereka berenang ketepi pantai. Menyeret tubuhnya ketempat yang kering. Tiga menit kemudian berubah menjadi manusia lalu pergi ketempat nenek Siti.
Berkali-kali Marrinette mengetuk pintu gubuk nenek Siti. Namun tidak ada sahutan dari dalam. Ia menatap Alya, yang memandangnya dengan penuh tanda tanya. Pelan-pelan Alya mendorong pintu itu yang ternyata tidak dkunci. Masuk, memanggil nenek itu, tapi tetap tak ada sahutan. Debu yang menempel di meja sudah tebal. Marrinette masuk kekamar nenek namun dia tidak ada di dalam. Lalu mereka ke dapur tetap tak menemukan si nenek. Tempat makan dan minum terletak tak beraturan, ada juga yang tercecer. Tahi tikus berserakan dilantai.
"Dimana seorang nenek yang kalian maksud? Apa kalian tidak salah tempat? Gubuk ini seperti sudah lama ditinggal pemiliknya dan tak terurus," kata Evelyn.
Marrinette dan Alya mengangkat bahu tak mengerti.
Ketika mereka keluar dari gubuk itu, seorang tetangga melintas menyapa mereka.
"Kalian mencari siapa?"
"Nenek yang tinggal disini kemana ya, Pak?" Alya menanya.
"Oh, nenek Siti ya. Udah meninggal dua minggu yang lalu."
"Meninggal? Dimana kuburnya?" tanya Marrinette dengan ekspresi terkejut.
"Sini saya tunjukkan."
Mereka mengikuti kemana bapak itu melangkah. Ketempat yang agak jauh di gubuk nenek Siti.
"Ini kuburnya," kata bapak tersebut lalu ia pergi.
"Aku sama sekali tak menyangka kalau nenek akan pergi secepat ini," kata Marrinette.
"Harusnya aku menjenguknya sesekali." Alya menghela nafas berat. "Jasanya sangat besar terhadap kita."
Fadli pulang kerumah dengan lesu.
Paginya ketika terbangun, Fadli langsung pergi ke dapur memanggil Marrinette.
"Marrinette, Marrinette. Buatkan aku makanan sekarang."
Ketika ia pergi kedapur ia tidak menemukan Marrinette. Ia memanggil lagi.
"Marrinette tidak ada," kata Pak Adi. "Apa Tuan muda lupa kalau Marrinette baru saja pergi kemarin?"
Fadli tak menyahut, meninggalkan dapur itu tanpa berkata-kata. Pak Adi bisa menangkap ada raut berbeda pada wajah Fadli, ia terlihat hampa. Hal yang tidak biasa pada dirinya. Mungkinkah anak bosnya yang terkenal sangar dan garang itu mulai merasakan apa itu cinta?
***
Alya dan Evelyn berenang di lautan. Sedangkan Marrinette hanya diam di pantai menikmati mentari pagi.
Ketika sedang asyik berenang Alya melihat ada benda asing terjatuh ke lautan.
"Apa itu?" tanyanya pada Evelyn.
"Itu bom! Ia bisa meledak dan merusak terumbu karang yang dapat membunuh semua ikan-ikan. Ayo menjauh! Nanti kita bisa kena."
Evelyn langsung berenang menjauhi tapi tidak dengan Alya. Ia mengeluarkan kekuatan esnya, mengarahkan pada bom hingga bom itu membeku. Kemudian berenang menyusul Evelyn.
Mereka muncul ke permukaan, melihat satu perahu dengan tiga orang nelayan.
"Mereka kah pelakunya?" tanya Alya.
"Iya," sahut Evelyn. "Mereka yang membuat ikan-ikan jadi berkurang."
"Perusak!"
Nelayan itu kembali menjatuhkan dua bom. Alya kembali hendak menyelam namun Evelyn mencegahnya.
"Apa yang kau lakukan? Jangan mendekat! Itu terlalu berbahaya!"
"Aku akan membekukannya."
"Apa kau bisa?"
"Lihat saja."
Evelyn mengikuti Alya berenang, yang kemudian menyihir bom itu dengan kekuatan esnya hingga tak dapat meledak.
Kemudian mereka mendengar teriakan minta tolong. Mereka berenang mengikuti sumber suara. Dari kejauhan, Evelyn melihat ikan badut terperangkap dijaring nelayan bersama ikan-ikan yang lain.
"Noly!"teriaknya.
"Siapa Noly?" tanya Alya.
"Ikan kesayangan ratu. Kita harus selamatkan dia!"
Mereka berenang mendekati ikan-ikan yang akan ditarik ke atas itu. Mencoba melepaskan dengan gigi mereka agar putus namun tidak bisa. Tali itu terlalu kuat. Akhirnya mereka berenang kebawah untuk menarik tali itu.
"Ada apa ini?" tanya salah seorang nelayan.
"Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa jaring-jaring tertarik kebawah? Apa ada ikan besar terperangkap di jaring?"
"Sepertinya begitu," sahut temannya yang satu lagi. "Ayo kita tarik sama-sama."
"Ayo! Yang kuat!
"Lagi!"
"Lebih keras lagi!"
"Aaakh!"
"Tarik lebih kuat lagi ayo!"
Namun usaha mereka sia-sia. Katrol pengangkat jaring itu patah dan talinya meluncur kelaut.
"Sialan!" teriak salah seorang. "Kalian tidak becus mengangkatnya, aku yang rugi jadinya!"
"Aku sudah menarik sekuat mungkin! Kau pikir kau saja yang rugi, aku juga!"
"Sepertinya ada sesuatu dibawah laut."
Ucapan teman yang satunya lagi menghentikan pertengkaran mereka.
"Apa itu?"
"Sepertinya harus diselidiki."
"Ya sudah kalau begitu kau harus menyelam."
Ia menyengir. "Kau saja. Aku hanya menunggu di perahu saja."
"Hhh! Kau hanya besar mulut tapi tak punya nyali." Yang berbicara mengambil tabung gas dan alat bantu pernafasan. Kemudian menyelam ke dalam laut.
Nelayan itu berenang, hingga ia melihat dua ekor yang besar. Ia berenang mendekat untuk bisa melihat dengan jelas. Betapa terkejutnya ia melihat ada dua ekor duyung meliuk-liuk di dalam air. Buru-buru ia berenang ke permukaan.
"Bagaimana?"
"Ternyata dibawah ada dua ekor duyung. Jangan-jangan duyung itulah yang menggagalkan tangkapan kita."
"Kalau gitu tunggu apa lagi, ayo kita tangkap!" kata temannya.
Dua nelayan yang diatas perahu ikut turun untuk memburu dua ekor duyung tersebut.
Evelyn dan Alya berenang lebih cepat. Ternyata ada seorang nelayan yang lebih jago berenang dan berhasil menangkap tangan Evelyn. Evelyn mencoba melepaskan tangannya namun cengkraman itu terlalu kuat. Alya yang melihat Evelyn kesulitan mengeluarkan kekuatannya hingga nelayan itu terpental. Ia menarik Evelyn agar berenang menjauh dari mereka. Namun nelayan-nelayan itu dapat menyusul mereka. Hingga akhirnya Alya dan Evelyn terjebak pada jaring ikan. Mereka terperangkap dan tidak bisa membebaskan diri darinya. Tiga nelayan itu berhasil menangkap mereka dan menggendong mereka keatas perahu.
"Hahaha, akhirnya kalian tertangkap juga. Kalian pikir bisa seenaknya kabur setelah menggagalkan tangkapan kami?"
"Kita jual saja mereka, maka kita akan kaya!" usul teman yang lain lalu mereka tertawa-tawa.
Huuh, kemana sih mereka lama sekali. Aku bosan sendirian disini. Marrinette melangkah enggan, mengambil ranting kayu yang tergeletak di pasir, memainkannya dengan malas. Tiba-tiba ia mendengar suara Alya melalui telepati.
"Marrinette, tolong kami. Para nelayan menangkap kami."
Dibuangnya ranting itu ke sembarang arah, berlari mencari speedboat dan mengendarainya. Ditengah lautan, Marrinette mengarahkan tangannya ke langit. Langit yang cerah itu seketika berubah menjadi kelabu hingga terdengarlah suara gemuruh. Awan hitam berkumpul, badai kencang, petir menggelegar disertai hujan lebat.
"Ada apa ini? Kenapa cuaca mendadak berubah menjadi buruk?"
Salah satu nelayan hendak menghidupkan mesin agar perahu cepat menuju pantai. Namun badai menyulitkan semuanya. Perahu mereka oleng kiri kanan oleh badai yang menerjang.
Marrinette memejamkan mata, memfokuskan pikirannya agar dapat mengendalikan petir. Ia menggenggam cambuk petir tersebut dan memukulkannya ke lautan. Salah satu nelayan tersambar petir sedangkan dua orang lainnya terpental ke dalam laut. Marrinette mengendarai speedboat menghampiri kapal nelayan. Melepaskan ikatan mereka dan membawanya pada speedboat yang dikendarainya. Lalu buru-buru menjauhi tempat itu dan mengendarai speedboatnya ke tepian pantai.
"Kau datang tepat waktu Marrinette. Sekarang, cepat bantu keringkan kami sebelum ada yang melihat."
Marrinette menggangguk, kemudian mengarahkan telapak tangannya yang mengeluarkan kekuatan panas, pada ekor mereka bergantian. Hingga mereka kembali berubah menjadi manusia.
"Haah." Dua nelayan naik ke dalam perahu. Badai telah reda, mereka bersyukur perahu mereka tidak terbalik. Mereka kemudian menghidupkan mesin dan mengendarai perahu ke pantai.
"Sialan! Kita benar-benar tidak mendapatkan apapun hari ini gara-gara duyung sialan itu," umpat salah seorang setelah merapatkan perahu di tepian pantai.
"Bahkan teman kita malah mati," sahut temannya.
"Awas saja kalau ketemu. Aku akan menangkap mereka dan menjualnya pada pengusaha kaya. Mereka harus membayar semua kerugianku."
"Kalian telah melanggar peraturan laut."
Ucapan seseorang menghentikan percakapan mereka.
Seorang wanita berpakain serba hitam, mengenakan topi bundar dan kacamata hitam, melangkah ke arah mereka.