Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mermaid My Love
MENU
About Us  

Siapa sebenarnya perempuan itu? Fadli berpikir, ia merebahkan diri di kasur empuknya, menatap loteng kamarnya. Dia mengingat beberapa kejadian aneh. Pertama, membuat hot lemon tea dalam waktu kurang dari lima detik padahal ia tau itu mustahil. Kedua, Marrinette bisa membuka pintu WC yang terkunci, yang jelas-jelas kuncinya ada ditangannya. Lalu dia dikuncikan dari luar. Yang memegang kunci cadangan hanya Pak Adi. Tapi, bagaimana mungkin Pak Adi bisa begitu lancang padanya. Ketiga, air kolam renang berubah menjadi panas. Apakah ia..., penyihir? Ah, mana mungkin ada penyihir di zaman sekarang ini. Hh! Untuk apa aku memikirkan perempuan itu. Dia hanya seorang pembantu. Tak ada yang istimewa.

Fadli keluar dari kamarnya, menuruni tangga, ia melihat Marrinette sedang membersihkan kukunya.

"Heh Marrinette! Buatkan aku mie telor sekarang."

"Bos...," ucap Marrinette dengan nada meledek. "Mengapa tak kau biarkan pembantumu ini istirahat satu jam saja. Aku ini hanya manusia yang juga punya rasa lelah."

"Kalau tidak mau ya berhenti saja. Masih banyak orang yang ingin bekerja disini."

Hh! Dari awal aku memang sudah tak ingin bekerja di sini. Andai saja bukan karena misi sialan itu sudah lama aku hengkang dari tempat ini!

"Baiklah." Marrinette terpaksa pasrah menuruti kemauan anak majikannya itu. "Tapi kamu harus menunggu diluar dan jangan masuk ke dapur."

"Kenapa? Takut rahasiamu terbongkar ya?"

Marrinette menatap Fadli yang sinis.

"Rahasia apa?"

"Kamu penyihir kan?"

Marrinette tergelak. "Kau membual. Dari tadi siang kau selalu bertingkah aneh, air kolam renang panas lah. Dan sekarang, kau mengatakanku penyihir? Jangan-jangan, sarafmu mulai bergeser?"

"Lancang sekali kau berbicara seperti itu. Semua orang dirumah ini tak ada yang berani-"
"Tak ada yang berani melawanmu, begitu? Kalau aku berani kenapa?"

"Hh! Sudahlah, aku capek melayani ucapan perempuan sepertimu! Cepat buatkan makananku dan jangan suruh aku duduk diluar. Ini rumahku, terserah aku mau duduk dimana dan itu bukan urusanmu!" Fadli duduk dengan gusar.

Hh! Dikerajaanku, aku adalah orang yang sangat disegani dan ditakuti. Bagaimana mungkin aku bisa tunduk pada manusia sampah sepertimu. Sepertinya orang ini harus diberi pelajaran.

Marrinette memperhatikan Fadli, yang terlihat tidak mengawasi gerakannya. Diam-diam ia memasukkan cabai bubuk yang sangat banyak ke dalam mie buatannya. Saat mienya telah matang, ia memberikannya pada Fadli.

Dia memakannya, hingga kemudian merasakan mulutnya kepanasan karena kepedasan.

"Huh, pedas banget!" Ia minum terburu-buru. "Huh hah huh! Kok pedas banget sih, kamu mau nyiksa aku?"

Tiba-tiba perutnya mulas. Buru-buru ia ke kamar mandi. Berulangkali Fadli bolak-balik ke kamar mandi karena diare. Hingga kemudian Papanya pulang, dan Fadli mengadu padanya.

"Kenapa kamu?" tanya  Darlius.

"Sakit perut, Pa," sahut Fadli.

"Kenapa bisa sakit perut?"

"Ini semua gara-gara Marrinette. Ia sengaja memberikan cabe banyak-banyak pada makananku."

"Adi, cepat panggil Marrinette!"

"Baik Tuan," sahut Pak Adi seraya membungkuk kemudian pergi ke kamar Marrinette. Tak lama kemudian ia kembali bersama Marrinette.

"Ada apa, Pak?" tanya Marrinette santai.
"Apa benar kamu sengaja memasukkan banyak cabe ke dalam makanan Fadli?"

"Saya benar-benar tidak tau, Pak. Lagipula, dia juga tidak mau memberitahu saya berapa takaran pedasnya. Jadi, saya pikir dia suka pedas. Karena biasanya laki-laki itu suka yang pedas-pedas, Pak."

"Bohong, Pa."

"Tapi memang itu kenyataannya, Pak." Potong Marrinette.

"Halah, Papa lagi capek dan tidak mau mendengar perdebatan kalian. Adi, antarkan Fadli ke klinik sekarang."

"Baik Tuan," sahut Pak Adi.

Diam-diam Marrinette tersenyum.

"Dan kamu Marrinette, siapkan makan malam saya."

"Baik, Pak," sahut Marrienette kemudian bergerak ke dapur.
***

Marrinette menatap kolam renang yang airnya bening itu.

Huaah, rasanya ia ingin sekali menceburkan diri ke dalam air itu. Untungnya bulan sedang tidak bersinar malam ini dan lampu di sekitar kolam renang sudah dimatikan. Hanya lampu dari dalam rumah yang samar-samar menyinari kolam renang. Marrinette kemudian menceburkan diri ke dalam air yang kemudian berubah menjadi duyung, meliuk-liuk, merasakan sensasi air disetiap sela-sela sisiknya. Puas berenang, ia duduk ditepian kolam. Melambai-lambaikan ekornya yang indah.

Fadli yang tak bisa tidur, beranjak dari kasurnya kemudian berjalan ke arah jendela dekat balkon. Membuka tirainya, untuk melihat suasana malam yang menenangkan. Ketika melihat ke arah kolam renang, Fadli terkejut saat melihat duyung.

Benarkah ia...?

Ah, Fadli harus memergokinya. Buru-buru ia menuruni tangga, berlari ke arah kolam renang dan kemudian menyamperi Marrinette.

Tt-tapi, tapi, ekornya mana?

"Kamu ngapain ke sini?" tanya Marrinette yang melihatnya dengan tatapan heran.

"Kamu yang ngapain disini?"

"Mandi." Jawab Marrinette singkat.

"Mandi? Tengah malam begini?"

"Suka-suka aku lah," sahut Marrinette asal.

"Hari sedingin ini kamu malah mandi di kolam renang?"

"Kata siapa dingin, hari ini panas tau. Kamu aja kali yang sakit."

"Hh! Terserah." Fadli pergi meninggalkan Marrinette dan kembali ke kamarnya.

Marrinette jadi heran, bagaimana Fadli bisa tiba-tiba mendatanginya dengan raut wajah curiga? Ia menengadah ke atas. Aduh Marrinette, ia menepuk jidatnya. Balkon Fadli menghadap ke arah kolam renang. Apa jangan-jangan Fadli melihatnya? Hh! Tidak, Fadli datang saat ia sudah kembali berwujud manusia. Hh! Marrinette mengutuki kebodohannya dan berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi. Sekarang yang mesti dilakukannya adalah bersikap masa bodoh seolah-olah tidak terjadi apa-apa agar Fadli meragukan penglihatannya.

Gila-gila, ini benar-benar gila! Apakah aku salah melihat? Ah, tidak-tidak, aku tak salah melihat. Itu benar-benar seekor duyung. Tapi, ah mungkin aku salah melihat. Apakah aku tidak waras? Ah, perasaan aku masih normal dan waras. Atau aku hanya berhalusinasi? Hh!

Dia punya rencana untuk menyiram Marrinette esok hari. Dan dia akan meminta Pak Adi untuk merekamnya untuk membuktikan kebenarannya. Itu lebih baik, daripada ia terus diliputi tanda tanya.

Esoknya, sesuai rencana, Fadli mengambil seember air untuk disiramkan pada Marrinette yang sedang menjemur pakaian. Tentu saja Marrinette terkejut bukan kepalang.

"Fadli! Apa-apaan ini!"

Fadli hanya tersenyum sinis. Liat aja nanti, tak lama kau akan berubah menjadi duyung dan semua kedokmu akan terbongkar.

Tapi, beberapa detik kemudian, tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan berubah menjadi duyung. Marrinette berjalan selayaknya manusia biasa, menghampirinya dengan kesal.

"Apa maksudmu menyiramku dengan air!"

"Kenapa, nggak suka?"

"Heh! Aku sedang menjemur pakaian dan tinggal pakaianmu yang belum dijemur. Karna kau sudah berani kurang ajar padaku maka kau jemur saja pakaianmu sendiri!" kata Marrinette dan berlalu dihadapannya. Dasar manusia bodoh! Kau pikir semudah itu aku menunjukkan jati diriku?

"Itu sudah tugasmu sebagai pembantu!" teriak Fadli.

"Aku tidak peduli! Jemur sendiri atau kau akan memakai pakaian basah!" seru Marrinette dari jauh.

"Hhh!"

Pak Adi keluar dari persembunyiannya, "Tuan muda, sepertinya hal yang Tuan tuduhkan terhadap Marrinette itu tidak benar, ia hanyalah manusia biasa seperti kita. Saya sudah membuktikannya sendiri, tidak ada tanda-tanda bahwa ia adalah seekor duyung. Apa jangan-jangan, Tuan muda berhalusinasi? Saya sarankan Tuan muda harus diperiksa ke psikieter."

"Kurang ajar sekali mulutmu! Kau pikir kau bicara dengan siapa?!"

"Maaf Tuan." Adi menunduk. "Saya hanya memberi saran terbaik. Kalau Tuan muda tidak setuju ya tidak apa-apa."

"Hh! Saran terbaik jidatmu. Cepat bantu aku menjemur pakaian!"

"Baik Tuan."

"Marrinette! Buatkan aku spagetty, cepat!"
"Hh! Aku sudah menyiapkan makanan diatas meja diruang makan. Makan saja yang disana."
"Aku maunya spagetty. Buatkan sekarang apa susahnya sih?"

"Dasar merepotkan! Jangan-jangan Ibumu kabur dari rumah ini karna kau seperti ini."

"Aku tak punya Ibu," sahut Fadli. "Ibuku sudah lama meninggal"

"Oh," ujar Marrinette. Mau sekesal apapun Marrinette, mau sebenci apapun dia, ia tetap memiliki rasa kasihan.

"Jadi, selama ini kau menjalani kehidupan tanpa seorang Ibu?"

"Ya, hanya ada Papa, tanpa perhatian dan kasih sayang. Dia hanya sibuk dengan pekerjaannya dan menghabiskan waktu dengan perempuan jalang. Lalu pulang larut malam." Fadli berkata lirih.

Sekarang Marrinette mengerti, Fadli menjadi nakal karena kurang perhatian. Ia menghampiri Fadli yang sedang duduk, mengusap rambutnya.

"Yang sabar ya. Kamu pasti mampu menghadapinya."

Fadli merasakan sensasi aneh saat rambutnya diusap Marrinette. Ada rasa nyaman, namun perasaan itu hanya sesaat, Marrinette kemudian menjauh karena harus membuatkan spagetty.

"Kamu masih lebih beruntung dariku," lirihnya.

"Maksudmu?" tanya Fadli.

"Kamu masih memiliki ayah, sedangkan aku sudah tak punya orangtua."

"Kedua orangtuamu kemana?" tanya Fadli ingin tau.

"Dibunuh."

"Dibunuh?" Fadli terkejut mendengarnya. "Siapa yang membunuh mereka?"

"Orang jahat."

"Apa kamu sudah mengungkap siapa pelakunya?"

"Buat apa?" Jawab Marrinette menahan air mata. "Sia-sia." Marrinette tidak akan mungkin memberitahu bahwa yang membunuh kedua orangtuanya adalah siluman. Karna itu hanya akan membuat Fadli penasaran dan ingin tau lebih jauh siapa dirinya.

"Lalu, siapa yang kau punya saat ini?"

"Hanya seorang kakak."

"Dimana dia sekarang?"

"Dia bekerja disebuah restorant," sahut Marrinette. "Susah untuk menemuinya."

"Kalau kamu ingin bertemu dengan kakakmu, aku bersedia menemanimu."

"Terimakasih," sahut Marrinette.

Ia jadi heran, mengapa Fadli tiba-tiba menjadi baik? Bukankah ia kasar, menyebalkan, dan cerewet? Ah sudahlah, tak usah dipikirkan.

Sepiring spagetty sudah selesai dibuat. Ia memberikannya pada Fadli. Herannya, dia memakannya dengan tenang, tidak mencaci makanan yang selama ini dilakukannya. Apa dia sudah sadar?

Sorenya Fadli memanggil Marrinette yang hendak pergi berbelanja.

"Marrinette, mau kemana?"

"Mau kepasar, bahan makanan sudah habis."

"Biar kutemani."

"Tidak usah, aku sudah terbiasa sendiri."

"Jangan menolak, biar kutemani. Lagipula aku juga bosan dirumah."

Demi biar Fadli tak marah lagi, ia harus menurutinya. Padahal ia ingin menemui Alya dan Evelyn.

"Baiklah."
***

Pasar sangat ramai membuat Fadli jadi pusing, ia belum terbiasa berada di tempat seperti itu.

"Marrinette!" teriaknya karena kalau suaranya pelan, sudah pasti takkan terdengar karena bercampur dengan suara riuh orang pasar.

"Kenapa kamu tidak belanja ke mall saja?!"

"Disini harganya murah-murah!"

"Tapi tempat ini penuh sesak dan bau!"

Hh! Suruh siapa ikutan. Marrinette tidak menghiraukannya dan berjalan lebih cepat mendahuluinya.

"Marrinette! Tunggu!"

Marrinette membeli berbagai macam kebutuhan dapur dari satu lapak ke lapak lain. Fadli baru bisa menyusulnya ketika ia sedang membeli jagung bakar.

"Cepat sekali sih jalanmu?"

Marrinette memberikan sebatang jagung bakar. "Nih jagung."

Fadli memakannya. "Aku kesulitan menyusulmu karena terhalang oleh orang-orang yang membawa bawang dan cabe."

Marrinette tidak menyahut. Ia asyik menggoroti jagung bakar yang sangat nikmat itu.

"Habis ini mau kemana?" tanya Fadli.

Beli ikan dan ayam.

"Hah?"

Tidak dipedulikan ekpresi keterkejutan Fadli yang menurutnya berlebihan itu. Sudah dipastikan Fadli akan enggan ke tempat penjualan ikan. Namanya juga anak orang kaya, pasti nggak suka dengan bau-bauan.

"Huh Marrinette! Kenapa kamu malah mau belanja di tempat seperti ini? Udah becek, licin, bau."

"Siapa suruh kamu harus mengikuti saya kemanapun pergi BOS Fadli? Apa susahnya menunggu di mobil?"

"Hh! Ya sudah kalau gitu. Aku akan kembali ke mobil. Jangan lama-lama!"

Marrinette hanya bersikap masa bodoh, kemudian kembali berbelanja.

Usai membeli ayam dan ikan, Marrinette kembali ke lokasi Fadli yang menungguinya dengan cemberut. Kemudian marah-marah karena Marrinette menyuruhnya memeganginya.

"Hh! Apa-apaan! Taruh saja di bagasi mobil. Jangan sampai airnya meleleh, kalau sampai mobilku bau, kamu harus membersihkan sebersih-bersihnya."

Di dalam mobil, Fadli mengomel.

"Aku pikir aku akan bahagia mengikuti perjalanan ini, nyatanya malah bikin tambah pusing."

Marrinette tidak menghiraukannya. Ia hanya menatap jalanan dan kendaraan yang berlalu-lalang.

Sesampai dirumah, Fadli hanya diam dengan raut wajah kesal memasuki rumah. Marrinette tidak mempedulikannya, ia sibuk membawa barang belanjaan ke dapur.
***

"Hh! Baunyaa." Alya menutup hidung dan keluar dari tempat yang menyesakkan itu.

"Ada apa ini?" kata Evelyn yang hendak memasuki ruangan itu dan kemudian menutup hidung. "Kenapa bisa sebusuk ini?"

"Itu. Tempat pembuangan tinjanya sudah penuh," ujarnya seraya menunjuk tempat pembuangan tinja dibawah meja. "Orang yang ngontrak disamping kontrakan kita pipa wc-nya juga dibuang kesini rupanya."

"Kita minta dia untuk patungan membayar tukang sedot wc."

"Aku sudah mengatakannya, tapi ia tidak mau. Karena wc-nya belum mampet. Sementara wc kita sudah mampet."

"Huh, sepertinya kita harus pindah kontrakan."

"Dimana?" tanya Alya.

"Nanti kupikirkan."
***

"Marrinette!" teriak Fadli yang sedang menuruni tangga. "Siapkan sarapanku sekarang!"

Tak ada sahutan dari Marrinette, ia berteriak sekali lagi.

"Marrinette!"

Marrinette muncul dari arah berlawanan dan tanpa sengaja mereka bertabrakan dan membuatnya tersandar kedinding rumah hingga hidung mereka nyaris beradu. Kini tatapan mereka begitu dekat.

Mata itu sangat indah.

Fadli memperhatikan mata Marrinette yang berwarna coklat terang. Ia bahkan dapat melihat pupil Marrinette yang membesar.

Fadli kembali berdiri dengan benar. Merapikan bajunya.

"Aku mau pergi pagi ini. Cepat siapkan sarapanku sekarang!"

Hh! Dia kembali berubah jadi menyebalkan! Marrinette bergegas ke dapur dengan merengut.

Sebenarnya Fadli tidak tega memarahinya. Tapi demi menjaga gengsi yang biasanya terkenal galak, dia harus melakukannya.

Marrinette memasak nasi goreng dengan kesal. Uuh, baru saja kemaren dia berubah jadi baik. Sekarang mulai lagi. Apa jangan-jangan kemaren itu kepalanya kejedot hingga ia sadar bahwa marah-marah itu salah. Lalu semalam kepalanya kejedot lagi sehingga kembali ke sifatnya semula? Huh sebal, sebal! Marrinette menggurutu panjang pendek, seraya memasukkan garam dengan kesal yang tidak dia takar berapa banyaknya.

Usai membuatnya Marrinette memberikannya pada Fadli. Setelah memberikannya Marrinette kembali ke arah dapur. Namun beberapa langkah ia berjalan, Fadli menyerunya.

"Marrinette!"

Marrinette berbalik.

"Nasi gorengmu asin sekali!"

Ya tuhan. Aku memasukkan garam terlalu banyak.

"Kamu bisa nggak sih? Memasak itu yang benar?"

"Tuan muda," ujar Pak Adi yang tiba-tiba datang. "Teman-teman Tuan sudah menunggu di luar."

Fadli langsung meninggalkan makanannya dan pergi menemui teman-temannya yang mengajaknya main ke tempat billiard.

Huuh, selamat.

Di tempat billiard, Fadli tak bisa melupakan mata Marrinette hingga membuatnya tak fokus.

"Hei! Kamu kenapa sih? Biasanya kamu jago. Kenapa sekarang jadi tidak fokus?"

Fadli hanya menggeleng.

Disisi lain, Marrinette mendatangi kontrakan kakaknya. Beberapa kali ia mengetuk pintunya namun tak ada sahutan. Hingga tetangga sebelah datang menghampirinya.
"Cari siapa ya?"

"Cari dua perempuan yang ngontrak disini. Mereka kemana ya?"

"Ooh, mereka udah pindah. Baru juga kemaren."

Hah, pindah? Kenapa mereka tidak bilang kepadaku.

"O gitu ya. Terimakasih infonya."

Marrinette mengeluarkan hp nya. Menelepon kakaknya yang kemudian menjemputnya dan membawanya ke kontrakan baru mereka.

Fadli pulang lebih cepat hari ini.

"Dimana Marrinette?" tanya Fadli pada Pak Adi setelah dia mencari-cari disekitar rumah namun tidak menemukan keberadaannya.

"Dia keluar sebentar. Lagi ada urusan," sahut Pak Adi.

"Urusan apa?"

"Maaf Tuan muda. Saya tidak tau."

Fadli duduk di kursi sofa ruang tamu dengan kesal. Pikiran terganggu oleh Marrinette. Apakah karena perlakuanku membuat dia pergi dari rumah ini? Hh sial! Pembantu itu sejak dari pagi sudah membuatnya hilang konsentrasi, dan sekarang ia tidak ada dirumah. Untuk mengusir kebosanannya Fadli mengambil majalah yang tergeletak diatas meja yang ternyata adalah majalah model dewasa. Ia membantingnya dengan kesal. Hh! Papa tidak pernah berubah. Sudah tua masih mesum.

"Bagaimana hari-harimu Marrinette?" tanya Alya.

"Seperti biasanya. Menyebalkan."

"Apa kau sudah menemukan tanda-tanda keberadaan mustika itu?"

Marrinette menggeleng. Melempar pandangan ke luar pekarangan yang sempit, kosong. Kemudian ia melihat sisi ruangan, tatapannya terhenti pada Evelyn yang sedang meletakkan dua jarinya pada kedua pelipisnya, matanya menatap tajam sesuatu.

"Apa yang dia lakukan?" tanya Marrinette.

"Dia sedang berusaha mengendalikan pikiran cicak."

Marrinette tergelak. "Apa tidak ada pekerjaan lain sampai-sampai ia harus mengendalikan pikiran cicak?"

"Ya, kau benar," sahut Evelyn. "Aku sangat bosan ditempat ini. Kecil, sesak, dan tidak menarik. Aku rindu kerajaan laut. Disana aku bisa bermain sepuasnya, memakan apapun yang aku mau tanpa perlu mengeluarkan uang."

Tiba-tiba seekor cicak jatuh ke kepala Evelyn.

Marrinette langsung berseru panik, reflek melompat ke punggungg Alya seraya menunjuk-nunjuk kepala Evelyn. "Cicak! Cicak! Itu! Itu! Cicak!"

"Marrinette tenanglah. Cicaknya di kepala Evelyn kenapa malah kau yang panik?" Alya menurunkan Marrinette.

Evelyn tetap santai mengambil cicak diatas kepalanya dan melepaskannya.

"Hii, kenapa tidak dibuang?!" seru Marrinette.

"Biarkan saja," sahut Evelyn santai.

Usai mengadukan keluh kesah pada Alya, Marrinette kembali pada rumah yang akan membuat tensinya kembali naik sekian digit. Terkadang ia bertanya-tanya dalam hati, apa semua orang kaya suka menginjak-injak harga diri seorang pembantu? Apa karena punya banyak harta dengan mudahnya memandang orang sebelah mata? Hh! Kekayaan Darlius belum ada apa-apanya dibanding ratu Apriana. Yang tidak hanya memiliki restorant, mobil dan rumah didunia manusia, namun juga memiliki kerajaan yang besar dan luas di laut Hindia. Namun ia tidak pernah sombong. Tidak seperti Darlius dan anaknya, yang selalu merasa paling berkuasa.

Ceklek! Pintu dibuka oleh Marrinette.

"Darimana saja kamu?" suara Fadli menyapanya, berat dan dingin.

"Lagi ada urusan."

"Urusan apa? Sampai harus lama pulang?"

"Apa urusanmu untuk mengetahui urusanku?"

"Heh! Kau pembantu di rumah ini. Seharusnya tau aturan."

"Aturan dari Pak Darlius boleh pergi sesekali asal harus pulang sebelum jam tujuh malam. Tadi aku berangkat jam delapan pagi dan kembali jam sembilan. Hanya satu jam. Kau saja yang repot pakai menungguku segala." Marrinette melangkah dengan gusar menuju kamarnya.

Hh! Bagaimana cara mengatakan kalau aku khawatir jika terjadi sesuatu denganmu dijalan. Hh! Seorang Fadli yang galak susah untuk bertutur manis. Biasanya perempuan manapun akan tunduk jika ia marahi. Tapi Marrinette bukan perempuan sembarangan. Ia berbeda dari yang lain. Semakin dibentak semakin membangkang. Apa ia harus belajar untuk bersikap manis kepadanya?

Ketika ia hendak mengetuk pintu kamar Marrinette, ia mendengar perempuan itu berbicara ditelepon dengan seseorang.

"Kak, aku pergi saja dari rumah ini. Aku sudah tak betah kak."

"Tapi aku sudah tidak kuat kak. Anaknya semakin hari semakin menjadi-jadi. Aku sudah tidak mampu bertahan."

Fadli merasa bersalah, ia urungkan niatnya untuk mengetuk pintu kamar Marrinette dan berlalu darisana.

Malam harinya, Fadli melihat Marrinette sedang menangis di tepi kolam renang.

Ia mendekatinya, menyentuh pundak Marrinette dan tersenyum padanya.

Jangan menangis sayang. Izinkan aku menghapus air matamu. Biarkanku menggenggam jemarimu. Bangkitlah, ikuti langkah kakiku. Mari kita berdansa, hingga dipenghujung lagu. Jangan pedulikan siapapun, dunia milik kita berdua.

Mereka terus berdansa mengkuti melodi.

Ikuti langkah kakiku, dekatkan wajahmu padaku. Biarkanku menatap mata indah itu, sekali lagi, sekali lagi. Genggam tanganku erat-erat, biar kurasakan hangatnya tanganmu sampai kehatiku. Tersenyumlah, kau begitu manis, sangat manis.

Marrinette memejamkan mata, Fadli tau apa yang diinginkannya, ia memajukan tubuhnya, melangkahkan kakinya ke depan agar bisa lebih dekat. Lebih dekat, dan....

Ia tersandung selang air hingga terjatuh.

Sialan! Aku menghayal. Fadli memegangi lututnya seraya meringgis. Ia masih melihat Marrinette duduk di sana. Fadli bergidik membayangkan jika ia berlaku manis pada Marrinette, dia akan diolok-olok sama teman-temannya jika ketauan tunduk pada seorang gadis yang hanya pembantu dirumahnya. Buru-buru ia meninggalkan tempat itu.

Sialan! Mengapa wajah perempuan itu selalu saja menghantui pikiranku? Apa aku sudah gila?

Fadli meremas rambutnya kesal. "Akh!"
***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
KESEMPATAN PERTAMA
537      373     4     
Short Story
Dan, hari ini berakhir dengan air mata. Namun, semua belum terlambat. Masih ada hari esok...
Matchmaker's Scenario
1307      688     0     
Romance
Bagi Naraya, sekarang sudah bukan zamannya menjodohkan idola lewat cerita fiksi penggemar. Gadis itu ingin sepasang idolanya benar-benar jatuh cinta dan pacaran di dunia nyata. Ia berniat mewujudkan keinginan itu dengan cara ... menjadi penulis skenario drama. Tatkala ia terpilih menjadi penulis skenario drama musim panas, ia bekerja dengan membawa misi terselubungnya. Selanjutnya, berhasilkah...
Wedding Dash [Ep. 2 up!]
2953      1113     8     
Romance
Arviello Surya Zanuar. 26 tahun. Dokter. Tampan, mapan, kaya, dan semua kesempurnaan ada padanya. Hanya satu hal yang selalu gagal dimilikinya sejak dulu. Cinta. Hari-harinya semakin menyebalkan saat rekan kerjanya Mario Fabrian selalu mengoceh panjang lebar tentang putri kecilnya yang baru lahir. Juga kembarannya Arnaferro Angkasa yang selalu menularkan virus happy family yang ti...
Semoga Kebahagiaan Senantiasa Tercurah Padamu,Kasi
638      449     0     
Short Story
Kamu adalah sahabat terbaik yang perna kumiliki,Harris Kamu adalah orang paling sempurna yang pernah kitemui,Ales Semoga kebahagiaan senantiasa tercurah pada kalian,bagaimanapun jalan yang kalian pilih
DariLyanka
3037      1042     26     
Romance
"Aku memulai kisah ini denganmu,karena ingin kamu memberi warna pada duniaku,selain Hitam dan Putih yang ku tau,tapi kamu malah memberi ku Abu-abu" -Lyanka "Semua itu berawal dari ketidak jelasan, hidup mu terlalu berharga untuk ku sakiti,maka dari itu aku tak bisa memutuskan untuk memberimu warna Pink atau Biru seperti kesukaanmu" - Daril
Stay With Me
199      167     0     
Romance
Namanya Vania, Vania Durstell tepatnya. Ia hidup bersama keluarga yang berkecukupan, sangat berkecukupan. Vania, dia sorang siswi sekolah akhir di SMA Cakra, namun sangat disayangkan, Vania sangat suka dengan yang berbau Bk dan hukumuman, jika siswa lain menjauhinya maka, ia akan mendekat. Vania, dia memiliki seribu misteri dalam hidupnya, memiliki lika-liku hidup yang tak akan tertebak. Awal...
Gebetan Krisan
511      363     3     
Short Story
Jelas Krisan jadi termangu-mangu. Bagaimana bisa dia harus bersaing dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana mungkin keduanya bisa menyukai cowok yang sama? Kebetulan macam apa ini? Argh—tanpa sadar, Krisan menusuk-nusuk bola baksonya dengan kalut.
Galang dan Refana
651      426     0     
Short Story
“Untuk apa kita diciptakan di dunia? “ seorang gadis yang sudah cukup lama ku kenal mengajukan sebuah pertanyaan. Ia melemparkan pandangan kosongnya ke sebuah dimensi ruang. Tangannya yang dipenuhi perban memeluk lutut seolah tangah melindungi tubuh dan jiwa rapuhnya
Hatimu jinak-jinak merpati
585      393     0     
Short Story
Cerita ini mengisahkan tentang catatan seorang gadis yang terlalu berharap pada seorang pemuda yang selalu memberi kejutan padanya. Saat si gadis berharap lebih ternyata ...
Baret,Karena Ialah Kita Bersatu
730      435     0     
Short Story
Ini adalah sebuah kisah yang menceritakan perjuangan Kartika dan Damar untuk menjadi abdi negara yang memberi mereka kesempatan untuk mengenakan baret kebanggaan dan idaman banyak orang.Setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan masing - masing,mereka kembali di pertemukan oleh takdir melalui kesatuan yang kemudian juga menyatukan mereka kembali.Karena baret itulah,mereka bersatu.