Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hidden Hearts
MENU
About Us  

Nara menghela napas panjang saat ia berdiri di depan cermin di kamar mandi sekolah. Wajahnya terlihat letih, dan matanya sedikit sembab. Mungkin karena kurang tidur, atau mungkin karena pikirannya yang terlalu penuh dengan sesuatu yang bahkan ia sendiri tak ingin akui.

Sejak Zian benar-benar menjaga jarak darinya, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Tapi bukankah itu yang ia inginkan sejak awal? Bukankah ia sendiri yang memutuskan untuk menjauh?

"Nara?"

Suara Amel dari balik pintu mengejutkannya. Ia buru-buru membasuh wajahnya dengan air dingin sebelum berbalik. "Iya?"

Amel menyandarkan diri di pintu dengan tangan terlipat di dada. "Tadi aku lihat kak Zian nyariin kamu. Katanya dia mau ngomong sama kamu."

Nara terdiam sejenak sebelum mengalihkan pandangannya. "Aku nggak mau ketemu Mel."

Amel menghela napas, lalu berjalan mendekat. "Kamu yakin? Dia keliatan serius banget, Ra."

"Aku udah mutusin buat ngejauh, Mel." Suara Nara terdengar lebih lirih dari yang ia harapkan.

"Tapi kamu juga keliatan kayak orang aneh semenjak mutusin buat ngejauh dari kak Zian," sahut Amel pelan.

Nara menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang semakin bergejolak. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa ini keputusan yang tepat, tapi entah kenapa hatinya terus menolak.

Sementara itu, di luar kelas, Zian berdiri dengan gelisah. Ia melirik ke dalam ruangan, berharap melihat Nara, tapi yang ia temukan hanyalah tatapan penasaran dari beberapa teman sekelasnya.

"Kak Zian, nyari Nara yah?" tanya salah satu teman Nara.

Zian mengangguk. "Lo tahu dia di mana?"

"Kayaknya di kantin sama Amel deh tadi," jawab temannya sebelum kembali sibuk dengan buku catatannya.

Tanpa pikir panjang, Zian segera melangkah pergi.

Di kantin, Nara masih duduk di meja yang sama dengan Amel, meskipun pikirannya tak benar-benar ada di sana. Tangannya sibuk mengaduk jus yang sudah mencair, sementara matanya menatap kosong ke arah luar jendela.

Tiba-tiba, suasana di kantin menjadi sedikit hening. Beberapa siswa mulai berbisik-bisik, dan Nara bisa merasakan kehadiran seseorang yang dikenalnya berdiri di dekatnya.

Ia mendongak dan mendapati Zian berdiri di sana, menatapnya dengan sorot mata penuh tekad.

"Kita perlu bicara Ra," kata Zian dengan suara datar namun tegas.

Nara menegang. "Nggak ada yang perlu dibicarain lagi kan kak."

Zian menghela napas, lalu menarik napas dalam-dalam seolah sedang menahan emosinya. "Jangan ngehindar terus, Ra."

"Aku nggak ngehindar kok," sanggahnya cepat.

Zian menatapnya dengan tatapan tajam. "Kalau kamu nggak ngehindar, kenapa kamu selalu pergi setiap kali aku ada di dekat kamu? Kenapa kamu nggak pernah mau dengerin aku lagi Ra?"

Nara menggigit bibirnya, mencoba mencari jawaban, tapi tak ada yang bisa ia katakan. Ia hanya menunduk, berharap Zian akan menyerah dan pergi.

Namun, Zian justru menarik kursi di depannya dan duduk dengan ekspresi serius. "Kamu bisa benci kakak, kamu bisa marah sama kakak, tapi satu hal yang harus kamu tahu, Nara. Kakak nggak akan berhenti peduli."

Dadanya terasa sesak mendengar kalimat itu. Ia menggenggam jemarinya sendiri di bawah meja, mencoba meredam emosi yang mulai menguap ke permukaan.

"Kakak nggak perlu peduli sama aku kak," ucapnya pelan.

Zian menatapnya tajam. "Aku nggak bisa."

Keduanya saling menatap dalam diam. Suasana di sekitar mereka seakan menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dalam kebisuan yang begitu pekat.

Nara ingin mengatakan sesuatu, ingin menjelaskan semuanya, tapi ada ketakutan yang menahannya. Takut akan perasaan yang semakin tumbuh, takut akan luka yang mungkin datang jika ia memilih untuk bertahan di sisi Zian.

Namun, sebelum ia sempat mengambil keputusan, Zian sudah lebih dulu berbicara. "Kali ini, kamu nggak bisa lari lagi, Ra."

Nara menelan ludah. Kata-kata Zian menggema di kepalanya, membuatnya semakin sulit bernapas. Ia ingin menolak, ingin mengatakan bahwa ia tetap bisa pergi, tetap bisa menjaga jarak, tapi tubuhnya terasa terpaku di tempat.

"Aku nggak lari kok," bisiknya lemah.

Zian mendengus pelan. "Kalau kamu nggak lari, kenapa kamu terus ngehindar? Kenapa kamu nggak pernah kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya?"

Nara meremas jemarinya sendiri, merasa perutnya mengerut tak nyaman. "Nggak ada yang perlu dijelasin, Kak," ujarnya tanpa menatap Zian.

"Jangan bohongin diri kamu sendiri, Ra," suara Zian terdengar lebih lembut, tapi tetap sarat emosi. "Aku tahu kamu juga ngerasain sesuatu."

Nara langsung menggeleng. "Itu nggak penting."

"Tapi buat aku, penting."

Kali ini, Nara mengangkat wajahnya dan menatap Zian. Matanya berkaca-kaca, berusaha keras menahan emosi yang hampir meledak. "Kak Zian... tolong jangan buat semuanya jadi lebih sulit."

"Jadi aku yang salah?" Zian tersenyum miris. "Aku salah karena peduli? Aku salah karena nggak bisa pura-pura nggak lihat kalau kamu juga sebenarnya nggak baik-baik aja?"

Amel yang sejak tadi duduk di sebelah Nara mulai merasa tidak enak berada di tengah-tengah percakapan ini. Ia melirik Nara sejenak sebelum akhirnya berbisik, "Aku ke kelas dulu, Ra." Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dan pergi meninggalkan mereka.

Sekarang hanya ada mereka berdua.

"Nara..." suara Zian lebih pelan kali ini, nyaris seperti bisikan. "Aku nggak peduli sama omongan orang. Aku juga nggak peduli sama masalah yang ada di antara kita. Aku cuma pengen kamu dengerin aku."

"Tapi aku peduli!" potong Nara tiba-tiba, suaranya sedikit bergetar.

Zian terdiam.

"Aku peduli sama omongan orang, aku peduli sama masalah yang bakal timbul kalau aku terus ada di dekat Kak Zian." Matanya yang bening menatap lurus ke arah Zian. "Aku nggak sekuat Kak Zian. Aku nggak bisa pura-pura nggak denger semua komentar mereka. Aku nggak bisa pura-pura nggak takut."

Zian mengepalkan tangannya, menahan emosi yang mulai bercampur aduk. "Jadi kamu milih buat pergi gitu aja?"

Nara menggigit bibirnya, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Iya, Kak. Aku milih buat pergi. Aku sekolah ingin belajar, bukan untuk mencari musuh."

Dadanya terasa begitu sesak setelah mengatakan itu.

Zian terdiam untuk waktu yang cukup lama. Rahangnya mengeras, ekspresinya datar.

Akhirnya, Zian menarik napas panjang. "Oke," katanya dengan suara yang lebih dingin dari sebelumnya. Ia bangkit dari kursinya dan menatap Nara untuk terakhir kalinya. "Kalau itu yang kamu mau, aku nggak bakal maksa lagi."

Nara terhenyak. Hatinya berteriak, tapi ia tetap diam.

Zian melangkah pergi, meninggalkan Nara yang hanya bisa menatap punggungnya semakin menjauh. Ada sesuatu yang terasa pecah di dalam dirinya, tapi ia memilih untuk mengabaikannya.

Karena ia tahu, jika ia mencoba menahannya lagi... ia mungkin tidak akan pernah bisa melepaskannya.

"Maafkan aku kak."

Bersambung

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Singlelillah
1329      640     2     
Romance
Kisah perjalanan cinta seorang gadis untuk dapat menemukan pasangan halalnya. Mulai dari jatuh cinta, patah hati, di tinggal tanpa kabar, sampai kehilangan selamanya semua itu menjadi salah satu proses perjalanan Naflah untuk menemukan pasangan halalnya dan bahagia selamanya.
Asa
4796      1437     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...
fall
4709      1403     3     
Romance
Renata bertemu dua saudara kembar yang mampu memporak-porandakan hidupnya. yang satu hangat dengan segala sikap manis yang amat dirindukan Renata dalam hidupnya. satu lagi, dingin dengan segudang perhatian yang tidak pernah Renata ketahui. dan dia Juga yang selalu bisa menangkap renata ketika jatuh. apakah ia akan selamanya mendekap Renata kapanpun ia akan jatuh?
Life
326      227     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu
Bisikan yang Hilang
73      66     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Singlelillah
0      0     0     
Romance
Entah seperti apa luka yang sedang kau alami sekarang, pada kisah seperti apa yang pernah kau lalui sendirian. Pada akhirnya semua akan membuatmu kembali untuk bisa belajar lebih dewasa lagi. Menerima bahwa lukamu adalah bentuk terbaik untuk membuatmu lebih mengerti, bahawa tidak semua harapan akan baik jika kau turuti apalagi membuatmu semakin kehilangan kendali diri. Belajar bahwa lukamu adalah...