Malam itu, Nara duduk di tepi tempat tidurnya, menatap ke luar jendela. Hujan masih turun, menimbulkan suara gemericik lembut di atap rumahnya. Namun, pikirannya tidak bisa tenang.
Ia menggenggam ujung selimutnya erat-erat. Kata-kata Zian tadi masih terngiang di telinganya.
"Apa aku salah kalau masih peduli sama kamu?"
Nara menghela napas panjang. Ia tahu Zian tulus, tapi justru itulah yang membuatnya semakin takut. Takut terjebak dalam sesuatu yang lebih rumit. Takut melibatkan perasaan yang seharusnya tidak ada.
Ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Amel.
Amel: Ra, besok pulang bareng, kan? Jangan bilang kamu bakal kabur sendiri lagi!
Nara tersenyum tipis. Ia segera mengetik balasan.
Nara: Iya, besok pulang bareng.
Setelah itu, ia meletakkan ponselnya kembali dan berbaring, mencoba memejamkan mata. Tapi entah kenapa, yang terbayang justru tatapan Zian saat menahannya tadi.
Keesokan harinya, Nara benar-benar berusaha menghindari Zian. Ia berangkat lebih awal agar tidak bertemu di gerbang sekolah. Di kelas, ia fokus pada pelajaran dan menghindari melamun.
Namun, selama jam istirahat, saat ia dan Amel sedang berjalan menuju kantin, Nara bisa merasakan tatapan seseorang mengarah padanya. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik tatapan itu.
Amel yang menyadari suasana canggung itu hanya menghela napas. "Ra, kamu tahu kan kalau Kak Zian masih sering memperhatikan kamu?" bisiknya pelan.
Nara berpura-pura sibuk dengan makanannya. "Aku gak tahu Mel, biarin aja lah gak usah dihiraukan."
"Yang bener?" Amel menatapnya curiga.
Nara mengangguk cepat, meskipun hatinya sendiri ragu.
Di sisi lain kantin, Zian masih duduk bersama teman-temannya. Tapi pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Matanya sesekali melirik ke arah meja Nara, memastikan gadis itu baik-baik saja.
Reza yang duduk di sebelahnya mendengus kecil. "Lo serius masih suka ngeliatin dia dari jauh? Udah dua minggu lo gini terus, Zian."
Zian mengusap wajahnya, tampak frustrasi. "Gue bingung harus bagaimana, Za."
"Kejar lah, masa lo mau diem aja?"
Zian tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap ke arah Nara, yang sedang bercanda dengan Amel seolah semuanya baik-baik saja.
"Gue bingung" gumamnya pelan. "Tapi gue nggak mau situasinya seperti ini terus."
Hari itu berlalu tanpa insiden apa pun, hingga akhirnya jam pulang tiba. Nara dan Amel berjalan bersama ke gerbang sekolah, tertawa ringan membicarakan kejadian di kelas tadi.
Namun, langkah Nara terhenti ketika ia melihat seseorang berdiri di dekat gerbang.
"Kak Zian."
Ia berdiri di sana, bersandar pada motornya dengan tangan diselipkan di saku celana. Tatapannya langsung tertuju pada Nara, membuat gadis itu refleks menundukkan kepala.
Amel melirik Nara dengan pandangan penuh arti. "Kayaknya ada yang nungguin kamu, Ra."
Nara menggigit bibirnya. "Ayo ah jalan lebih cepat. Gak usah peduliin kak Zian." Pinta Nara.
Namun, sebelum mereka bisa menghindar, Zian sudah melangkah mendekati mereka.
"Nara," panggilnya pelan.
Nara berhenti, tapi tidak langsung menatap Zian. Ia menahan napas, berusaha mengendalikan perasaannya.
Zian berdiri di hadapannya, menatapnya dengan penuh keseriusan. "Bisa bicara sebentar?"
Nara ragu. Ia bisa merasakan Amel meliriknya, seolah memberi isyarat bahwa keputusan ada di tangannya.
Akhirnya, setelah menghela napas, Nara mengangguk kecil. "Maaf kak, tapi aku sama Amel sedang buru buru."
Zian terdiam sejenak, jelas tidak menyangka jawaban itu. Tatapannya tetap tertuju pada Nara, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya.
Amel yang berdiri di samping Nara bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Ia menyikut lengan sahabatnya pelan, memberi isyarat agar Nara berpikir ulang.
Namun, Nara tetap pada keputusannya. Ia menundukkan kepala sedikit, lalu menarik tangan Amel untuk segera pergi.
"Oke," suara Zian terdengar pelan tapi cukup jelas.
Langkah Nara terhenti sesaat, tapi ia tidak menoleh.
"Kalau memang itu yang kamu mau," lanjut Zian, suaranya lebih datar dari sebelumnya.
Nara mengatupkan bibirnya rapat-rapat, lalu melanjutkan langkahnya tanpa melihat ke belakang.
Amel menoleh sebentar ke arah Zian, yang masih berdiri di tempatnya. Ada sesuatu di wajah laki-laki itu, sebuah kekecewaan yang berusaha ia sembunyikan.
Setelah mereka berbelok di ujung jalan, Amel akhirnya membuka suara. "Ra… serius kamu nggak mau bicara sama Kak Zian?"
Nara menghela napas berat. "Bukan gitu, Mel. Aku cuma nggak mau semua ini makin sulit."
Amel menatapnya penuh arti. "Sulit buat siapa? Kak Zian atau kamu?"
Nara tidak menjawab. Ia hanya menggigit bibirnya dan berjalan lebih cepat.
"Ah udah ah, aku gamau bahas kak Zian terus." Nara mempercepat langkahnya meninggalkan Amel yang menggerutu.
"Hei Ra, tungguin aku." Teriaknya.
Zian masih berdiri di tempatnya, menatap punggung Nara yang semakin menjauh.
Reza yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya menghampirinya.
"Lo nggak kejar dia?" tanya Reza.
Zian menghela napas panjang, lalu menatap langit yang mulai mendung. "Dia nggak mau dikejar."
Raka menepuk bahunya pelan. "Lo yakin itu yang dia mau?"
Zian hanya diam.
Bersambung