Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hidden Hearts
MENU
About Us  

Sejak hari itu, Nara benar-benar berusaha menjaga jarak dari Zian. Ia menghindari kontak mata, menolak untuk berbicara lebih dari yang diperlukan, bahkan jika mereka kebetulan berpapasan di lorong sekolah, ia akan pura-pura tidak melihatnya.

Amel dan beberapa teman lainnya tentu menyadari perubahan itu.

"Ra, kamu yakin ini keputusan yang tepat?" tanya Dinda saat mereka duduk di kantin.

Nara mengaduk jus jeruknya tanpa minat. "Aku nggak mau bikin masalah semakin besar, Mel. Lagipula, kalau aku terus dekat dengan Kak Zian, Kak Alina pasti makin marah."

"Tapi kak Zian sendiri kayaknya nggak keberatan menghadapi Alina."

Nara menggigit bibirnya, menahan perasaan yang sebenarnya berkecamuk di dadanya. Ia tahu Zian pasti bisa menghadapi Alina, tapi ia tidak mau menjadi alasan perselisihan itu terus berlanjut.

Yang tidak Nara sadari, meski ia menjaga jarak, Zian tetap memperhatikannya.

Dari kejauhan, Zian sering kali melihat Nara saat di kelasnya, di kantin, atau bahkan saat ia berjalan pulang bersama Dinda. Kadang, tanpa sadar, matanya mencari sosok gadis itu di antara kerumunan siswa. Ia tahu Nara berusaha menjauhinya, tapi entah kenapa, justru itu semakin membuatnya ingin memastikan Nara baik-baik saja.

Suatu hari, saat pelajaran olahraga, Nara tengah berlari di lapangan bersama teman-temannya. Zian, yang saat itu sedang duduk di tribun bersama teman-teman sekelasnya, memperhatikannya tanpa sadar.

"Lo udah kayak stalker aja, Zian," celetuk Reza, sahabatnya, sambil menyikut lengannya.

Zian tersentak. "Apaan sih?"

Raka terkekeh. "Jangan pura-pura. Udah seminggu ini aku perhatikan, lo sering banget lihatin anak kelas sepuluh itu."

Zian menghela napas, menatap lurus ke arah lapangan lagi. "Sok tahu lo Za."

"Ayolah, Zian. Lo nggak bisa terus-terusan nyangkal. Lo suka sama dia, kan?"

Zian tidak menjawab, tapi ekspresinya berubah sedikit lebih serius.

Raka menepuk pundaknya. "Kalau emang lo suka, kejar. Jangan biarin dia ngejauh terus."

Nara sendiri tidak menyadari kalau Zian masih sering memperhatikannya. Ia berusaha fokus pada kehidupannya sendiri, tapi ada kalanya ia merasa rindu. Ada momen-momen kecil yang membuatnya ingin kembali berbicara dengan Zian, seperti saat ia kebingungan dengan tugas matematika dan tanpa sadar berpikir ingin bertanya pada Zian, sebelum akhirnya ia ingat bahwa ia telah memutuskan untuk menjaga jarak.

Namun, sekeras apa pun ia mencoba, ada saat-saat di mana kehadiran Zian terasa begitu dekat.

Seperti sore itu, ketika ia pulang sendirian karena Amel harus mengikuti ekstrakurikuler. Hujan turun rintik-rintik, dan Nara berjalan cepat melewati gerbang sekolah. Tiba tiba, sebuah motor sport hitam berhenti tepat di sampingnya.

Nara tertegun ketika motor sport hitam itu berhenti. Pengendaranya melepas helm, memperlihatkan wajah yang sangat dikenalnya, Zian.

"Hujan, Ra. Ayo aku antar pulang?" suara Zian terdengar jelas meskipun hujan semakin deras.

Nara meneguk ludah, berusaha tetap tenang. "Aku bisa pulang sendiri, Kak," katanya cepat, lalu melangkah pergi.

Tapi Zian dengan sigap menurunkan standar motornya dan turun. Ia berjalan mendekati Nara, membentangkan jaketnya di atas kepala gadis itu agar tidak semakin basah.

"Ra," panggilnya pelan. "Aku tahu kamu sedang menjaga jarak dari kakak."

Nara menggigit bibirnya, tidak menjawab.

"Aku juga nggak akan maksa kamu buat tetap dekat," lanjut Zian. "Tapi kalau aku bisa nolong kamu, aku tetap bakal nolong. Sekarang, ayo kubonceng. Rumah kamu jauh,?"

Nara menghela napas, hatinya berdebar hebat. Ia ingin menolak, ingin tetap teguh pada keputusannya, tapi tubuhnya sudah mulai menggigil kedinginan.

Zian menatapnya dengan sabar, tidak mendesak, tapi juga tidak pergi.

Akhirnya, Nara mengangguk pelan. "Baiklah."

Zian tersenyum tipis, lalu menyerahkan helm cadangan padanya. Dengan ragu, Nara menerimanya dan naik ke belakang Zian.

Saat motor mulai melaju, Nara menjaga jarak sebisa mungkin. Tapi ketika jalanan menjadi licin dan sedikit berguncang, tanpa sadar tangannya terulur, memegang bagian belakang jaket Zian.

Zian menyadarinya, tapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum kecil di balik helmnya.

Dan Nara menyadarinya, secepat mungkin dia menarik tangannya dari jaket Zian.

"Pegangan aja Ra." Teriak Zian dari balik helmnya.

Nara pura-pura tidak mendengar ucapan Zian. Ia tetap menjaga jarak sebisa mungkin, meskipun angin dan jalanan yang licin membuat tubuhnya sedikit goyah di atas motor.

Zian melirik dari kaca spion, menyadari usaha Nara untuk tetap menjauh. Ia menghela napas pelan, tapi tidak memaksa lagi.

Motor terus melaju di bawah hujan yang semakin deras. Air membasahi lengan seragam Nara yang tidak terlindungi jaket, membuatnya sedikit menggigil. Tapi ia tetap diam, menahan semua perasaan yang berkecamuk di dadanya.

Beberapa menit kemudian, motor berhenti di depan rumah Nara. Zian menurunkan standar dan melepas helmnya, lalu menoleh ke arah gadis itu.

"Kamu kedinginan," katanya, nada suaranya sedikit khawatir.

Nara buru-buru melepas helm dan menyerahkannya kembali. "Aku nggak apa-apa. Makasih udah nganter, Kak."

Ia bergegas turun tanpa menunggu respons Zian, tapi tiba-tiba tangannya ditahan.

"Nara," panggil Zian pelan.

Nara terdiam. Ia bisa merasakan genggaman hangat Zian di pergelangan tangannya.

"Apa aku salah?" tanya Zian. "Apa salah kalau aku masih peduli sama kamu?"

Nara menunduk, menghindari tatapan Zian. "Bukan gitu, Kak. Aku cuma nggak mau masalah ini makin rumit."

Zian menatapnya dalam, lalu perlahan melepaskan genggamannya. "Kalau itu memang yang kamu mau, aku nggak akan maksa," katanya akhirnya.

Nara menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi pada akhirnya ia hanya menunduk sedikit, lalu berbalik menuju pintu rumahnya.

Zian menghela napas panjang sebelum akhirnya menyalakan motornya kembali. Saat ia pergi, Nara tetap berdiri di depan pintunya, menatap bayangan Zian yang semakin menjauh.

Hujan masih turun deras, tapi yang paling terasa adalah sesuatu yang perlahan mengendap di hatinya, sebuah perasaan yang semakin sulit ia abaikan.

"Kak Zian, maafin aku."

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
fall
4709      1403     3     
Romance
Renata bertemu dua saudara kembar yang mampu memporak-porandakan hidupnya. yang satu hangat dengan segala sikap manis yang amat dirindukan Renata dalam hidupnya. satu lagi, dingin dengan segudang perhatian yang tidak pernah Renata ketahui. dan dia Juga yang selalu bisa menangkap renata ketika jatuh. apakah ia akan selamanya mendekap Renata kapanpun ia akan jatuh?
Bisikan yang Hilang
73      66     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Life
326      227     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu
Singlelillah
1329      640     2     
Romance
Kisah perjalanan cinta seorang gadis untuk dapat menemukan pasangan halalnya. Mulai dari jatuh cinta, patah hati, di tinggal tanpa kabar, sampai kehilangan selamanya semua itu menjadi salah satu proses perjalanan Naflah untuk menemukan pasangan halalnya dan bahagia selamanya.
Asa
4796      1437     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...
Singlelillah
0      0     0     
Romance
Entah seperti apa luka yang sedang kau alami sekarang, pada kisah seperti apa yang pernah kau lalui sendirian. Pada akhirnya semua akan membuatmu kembali untuk bisa belajar lebih dewasa lagi. Menerima bahwa lukamu adalah bentuk terbaik untuk membuatmu lebih mengerti, bahawa tidak semua harapan akan baik jika kau turuti apalagi membuatmu semakin kehilangan kendali diri. Belajar bahwa lukamu adalah...