Ibu hanya tertawa kecil, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Nara mengikutinya dari belakang, berharap ibunya tidak akan bertanya lebih jauh.
Namun, harapannya langsung pupus begitu mereka tiba di ruang tamu.
"Jadi… siapa Zian sebenarnya?" tanya ibunya sambil melipat tangan di dada.
Nara menghela napas dan duduk di sofa. "Sudah kubilang, dia cuma teman sekolah, Bu."
Ibunya mengangkat alis, jelas tidak percaya begitu saja. "Tapi kenapa Ibu belum pernah dengar namanya sebelumnya?"
Nara mengalihkan pandangan. "Karena… aku memang jarang cerita soal teman-teman di sekolah."
Ibu tersenyum penuh arti. "Tapi melihat bagaimana dia tadi menatapmu, sepertinya dia bukan sekadar teman biasa."
Wajah Nara memanas. "Bu!"
Ibunya tertawa. "Baiklah, baiklah. Ibu nggak akan memaksa kamu cerita kalau belum mau."
Nara menghela napas lega, mengira interogasi sudah berakhir.
Tapi ternyata ia salah.
"Tapi, Nara…"
"Hmm?"
"Kalau Zian memang menyukai kamu, apa kamu juga menyukainya?"
Pertanyaan itu membuat Nara terdiam. Ia sendiri belum bisa memahami perasaannya. Zian memang selalu ada untuknya, selalu melindunginya dari Alina, dan selalu membuatnya merasa nyaman. Tapi apakah itu berarti ia menyukai Zian?
"Ih ibu," kata Nara malu.
Ibunya tersenyum lembut. "Kok, muka anak ibu merah sih." Goda ibunya Nara.
Keesokan harinya di sekolah, suasana terasa sedikit berbeda. Nara menyadari bahwa beberapa teman sekelasnya menatapnya dengan tatapan penasaran, seolah mereka tahu sesuatu yang tidak ia ketahui.
Saat ia duduk di bangkunya, sahabatnya, Amel, langsung mencondongkan tubuhnya dengan ekspresi penuh semangat.
"Nara! Kamu udah lihat grup sekolah?" bisiknya penuh antusias.
Nara mengerutkan kening. "Grup sekolah? Kenapa memangnya?"
Amel buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah unggahan di grup WhatsApp sekolah mereka.
Foto itu memperlihatkan dirinya sedang turun dari motor Zian di depan rumahnya.
Mata Nara membelalak. "Apa-apaan ini?"
"Ada yang diam-diam mengambil fotomu dan menyebarkannya di grup," jelas Amel. "Dan lihat komentar-komentarnya!"
Nara membaca beberapa komentar yang membuat kepalanya semakin pening.
'Wah, ternyata Nara dan Zian ada sesuatu ya?'
'Kasihan Alina. Baru aja ditinggal, eh Zian udah deket sama Nara.'
'Cewek satu ini memang pinter cari perhatian.'
Nara merasa perutnya mual. Ia tidak pernah mengira akan menjadi bahan gosip di sekolah.
"Siapa yang menyebarkan ini?" tanya Nara dengan suara bergetar.
Amel menggeleng. "Belum tahu, tapi kemungkinan besar…"
Nara tidak perlu Dinda menyebut namanya untuk tahu siapa pelakunya.
Alina.
Ia mengepalkan tangannya di bawah meja.
"Nara, kamu nggak perlu ambil pusing," kata Dinda menenangkan. "Zian pasti nggak akan tinggal diam."
Seolah mengonfirmasi kata-kata Amel, tiba-tiba seseorang berdiri di depan kelas.
Itu kak Zian.
Semua mata langsung tertuju padanya, dan tanpa ragu, ia berjalan menuju meja Nara.
"Nara, ayo ikut aku sebentar," katanya, suaranya tenang tapi tegas.
Nara menatapnya ragu, tapi akhirnya mengangguk dan mengikuti Zian keluar kelas.
Begitu mereka sampai di taman belakang sekolah, Zian berbalik menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.
Nara menghela napas. "Kak, aku nggak pernah minta buat jadi bahan gosip seperti ini."
"Aku tahu," ujar Zian. "Dan aku janji, aku akan cari tahu siapa yang menyebarkan foto itu."
Nara menatapnya. "Kak, apa ini ulah..."
Zian mengepalkan tangannya. "Alina? Pasti dia Ra."
Zian mengusap wajahnya frustasi. "Aku akan bicara dengannya."
"Tapi Kak—"
"Tidak, Nara. Ini sudah keterlaluan," potong Zian. "Aku nggak bisa diam saja kalau dia terus menyakitimu seperti ini."
Nara menatap Zian dengan khawatir. "Tapi, Kak… kalau Kakak bicara dengannya, bukannya kak Alina akan makin marah?"
Zian menghela napas berat. "Aku nggak peduli, Ra. Aku harus menghentikan ini sebelum semuanya semakin parah. Alina sudah berbohong atas ucapannya tempo hari.
Nara menggigit bibirnya. Ia tahu Zian hanya ingin melindunginya, tapi ia juga takut Alina akan berbuat lebih jauh.
Seakan bisa membaca pikirannya, Zian menatapnya dengan lembut. "Kamu nggak perlu takut. Aku janji, aku nggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi."
Nara menatap Zian dalam diam. Perasaan hangat menjalar di dadanya. Ia tidak terbiasa ada seseorang yang begitu peduli dan melindunginya seperti ini.
"Baiklah," akhirnya ia berkata pelan. "Tapi Kakak harus janji… Kakak nggak akan terpancing emosi."
Zian tersenyum kecil. "Aku akan berusaha."
Hari itu berjalan dengan penuh kecanggungan bagi Nara. Kemana pun ia pergi, selalu ada tatapan ingin tahu dan bisikan-bisikan dari teman-teman sekolahnya. Ia mencoba mengabaikan semuanya, tapi tetap saja, hatinya terasa tidak nyaman.
Saat jam istirahat tiba, Nara baru saja akan menuju kantin ketika ia melihat Zian berdiri di lorong dekat kelas Alina. Ia tampak berbicara serius dengan gadis itu, dan dari ekspresi wajahnya, Alina jelas tidak senang.
Nara berhenti melangkah, merasa ragu apakah ia harus menghampiri atau tidak. Tapi sebelum ia bisa mengambil keputusan, Alina tiba-tiba menatapnya tajam dan berjalan cepat ke arahnya.
"Jadi kamu ngadu ke Zian?" suara Alina terdengar dingin dan penuh kemarahan.
Nara terkejut. "Aku… aku nggak—"
"Jangan pura-pura polos, Nara!" potong Alina dengan nada tajam. "Kamu pikir dengan menyuruh Zian bicara denganku, kamu bisa menang?"
"Aku nggak pernah berniat bersaing denganmu, Kak," ujar Nara dengan hati-hati. "Aku juga nggak pernah ingin berada dalam situasi ini."
Alina menyipitkan matanya. "Omong kosong. Semua ini terjadi gara-gara kamu!"
Zian tiba-tiba muncul di sisi Nara. "Cukup, Alina," katanya tegas. "Berhenti menyalahkan Nara atas sesuatu yang bukan salahnya."
Alina menatap Zian dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa kamu selalu membelanya, Zian? Kenapa kamu nggak bisa melihat aku?"
Zian menghela napas. "Alina, aku sudah bilang berkali-kali… aku nggak bisa memaksakan perasaanku. Aku menghargai kamu, tapi aku nggak bisa memberi kamu sesuatu yang nggak ada di hatiku."
Air mata menggenang di sudut mata Alina. "Tapi dulu… kamu selalu ada buat aku."
"Dulu, iya," jawab Zian. "Tapi sekarang, semua sudah berubah."
Alina menggigit bibirnya, lalu menatap Nara dengan pandangan penuh kebencian. "Ingat kata-kataku, Nara. Kamu mungkin berhasil merebut perhatian Zian sekarang, tapi itu nggak akan bertahan lama."
Setelah mengatakan itu, Alina berbalik dan pergi dengan langkah cepat.
Nara menghela napas berat. Ia tahu masalah ini belum benar-benar selesai.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Zian lembut.
Nara menatapnya dan tersenyum tipis. "Kak, sepertinya mulai hari ini kita harus menjaga jarak. Aku tidak mau kak Alina terus salah paham kepadaku. Mungkin dengan kita menjaga jarak, itu akan cukup meredam gosip yang buruk tentang aku terutama kakak." Kata Nara yang kemudian pergi meninggalkan Zian tanpa ingin mendengar jawaban Zian.