Setelah kejadian di parkiran, Nara mulai merasa lebih waspada. Ia tahu Alina belum benar-benar menyerah. Setiap kali mereka berpapasan di lorong sekolah, tatapan tajam penuh kebencian masih terus dilayangkan padanya. Meskipun Zian selalu berusaha melindunginya, Nara tahu ia tidak bisa bergantung pada Zian terus-menerus.
Namun, ada satu hal yang tak bisa ia pungkiri, kehadiran Zian semakin berarti dalam hidupnya.
Keesokan harinya, suasana sekolah terasa lebih sunyi dari biasanya. Mungkin karena Alina tidak muncul di kelas, atau mungkin karena semua orang mulai bosan membicarakan konflik mereka. Nara menghela napas lega saat bisa melewati hari tanpa gangguan berarti.
Saat jam istirahat, ia memilih untuk pergi ke perpustakaan. Ia ingin mencari ketenangan, jauh dari gosip dan tatapan aneh teman-teman sekelasnya. Namun, begitu ia masuk, ia langsung melihat sosok yang sudah tak asing lagi.
Zian sedang duduk di salah satu meja dekat jendela, matanya fokus pada buku di depannya. Tapi seolah bisa merasakan kehadiran Nara, ia langsung menoleh dan tersenyum tipis.
"Hei," sapanya.
Nara ragu sejenak, lalu membalas dengan anggukan kecil. "Hei kak."
"Kemari." Zian menepuk kursi kosong di sebelahnya.
Awalnya, Nara ingin menolak. Ia takut gosip baru akan muncul jika mereka terlihat semakin dekat. Tapi tatapan Zian seakan mengatakan bahwa ia tidak peduli dengan semua itu. Dan entah kenapa, Nara merasa ia juga tidak ingin menjauh.
Ia duduk di kursi yang ditunjukkan Zian. Hening sejenak di antara mereka sebelum akhirnya Zian berbicara.
"Kamu nggak perlu takut, Nara. Aku nggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi."
Nara menatapnya. "Tapi aku juga nggak bisa terus-terusan bergantung sama kamu, Kak."
Zian menghela napas. "Aku tahu. Tapi setidaknya, aku ingin kamu tahu kalau aku ada di sini. Kamu nggak sendirian."
Kata-kata itu membuat hati Nara bergetar.
Mereka menghabiskan sisa waktu istirahat dengan membaca, terkadang bertukar obrolan ringan. Sesekali, Zian melontarkan candaan yang membuat Nara tersenyum. Entah sejak kapan, ia mulai merasa nyaman di dekat Zian.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.
Saat bel berbunyi, menandakan akhir jam istirahat, Nara dan Zian berjalan keluar dari perpustakaan. Tapi begitu mereka sampai di lorong, suara seseorang menghentikan langkah mereka.
"Zian."
Nara menegang. Alina berdiri di ujung lorong, tatapannya dingin.
Zian tampak tidak terkejut. Ia hanya menatap Alina tanpa ekspresi. "Ada apa lagi Alina?"
Alina berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di depan mereka. Ia tidak menatap Nara, seolah gadis itu tidak ada di sana.
"Aku bisa bicara sebentar sama Kamu? Berdua," katanya dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
Zian melirik Nara sekilas sebelum menjawab, "Kalau ini soal Nara, jawabanku tetap sama. Aku nggak akan meninggalkannya."
Alina mengepalkan tangan. "Ini bukan soal dia," katanya dengan suara bergetar. "Aku cuma… aku cuma ingin bicara denganmu."
Nara menatap Zian. Ia bisa melihat keraguan di mata laki-laki itu, tapi pada akhirnya, Zian mengangguk.
"Oke. Aku akan bicara denganmu."
Alina tersenyum tipis, lalu melirik Nara sekilas sebelum berkata, "Tanpa dia."
Nara merasakan hatinya mencelos, tapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Ia mengangguk pelan. "Aku ke kelas dulu, Kak."
Zian tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia hanya membiarkan Nara pergi.
Nara kembali ke kelas dengan perasaan tidak menentu. Ia mencoba untuk tidak memikirkan apa yang sedang dibicarakan Alina dan Zian, tapi bayangan itu terus menghantuinya.
Bagaimana jika Zian berubah pikiran? Bagaimana jika Alina berhasil meyakinkan Zian untuk menjauhinya?
Ia menggelengkan kepala, mencoba menepis kekhawatiran itu.
Namun, saat jam pelajaran hampir berakhir, sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Kita ketemu di taman belakang sekolah setelah pulang. Aku harus bicara sama kamu. - Zian
Nara menatap pesan itu dengan jantung berdebar.
Sore harinya, Nara berjalan menuju taman belakang sekolah dengan perasaan tidak menentu. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Zian, tapi ia tahu bahwa ini penting.
Begitu sampai di sana, ia melihat Zian sudah menunggu di bangku kayu, tatapannya menerawang ke langit.
"Kak," panggil Nara pelan.
Zian menoleh, lalu tersenyum kecil. "Kamu datang juga."
Nara duduk di sebelahnya, menunggu Zian bicara lebih dulu.
Zian menghela napas panjang sebelum berkata, "Aku bicara sama Alina tadi."
Nara menelan ludah. "Lalu…?"
"Dia bilang dia menyesal," jawab Zian. "Dia bilang dia hanya marah dan terbawa emosi. Tapi dia nggak akan mengganggumu lagi."
Nara terdiam. "Kakak percaya?"
Zian menggeleng. "Aku tidak yakin. Tapi aku juga harus melihat kesungguhannya."
Nara mengangguk pelan.
Zian menatapnya dalam. "Aku juga bilang sesuatu ke dia."
"Apa?"
Zian tersenyum kecil, lalu berkata dengan nada yang lebih lembut.
"Aku bilang kalau aku akan terus berteman sama kamu."
Nara terkejut. Ia menatap Zian, mencari kepastian dalam matanya.
"Aku nggak peduli dengan gosip atau omongan orang lain," lanjut Zian. "Yang aku tahu, aku ingin ada di sini. Sama kamu."
Jantung Nara berdebar kencang.
"Kak…"
Zian tersenyum. "Aku tahu kamu masih bingung. Aku nggak akan memaksamu buat merasa yang sama."
Nara menunduk, berusaha memahami perasaannya sendiri.
Zian menghela napas, lalu berdiri. "Aku antar kamu pulang?"
Nara mendongak, lalu tersenyum tipis. "Tapi kak..."
"Ayolah Ra, kamu sudah beberapa kali menolak aku antarkan."
Nara menggigit bibirnya ragu. Memang benar, selama ini ia selalu menolak tawaran Zian untuk mengantarnya pulang. Bukan karena ia tidak mau, tapi lebih karena takut perasaannya semakin berkembang tanpa bisa ia kendalikan.
Namun, kali ini… ia merasa berbeda. Ada sesuatu dalam tatapan Zian yang membuatnya ingin mengiyakan.
"Baiklah," akhirnya Nara mengangguk pelan.
Zian tersenyum, seolah lega karena akhirnya gadis itu mau menerima tawarannya. "Bagus. Ayo."
Mereka berjalan berdampingan menuju parkiran. Angin sore bertiup lembut, membuat suasana terasa lebih tenang.
Saat sampai di motor Zian, Nara kembali merasa canggung. Ia belum pernah dibonceng oleh seorang laki-laki sebelumnya, apalagi seseorang seperti Zian.
"Naiklah," ujar Zian sambil menyerahkan helm padanya.
Nara ragu sejenak sebelum akhirnya menerimanya. Setelah memasang helm, ia perlahan naik ke atas motor.
"Tangan kamu mau pegangan di mana?" tanya Zian, sedikit menggoda.
Nara menegang. "Aku... aku bisa pegangan di belakang," katanya cepat.
Zian terkekeh. "Oke, terserah kamu."
Motor pun melaju meninggalkan sekolah. Awalnya, Nara berusaha tetap menjaga jarak, tapi saat motor berbelok cukup tajam, ia tanpa sadar mencengkeram jaket Zian erat-erat.
Zian tersenyum kecil, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Setelah beberapa menit perjalanan, mereka akhirnya sampai di depan rumah Nara.
"Terima kasih yah kak sudah mengantarku," ucap Nara sambil melepas helmnya.
Zian menatapnya dengan senyum tipis. "Sama-sama."
Nara mengangguk. Tapi sebelum ia sempat turun, tiba-tiba terdengar suara dari depan rumah.
"Nara?"
Nara menoleh dan melihat ibunya berdiri di teras, menatap mereka dengan alis berkerut.
Jantung Nara mencelos.
Ibunya tidak pernah melihatnya diantar oleh seorang laki-laki sebelumnya, dan sekarang, dengan Zian yang masih duduk di atas motor, situasi ini pasti terlihat mencurigakan di mata ibunya.
Nara buru-buru turun dan berdiri di samping motor. "Ibu… ini temanku, Kak Zian."
Zian yang menyadari situasi langsung tersenyum sopan dan melepas helmnya. "Assalamualaikum bu. Saya Zian, teman sekolah Nara."
Ibu masih menatap mereka dengan pandangan penuh tanya. "Kalian baru pulang dari mana?"
Nara menelan ludah. "Dari sekolah, Bu. Kak Zian cuma mengantarku pulang."
Ibu masih diam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Baiklah. Kalau begitu, terima kasih sudah mengantar Nara, Zian."
"Sama-sama, bu," jawab Zian sopan.
Nara merasa lega karena ibunya tidak bertanya lebih lanjut.
Setelah berpamitan, Zian kembali menaiki motornya. "Aku pamit dulu, Ra."
Nara mengangguk. "Hati-hati, Kak."
Zian tersenyum, lalu melajukan motornya pergi.
Nara menghela napas lega, tapi saat ia berbalik menuju pintu rumah, ibunya masih menatapnya dengan senyum penuh arti.
"Teman, ya?" goda sang ibu.
Nara langsung memerah. "Bu, jangan mulai..."
Bersambung