Nara terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Apakah ia benar-benar menghindari Zian? Ataukah ia hanya berusaha menghindari masalah dengan Alina? Yang jelas, ia tidak ingin terjebak dalam situasi yang semakin rumit.
“Bukan begitu, Kak. Aku hanya…” Nara menggigit bibirnya, mencari alasan yang tepat.
“Kamu hanya apa?” Zian menatapnya dalam, menunggu jawaban.
Nara menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berusaha tersenyum kecil. “Aku hanya tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman dengan orang lain.”
Zian mengangkat sebelah alisnya. “Maksud kamu, Alina?”
Nara menunduk, tak berani menatap mata Zian. Ia tidak ingin menyebut nama Alina, tapi Zian sudah bisa menebaknya.
“Jangan pedulikan Alina,” kata Zian dengan nada lembut. “Aku yang akan mengurusnya. Yang penting, kamu jangan menjauh dariku hanya karena dia.”
“Tapi Kak—”
“Enggak ada tapi-tapian, Nara,” potong Zian cepat. “Aku ingin kita tetap berteman, tanpa harus merasa tertekan oleh siapa pun.”
Nara menatap Zian, dan untuk pertama kalinya, ia melihat ketulusan di mata laki-laki itu. Jantungnya berdebar lebih kencang.
“Tetap berteman?” gumamnya pelan.
Zian tersenyum. “Iya. Atau… kamu punya pemikiran lain?” tanyanya sambil sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Nara.
Nara merasakan wajahnya mulai memanas. Ia buru-buru menggeleng. “Ti-tidak! Tentu saja tidak.”
Zian tertawa kecil. “Bagus. Sekarang, ayo duduk sebentar di sini. Aku janji enggak akan membuat kamu dalam masalah.”
Nara ragu sejenak, tapi akhirnya ia mengangguk dan duduk di kursi di seberang Zian.
Namun, mereka tak menyadari bahwa dari balik rak buku, Alina diam-diam memperhatikan mereka dengan tatapan penuh amarah. Tangannya mengepal erat. Ia tidak akan tinggal diam melihat Nara semakin dekat dengan Zian.
Hari-hari berlalu, dan hubungan Nara serta Zian semakin akrab. Mereka sering berbincang, baik di kelas maupun di perpustakaan. Nara mulai merasa nyaman, meskipun masih ada perasaan canggung setiap kali ia menyadari betapa intens Zian menatapnya.
Namun, di sisi lain, Alina semakin tidak bisa menahan diri. Setiap kali ia melihat kedekatan mereka, api cemburu dalam hatinya semakin membesar. Ia merasa dipermalukan, diabaikan, dan itu membuatnya sakit hati.
“Aku enggak bisa membiarkan ini terus terjadi,” gumamnya dengan wajah penuh dendam.
Suatu hari, saat jam istirahat, Alina akhirnya mendatangi Nara di lorong kelas. Ia berdiri di depan gadis itu dengan tangan terlipat di dada, menatapnya tajam.
“Kita perlu bicara,” ucap Alina dingin.
Nara terkejut, tapi ia mengangguk. “Tentang apa lagi kak?”
Alina mendekat, suaranya merendah tapi penuh ancaman. “Jauhi Zian.”
Nara menelan ludah. “A-aku…”
“Aku enggak mau mendengar alasan apa pun.” Alina menyela dengan nada tegas. “Kamu sudah cukup membuat aku malu. Sekarang, pergilah dan berhenti mendekatinya.”
Nara terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak ingin bertengkar, tapi di sisi lain, ia juga tidak mau tunduk begitu saja pada ancaman Alina.
“Kak, aku sudah pernah bilang sama kakak, kalau aku enggak pernah bermaksud merebut kak Zian dari siapa pun,” akhirnya Nara berbicara dengan suara pelan namun mantap. “Aku hanya berteman dengannya.”
Alina mendengus. “Hanya berteman? Omong kosong.”
Sebelum Nara sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara seseorang.
“Alina!”
Nara dan Alina sama-sama menoleh. Zian berdiri di ujung lorong dengan ekspresi marah.
“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.
Alina terkejut, tapi ia berusaha bersikap tenang. “Aku hanya ingin berbicara dengan Nara.”
“Berbicara atau mengancam?” Zian menatapnya tajam. “Aku sudah bilang, berhenti mengganggunya.”
Alina menggigit bibirnya, menahan amarah yang meluap-luap dalam dadanya. “Jadi, kamu benar-benar lebih memilih dia daripada aku?”
Zian menghela napas, lalu menjawab dengan tegas, “Ini bukan soal memilih siapa. Ini soal bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan baik.”
Alina menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar kehilangan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Zian dan Nara dalam keheningan.
Nara menatap punggung Alina yang menjauh, merasa sedikit bersalah.
“Maaf…” gumamnya pelan.
Zian menoleh ke arahnya. “Bukan kamu yang salah, Nara.”
“Tapi—”
Zian tersenyum menenangkan. “Percayalah, ini bukan salahmu. Dan aku janji, aku enggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu. Termasuk Alina.”
Nara menatap Zian dalam diam.
Nara ingin percaya pada kata-kata Zian, tapi jauh di dalam hatinya, ia merasa bahwa masalah ini belum benar-benar berakhir. Alina sepertinya bukan tipe orang yang mudah menyerah, dan Nara tahu bahwa perasaan sakit hati bisa membuat seseorang melakukan hal-hal di luar dugaan.
Sejak kejadian di lorong kelas, Alina semakin dingin. Ia tidak lagi berbicara dengan Zian, bahkan saat mereka bertemu di kelas sekalipun. Sikapnya kepada Nara juga semakin tidak bersahabat. Tatapannya tajam setiap kali mereka berpapasan, dan ada beberapa kali Nara mendengar teman-teman Alina berbisik-bisik tentang dirinya.
"Dia pasti pakai cara licik buat dapat perhatian Zian."
"Kasihan Alina. Dia udah lama suka Zian, tapi tiba-tiba ada yang datang merebut."
Nara berusaha mengabaikan mereka. Ia tidak ingin memperumit keadaan, tapi kata-kata itu tetap menyakitinya.
Suatu hari sepulang sekolah, saat Nara berjalan sendirian menuju gerbang, tiba-tiba seseorang menarik pergelangan tangannya dengan kasar.
"Ikut aku," suara Alina terdengar tegas.
Nara terkejut, tapi sebelum ia bisa menolak, Alina sudah menariknya ke area parkiran yang sepi. Beberapa teman Alina sudah menunggu di sana.
"Ada apa ini, Kak?" tanya Nara dengan hati-hati.
Alina melipat tangan di dada dan menatap Nara penuh kebencian. "Aku sudah memperingatkanmu, Nara. Tapi kamu tetap saja mendekati Zian."
Nara menggeleng. "Aku enggak pernah punya niat seperti itu, Kak. Aku hanya—"
"BERHENTI MENGGUNAKAN ALASAN ITU!" teriak Alina, membuat Nara terlonjak kaget.
Beberapa teman Alina tersenyum sinis, seolah menikmati situasi ini.
"Aku sudah cukup sabar, Nara. Sekarang, aku akan memastikan kamu enggak akan dekat lagi sama Zian!"
Salah satu teman Alina maju selangkah, seakan siap melakukan sesuatu pada Nara. Jantung Nara berdegup kencang. Ia tahu ia dalam bahaya.
Tapi sebelum apa pun terjadi—
"ALINA!"
Suara itu menggema, membuat semua orang menoleh.
Zian berdiri di sana bersama Reza. Wajahnya penuh amarah. Ia langsung berjalan cepat ke arah mereka dan berdiri di depan Nara, melindunginya.
"Apa yang kalian lakukan?" suara Zian terdengar dingin dan berbahaya.
Alina terdiam, tidak menyangka Zian akan muncul. "Zian, aku…"
"Pergi," potong Zian tegas.
"Tapi aku—"
"SEKARANG!"
Alina menelan ludah. Ia tidak pernah melihat Zian semarah ini. Dengan wajah penuh kekesalan, ia melirik Nara untuk terakhir kalinya sebelum berbalik pergi bersama teman-temannya.
Begitu mereka pergi, Zian berbalik menghadap Nara.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir.
Nara mengangguk pelan, meskipun tubuhnya masih gemetar.
Reza yang sejak tadi diam ikut bersuara, "Gila, Alina sudah kelewatan. Untung gue sama Zian lihat kalian tadi."
Zian mengepalkan tangannya. "Aku enggak akan tinggal diam kalau dia berani macam-macam lagi."
Nara menatap Zian, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terlindungi.
Bersambung