“Alah, pokoknya awas yah Nara, kalau sampai aku melihat kamu berbohong lagi. Kamu akan tahu akibatnya.” ancam Alina yang kemudian meninggalkan Nara yang lelah dengan prasangka buruk dan selalu menyudutkan dirinya.
Reza yang tak sengaja lewat pun, akhirnya memergoki Alina yang sedang mengancam Nara. Dia langsung bergegas melaporkannya pada Zian.
“Apa? Alina benar benar keterlaluan.” teriak Zian menggebrak meja.
“Tapi gue minta lo bicara baik baik pada Alina, bagaimana pun dia itu perempuan.”
“Kita lihat nanti.” Zian duduk dengan hati yang tak tenang menunggu Alina masuk ke dalam kelas. Tadinya dia ingin menghampiri Alina ke taman belakang sekolah saat ini juga, namun dia tidak ingin jika dia harus memperingatkan Alina di depan Nara langsung.
“Apa yang kamu lakukan pada Nara?” tanya Zian saat Alina baru saja duduk di kursinya, Zian berbicara dengan nada tegas di depan banyak siswa. Dan keduanya kini menjadi pusat perhatian murid di kelas tersebut.
“Apa maksud kamu, Zian ?” tanya Alina dengan wajah pura-pura tidak tahu padahal jantungnya berdegup kencang.
“Berhenti mengganggu Nara. Dan jangan pernah mengancam apapun pada Nara,” ujar Zian sambil menatap Alina dengan tajam.
Alina terdiam, wajahnya memerah karena malu. Semua orang yang mendengar percakapan itu mulai berbisik-bisik.
“Kenapa kamu membelanya terus, Zian ? Apa dia lebih penting daripada aku?” tanya Alina dengan suara gemetar.
“Ini bukan tentang siapa yang lebih penting. Aku hanya tidak suka melihat orang diperlakukan tidak adil, apalagi oleh temanku sendiri,” jawab Zian dengan tegas.
“Apa? oh jadi selama ini kamu memang menganggap aku hanya sebagai teman?” nada bicara Alina sedikit tinggi. Kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Zian sangat menyakiti hatinya. Padahal selama ini dia sudah menunjukan sikap sukanya, namun sepertinya itu tidak membawa pengrauh apapun.
“Tentu saja, sejak dari dulu aku hanya menganggap kamu teman biasa Alina dan tidak lebih.”
Tangan Alina mengepal keras, dia sangat marah. Penolakan yang dilakukan Zioa tepat di hadapan teman temannya jelas membuat dirinya merasa sangat malu.
“Kamu tega Zian, kamu tega.” teriak Alina sambil menghentakan kedua kakinya secara bergantian ke atas lantai sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan Zian karena rasa kecewanya.
Setelah kejadian itu, suasana di kelas XI-5 menjadi semakin tegang. Alina yang merasa dipermalukan di depan banyak orang oleh Zian tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia diperlakukan demikian. Meski wajahnya menunjukkan ketegangan, ia berusaha untuk menyembunyikan perasaannya di hadapan teman-temannya. Namun, dalam hatinya, cemburu dan amarahnya terhadap Nara semakin memuncak.
Suatu hari, Nara sedang berjalan menuju perpustakaan setelah jam pelajaran. Ketika ia memasuki ruang perpustakaan, ia melihat Zian sedang duduk di meja dekat jendela, membaca buku.
Dan ternyata keberadaan Zian disana, mengurungkan niat Nara yang ingin menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan tersebut. Dia tidak ingin, kedekatannya dengan Zian akan semakin menimbulkan kesalah pahaman di mata Alina. Meski dia ingin sekali menyapa Zian, namun dia harus mengurungkan niatnya tersebut. Dengan langkah yang perlahan, dia mulai membalikan badannya berniat untuk kembali ke dalam kelas.
“Lo Nara kan?” suara itu mengejutkan Nara yang sudah susah payah berusaha tak bersuara. Dan dia pun terpaksa berhenti. Dan juga rupanya suara seseorang yang memanggil namanya mampu membuyarkan konsentrasi Zian yang tengah serius membaca sebuah buku tentang Geografi.
“Nara?” katanya senang.
“Emmm maaf, kakak siapa yah?apa kita saling mengenal?” Nara cukup bingung dengan seorang pria yang mengetahui namanya, padahal dia belum terlalu banyak mengenal siswa maupun siswi di sekolah tersebut.
“Gue Reza, sahabat Zian.” kata Reza yang baru kali ini bertemu lebih dekat dengan Nara, gadis yang sering Zian ceritakan. Dan ternyata di mata Reza, Nara memang mempunyai wajah yang cukup cantik, putih, tinggi semampai dengan rambut hitam yang tergerai indah.
“Oh, ha-halo kak.” jawab Nara gugup.
“Nara? kamu mau kemana?” tanya Zian yang sudah diantara keduanya, bahkan dia sempat mendorong tubuh Reza agar menjauh dari Nara.
“Wow, sabar bro, gue cuma mau kenalan sama dia.” kata Reza yang semakin yakin kalau Zian memang menyukai Nara.
Zian melirik ke arah Reza, lalu memberi kode agar Reza pergi dari hadapan mereka berdua.
Bocah sialan, geram Reza dalam hatinya. Mau tak mau dia pun pergi dari tempat tersebut.
“Mau baca buku?” tanya Zian yang berbinar dengan kehadiran Nara disana. Dia memang sengaja menunggu Nara disana.
“Enggak kak, kayaknya aku harus kembali ke kelas deh.” sahut Nara sudah akan berbalik namun ditahan oleh Zian.
“Nara, tunggu.” jantung Nara berdebar lebih kencang saat Zian menahan tangannya.
“Ada apa lagi kak?” tanya Naya tak kuasa menatap kedua mata Zian.
“Kamu sedang tidak menghindar dari aku kan?”
Bersambung