Keesokan harinya, suasana SMA Harapan Jaya kembali dipenuhi oleh suara canda tawa siswa. Pagi itu, Nara tiba sedikit lebih awal dari biasanya. Ia sengaja datang untuk menghindari keramaian di gerbang sekolah. Dengan langkah ringan, ia berjalan melewati taman kecil yang ada di samping lapangan basket. Matahari pagi memancarkan cahaya hangat, membuat bunga-bunga di taman terlihat lebih cerah.
Saat ia melangkah menuju kelas, tiba-tiba ia mendengar suara bola basket memantul. Ia menoleh dan melihat seseorang sedang berlatih di lapangan. Pemuda itu adalah Zian. Keringat membasahi pelipisnya, namun senyum tipis masih menghiasi wajahnya setiap kali bola masuk ke dalam ring.
Nara berhenti sejenak, tak sadar bahwa ia sedang memperhatikan Zian. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya, apa yang membuat pemuda itu terlihat begitu percaya diri? Baru saja ia hendak melanjutkan langkahnya, Zian melihat ke arahnya dan melambaikan tangan.
“Nara!” panggil Zian sambil menghentikan latihannya.
Nara sedikit terkejut, tetapi akhirnya membalas dengan melambaikan tangan. Zian berjalan menghampirinya sambil membawa bola basket di tangan kanannya.
“Pagi-pagi sudah di sini. Tumben?” tanya Zian dengan senyum ramah.
Nara mengangkat bahu. “Cuma ingin datang lebih awal aja kak. Kebetulan lewat sini, lihat Kak Zian lagi latihan.”
“Kamu rajin juga yah? padahal ini masih pagi banget loh.” ujar Zian meilirk sekilas arloji miliknya.
Nara tersenyum tipis. “Kak Zian terlalu berlebihan, kebetulan tadi aku berangkat lebih awal dari rumah karena aku kira akan macet. Tapi ternyata jalanan sangat kosong. Oia kak Zian tiap pagi latihan di sini?”
“Iya, sekalian pemanasan sebelum kelas. Kamu mau coba main?” Zian mengulurkan bola basket ke arah Nara.
Nara menggeleng cepat. “Oh, enggak deh kak, makasih, aku gak bisa main basket.”
Zian tertawa ringan. “Santai aja, aku ajarin. Cuma lempar bola ke ring kok. Mau yah?”
Nara ragu sejenak, tapi akhirnya ia mengangguk. “Baiklah, tapi jangan salahkan aku kalau bolanya malah keluar lapangan yah kak.”
Zian tersenyum lebar. “Oke, aku janji.”
Ia mengarahkan Nara ke lapangan dan mulai menjelaskan cara memegang bola dengan benar. “Coba pegang bolanya begini, lalu pandang ring. Jangan terlalu tegang. Rasakan alurnya, dan lempar.”
Nara mencoba mengikuti instruksi Zian. Dengan penuh konsentrasi, ia mengangkat bola dan melemparkannya ke arah ring. Sayangnya, bola meleset jauh ke samping.
"Yaahh..." Nara mengerucutkan bibirnya.
Zian tertawa kecil. “Tidak apa-apa, namanya juga baru pertama. Coba lagi yah?”
"Enggak usah deh kak, aku udah bilang kan kalau aku gak bisa."
"Gak ada salahnya kan coba lagi, siapa tahu kali ini berhasil."
Mereka menghabiskan beberapa menit dengan latihan sederhana. Setiap kali Nara gagal, Zian memberikan semangat sambil menunjukkan teknik yang lebih baik. Hingga akhirnya, di lemparan ketiga, bola berhasil masuk ke dalam ring.
“Wow! Aku berhasil!” seru Nara dengan mata berbinar.
Zian tersenyum lebar. “Bagus! Aku bilang kan, kamu pasti bisa.”
Keduanya tertawa bersama. Bagi Nara, momen itu terasa sangat menyenangkan. Ia merasa nyaman berada di dekat Zian, meskipun mereka baru saja saling mengenal. Namun sepertinya Zian merupakan kakak kelas yang cukup asyik dan juga ramah.
Saat bel sekolah berbunyi, mereka berpisah untuk masuk ke kelas masing-masing.
“Udah bel, aku ke kelas dulu yah kak. Makasih loh udah ngajarin aku.” ucap Nara.
“Sama sama, lain kali aku ngajarin kamu lagi.” jawab Zian sambil tersenyum senang. Dan Nara tidak bisa berhenti tersenyum sepanjang hari. Ia merasa pertemuannya dengan Zian di pagi itu memberikan energi positif yang membuatnya lebih semangat.
Di sisi lain, Zian juga merasakan hal yang sama. Sepanjang pelajaran, ia sering teringat bagaimana Nara tertawa saat akhirnya berhasil memasukkan bola ke ring. Ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya ingin lebih sering berinteraksi dengannya.
Setelah pelajaran usai, Zian memutuskan untuk berbicara dengan Reza, sahabat dekatnya. Mereka berdua sedang duduk di kantin, menikmati minuman dingin setelah latihan basket.
“Za, lo ingat gadis yang gue lihat kemarin?” tanya Zian tiba-tiba.
Reza mengerutkan dahi, mencoba mengingat. “Yang mana? jadi bener kan tebakan gue kemarin, lo emang merhatiin tuh anak anak baru?”
Zian mengangguk. “Iya, namanya Nara."
Reza tersenyum jahil. “Wah, udah kenalan aja nih. Baru dua hari, lo udah dekat sama anak baru. Seriusan lo tertarik?”
Zian mengangkat bahu, lalu tersenyum kecil. “Gue nggak tahu Za, tapi gue ngerasa tuh cewek beda aja."
“Duh, klasik banget sih. Tiap kali lo suka sama cewek, lo selalu bilang ‘dia beda,’” goda Reza sambil tertawa.
"Ah sialan lo, kapan gue suka sama cewek?" sahut Zian menyeruput jus jeruk di hadapannya.
"Ah iya gue lupa, lebih tepatnya, cewek cewek yang ngejar lo." Zian tak menyahuti ucapan Reza lagi, entah kenapa dia malah memikirkan Nara.
Sore itu, setelah semua kegiatan selesai, Nara memutuskan untuk mampir ke perpustakaan sekolah. Sebagai seseorang yang mencintai buku, perpustakaan selalu menjadi tempat favoritnya. Di sana, ia bisa merasa tenang dan bebas menjelajahi dunia melalui halaman-halaman buku.
Ketika ia sedang memilih buku di rak, sebuah suara menyapanya dari belakang.
“Nara, disini juga? mau nyari buku?”
Nara menoleh dan melihat Zian berdiri di sana dengan senyum ramah.
“Kak Zian? ah iya kak. Kak Zian sendiri?” tanyanya, terkejut.
Zian tertawa. “Kebetulan lewat. Aku sekalian mau minjem buku matematika juga sih. Oia kamu sedang apa?”
Nara mengangguk pelan. “Oh begitu? Kalau aku lagi cari novel baru. Katanya koleksi perpustakaan ini bagus.”
“Kalau gitu, aku bantu cari,” kata Zian sambil melangkah mendekati rak. Ingin rasanya menolak, namun Nara merasa tak tega. Apalagi saat melihat Zian, dia terlihat sangat tulus.
"Tapi buku kak Zian?"
"Gampang, bisa nanti setelah buku buat kamu ketemu."
“Emmm, baiklah.”
Mereka berdua mulai mencari buku bersama. Nara terkejut melihat bahwa Zian ternyata cukup akrab dengan koleksi buku di perpustakaan.
“Kakak sering baca juga?” tanya Nara penasaran.
Zian tersenyum. “Dulu iya, waktu SMP. Tapi sejak masuk SMA, waktu luangku lebih banyak habis buat basket.”
“Wah, berarti aku harus sering-sering ngajak Kak Zian ke sini biar ingat kebiasaan lama,” kata Nara sambil tersenyum.
Obrolan mereka mengalir begitu saja, tanpa terasa waktu sudah cukup sore. Setelah menemukan buku yang diinginkan, mereka keluar bersama.
“Nara, kira kira, ada gak satu tempat di sekolah ini yang belum kamu kunjungi?” tanya Zian sambil berjalan di sampingnya.
Nara mengerutkan dahi, mencoba berpikir. “Hmm, kayaknya sudah semua deh. Memangnya kenapa kak?”
“Aku tahu tempat yang bagus. Kalau kamu mau, aku bisa tunjukin dan aku yakin kamu belum tahu tempat itu.”
Meskipun sedikit ragu, Nara akhirnya mengangguk. “Baiklah, tapi jangan lama-lama ya.”
Zian membawa Nara ke sebuah sudut sekolah yang jarang dilewati siswa. Di sana, ada sebuah taman kecil dengan bangku kayu di bawah pohon rindang. Tempat itu terasa sangat tenang, jauh dari keramaian sekolah.
“Wah, tempatnya indah sekali,” kata Nara dengan mata berbinar.
“Aku sering ke sini kalau butuh waktu sendiri,” ujar Zian sambil duduk di salah satu bangku.
Nara ikut duduk di sebelahnya. Dan mereka pun mulai mengobrol hal hal kecil yang terdengar ringan, tapi cukup membuat keduanya larut dalam obrolan tersebut.
Dan matahari pun perlahan mulai tenggelam, menyinari wajah mereka dengan cahaya keemasan. Nara melirik sekilas jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
"Kak, udah sore, aku pulang duluan yah." kata Nara merapikan tas miliknya.
"Mau aku antar?"
Bersambung