Warung mi ayam bakso Pak Aji sangat terkenal di desa Wonoasri. Rasanya yang khas dengan tambahan bumbu rempah, kuah kental, dan bakso kenyal menjadi makanan favorit para pelanggannya. Tak peduli siang atau malam, pelanggan selalu datang ke warungnya silih berganti.
Suatu hari di malam Jumat Kliwon, suasana di sekitar warung sepi karena hujan rintik yang turun sejak maghrib. Angin malam mendesir pelan, membawa aroma tanah basah. Lampu kuning redup menerangi warung Pak Aji, menciptakan bayangan dirinya yang tengah membersihkan mangkok-mangkoknya di dinding.
Seorang pemuda bernama Parman masuk ke warung itu sambil mengibas jaketnya yang basah. “Pak, mi ayam bakso satu ya,” katanya sambil duduk di pojokan.
Pak Aji, seorang pria paruh baya dengan mata cekung dan senyum tipis, menatap Parman sesaat sebelum mengangguk. Tangannya bergerak cekatan, mengisi mangkuk dengan mi, bakso, dan kuah kental yang panas. Dari sudut mata, ia terus mengamati Parman, seperti sedang menilai sesuatu.
“Maaf Mas kalau pertanyaan saya agak lancang, tapi apa Masnya warga baru di desa ini?” tanya Pak Aji, suaranya pelan tetapi terdengar jelas di tengah keheningan warung.
“Iya, Pak. Saya baru pindah dua minggu lalu karena mutasi dari tempat kerja di ibukota. Kebetulan pulang dari pabrik malah hujan dan lapar, jadi begitu lihat ada warung mi ayam masih buka jadi saya mampir, deh,” jawab Parman santai.
Pak Aji tersenyum samar. “Oh begitu, rezeki saya, ya, Masnya bisa mampir. Oh iya, Mas pindah ke desa ini sama orangtua atau pasangan?”
Parman mengernyit, sedikit heran dengan pertanyaan itu. “Sendiri aja, Pak. Orangtua udah lama meninggal, dan saya belum menikah.”
Pak Aji mengangguk perlahan, lalu kembali sibuk dengan mangkuk di depannya. Tanpa sepengetahuan Parman, Pak Aji memasukkan sesuatu ke dalam kuah mi ayamnya.
“Monggo, mi ayamnya. Semoga cocok sama selera Mas,” ucap Pak Aji dengan tersenyum.
Parman membalas senyum dan mulai makan. “Wah, ini enak banget, Pak. Tapi rasanya kayak sedikit berbeda, ya dari mi ayam biasa. Ada bumbu khusus, ya Pak?”
Pak Aji hanya tertawa kecil. “Iya, Mas, saya ngikuti resep almarhum bapak saya. Bisa dibilang resep rahasia turun-temurun.”
Hujan di luar semakin deras. Waktu terus berjalan, hingga jam dinding menunjukkan pukul 11 malam. Parman yang sebenarnya mulai merasa kenyang masih menyeruput kuah di mangkuknya hingga tak tersisa. Pak Aji, yang biasanya sibuk melayani pelanggan lain, karena sepi kini hanya berdiri di belakang gerobaknya, matanya sesekali melirik ke arah Parman.
“Apa ndak takut Mas, pulang sampe larut malam begini apalagi ini malam Jum'at kliwon. Malamnya para demit bebas berkeliaran.” tanya Pak Aji tiba-tiba.
Parman menggelengkan kepalanya dengan mantap. “Enggak, Pak. Saya lebih takut enggak punya uang dan dibegal di tengah jalan.” Parman meminggirkan mangkok dan gelasnya yang telah kosong. “Lagipula, malam Jum'at Kliwon itu malam kelahiran saya, Pak. Walaupun bukan tanggal lahir saya, tapi wetonnya mengiringi kelahiran saya di dunia ini.” Parman tersenyum kemudian berdiri mendekati Pak Aji untuk membayar pesanannya.
“Terima kasih,” ucap Pak Aji sambil menyerahkan kembalian. Parman melenggang pergi dengan motornya, menerobos derasnya hujan di luar.
Pak Aji terdiam sejenak. Wajahnya yang semula tenang kini berubah serius. Ia menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
“Sial sekali,” ucapnya pelan.
---
Tepat pukul 12 malam, Parman yang baru saja tiba di kontrakannya merasa tubuhnya mendadak berat. Napasnya tersengal. Keringat dingin membasahi wajahnya. Ia berusaha mengambil ponsel dari saku untuk meminta pertolongan namun naas ia malah terpeleset hingga jatuh ke lantai. Kedua matanya melotot, menyiratkan rasa sakit yang hebat.
Beberapa saat kemudian, sebuah bayangan hitam muncul di sudut ruang tamu. Perlahan, sosok itu semakin jelas—kurus seperti ranting pohon, dengan kulit abu-abu yang robek di sana-sini, dengan kepala dihiasi dua tanduk dengan ujungnya yang runcing. Matanya merah menyala, di tangan kirinya membawa mangkuk besar berisi cairan hitam pekat.
“Selamat datang, wahai jiwa yang terpilih,” suara sosok itu serak.
Parman berusaha berteriak, tapi suaranya tak keluar. Tubuhnya membeku, seiring bayangan itu mendekat ke arahnya. Sosok itu membesar dan menyebarkan asap hitam hingga menyelimuti tubuh Parman. Segalanya berubah menjadi gelap.
---
Di warung, Pak Aji duduk di kursi tua, tatapannya kosong ke arah satu mangkuk dan gelas yang belum dicuci. Dalam hatinya, ia mengucap maaf karena telah memasukian ramuan rahasia kepada Parman untuk menandainya sebagai tumbal dari pesugihan yang dijalankannya.
Angin dingin tiba-tiba menyapu warung. Lampu warung yang temaram berkelap-kelip. Lalu, suara berat terdengar dari belakang tubuhnya.
“Aji...”
Pak Aji mendongak perlahan. Di depannya berdiri Kala Dhana, iblis pesugihan yang telah memberinya kekayaan selama ini. Ia membawa mangkuk besar di tangannya.
“Perjanjian kita selesai. Waktumu telah habis,” ucap Kala Dhana.
Pak Aji berdiri dari kursinya, tubuhnya gemetar. “T-tapi, kenapa... saya sudah memberikan tumbal seperti yang kau minta!”
Kala Dhana tertawa keras. “Aku tidak lagi menginginkan jiwa para tumbalmu. Aku menginginkan jiwa yang terakhir, yaitu kau, Aji!”
Pak Aji ingin lari, tapi tubuhnya terasa terkunci di tempat. Kala Dhana mendekat, kemudian mencekik leher Pak Aji dengan sangat kuat hingga ia memuntahkan darah dan mengisi mangkuk besar di tangan kirinya.
Tepat pukul 7 pagi, tubuh Pak Aji ditemukan tergeletak di lantai warung oleh salah satu pelanggannya. Wajahnya membiru, lidahnya menjulur keluar-menampakkan aliran darah, serta kedua matanya melotot hingga seolah bola matanya akan keluar.
Warung itu pun akhirnya tutup selamanya, karena tidak ada penerus. Istri Pak Aji sudah meninggal setahun lalu sedangkan ketiga anaknya diasuh oleh kerabatnya di luar kota.