Aziz adalah seorang fotografer jalanan yang terbiasa mengabadikan sisi kehidupan malam kota. Ia menjual hasil jepretannya itu melalui situs penjualan foto, dan menjadikan hobinya sebagai sumber penghidupan.
Suatu malam, saat berjalan menyusuri gang-gang kecil yang remang, langkahnya terhenti oleh sebuah pemandangan yang tidak biasa. Di ujung gang, seorang perempuan berbaju merah tampak bertengkar sengit dengan seorang laki-laki. Wajahnya penuh emosi, tetapi suaranya terdengar putus asa. Aziz, dengan insting fotografernya mulai mengangkat kamera dan memotret. Ia menangkap momen ketika si laki-laki mendorong perempuan itu hingga tersungkur. Perempuan tersebut menangis dan masih memohon, namun si laki-laki malah melayangkan tamparan ke wajahnya.
Melihat kekerasan itu, Aziz merasa tidak bisa terus berdiam diri. Ia keluar dari tempat persembunyiannya sambil mengacungkan kamera. "Berhenti, atau fotomu akan tersebar di media sosial!" tegur Aziz dengan suara yang lantang.
Laki-laki itu terdiam sejenak, menatap Aziz dengan penuh amarah. Namun, setelah beberapa detik, ia memilih pergi tanpa sepatah kata pun. Perempuan itu, yang masih menangis sambil duduk di lantai gang, mendongak ke arah Aziz.
"Terima kasih, Mas. Kalau tidak ada Mas, saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada saya," ucapnya dengan terbata-bata.
Aziz tersenyum tipis sambil mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Perempuan bernama Mira itu meminta bertukar kontak agar ia bisa membantu saat Aziz membutuhkannya sebagai ucapan terima kasih. Tanpa curiga, Aziz memberikan nomornya dan merasa telah melakukan hal yang benar, meski tidak tahu bahwa tindakannya itu akan mengubah hidupnya.
---
Setelah kejadian itu, Mira mulai sering menghubungi Aziz. Awalnya, ia hanya mengirim pesan berterima kasih. Namun, lama-lama Mira mulai muncul di sekitar Aziz, bahkan mendadak tahu alamat rumahnya.
"Mas, ini hanya tanda terima kasih kecil," katanya suatu hari dengan membawa makanan ke rumah Aziz.
Aziz menerima dengan sopan, tetapi mulai merasa risih saat Mira mengulanginya beberapa kali. Ketika Aziz mencoba menjelaskan bahwa sikapnya itu berlebihan, Mira hanya tersenyum. "Mas adalah orang baik. Saya hanya ingin memastikan Mas tahu betapa saya menghargai pertolongan Mas malam itu."
"Mira, saya mengerti keinginan kamu membalas tindakan saya malam itu, tapi tolong hentikan semua ini," kata Aziz dengan tegas karena mulai merasa gelisah dan takut. "Saya tidak nyaman."
Namun, Mira hanya tersenyum kecil. "Mas hanya belum terbiasa. Tapi, maaf saya tidak bisa meninggalkan Mas. Saya merasa harus tetap di sekitar Mas Aziz, berjaga-jaga kalau suatu saat saya dibutuhkan."
"Mira, saya bisa mengurus urusan saya sendiri," ucap Aziz yang mulai tidak bisa bersabar dengan segala alasan Mira untuk tetap di sekitarnya.
Mira tidak lagi menjawab perkataan Aziz, dan memilih meninggalkan rumahnya dengan senyumnya yang misterius. Aziz menghela napas panjang seraya menutup pintu rumah. Makanan yang dibawakan oleh Mira, dibuang ke tempat sampah di dapur.
---
Suatu malam, tepat pukul 12, Mira datang ke rumah Aziz dan mengetuk pintu dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak gusar. Saat pintu dibuka, Mira langsung berbicara dengan nada penuh emosi. "Mas, tolong jangan suruh saya pergi. Saya tidak punya siapa-siapa lagi. Mas satu-satunya orang yang peduli!"
Sikapnya itu dilatarbelakangi oleh pesan singkat yang dikirimkan oleh Aziz, yang memintanya tidak lagi mendatangi rumah dan menghubunginya. Tanpa menunggu balasan, Aziz memblokir seluruh akses komunikasi antara dirinya dan Mira.
Aziz menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. "Mira, dengarkan saya. Saya hanya mencoba membantu waktu itu. Tidak ada alasan bagimu untuk terus muncul di hidup saya. Jadi, tolong, pergilah."
Namun, alih-alih mengerti, Mira justru terdiam. Air matanya berhenti mengalir dan berganti dengan senyuman yang aneh. "Mas boleh berkata begitu, tapi saya tahu Mas sebenarnya tidak tega, kan? Mas orang baik, dan saya tidak akan menyerah. Percayalah, Mas hanya perlu waktu untuk menerima saya."
Aziz merasa bulu kuduknya meremang. Ia segera menutup pintu, melalui celah tirai ia bisa melihat Mira tetap berdiri di sana, dengan tatapan yang tak lepas darinya.
Malam itu, Aziz menyadari satu hal: Mira bukan sekadar berterima kasih, tetapi memiliki obsesi yang tak biasa. Mungkin malam itu, laki-laki yang memukulinya mengalami hal yang sama dan kini, Mira menjadikan dirinya sebagai pusat dari dunia yang ia ciptakan sendiri.