Ardian adalah seorang jurnalis muda yang dikenal gigih dan berani. Karirnya sedang menanjak setelah berhasil membongkar kasus korupsi besar beberapa bulan lalu. Beberapa kali ia juga mengisi program televisi untuk diwawancarai mengenai sepak terjangnya membongkar kasus korupsi tersebut.
Siang itu, Pak Dimas, redaktur senior yang dihormati di kantor majalah investigasi, memanggil Ardian ke ruangannya. Di atas meja, terdapat ponsel dengan aplikasi Google Maps terbuka, menampilkan koordinat di tengah hutan yang tak bernama.
“Ardian, saya punya tugas besar untukmu,” ujar Pak Dimas dengan nada serius. “Ini berbahaya, tapi kalau berhasil, kamu akan kembali membuat gebrakan dalam dunia jurnalistik.”
“Bahaya bagaimana, Pak?” tanya Ardian, matanya menyipit memandangi layar ponsel.
“Penyelidikan kali ini tentang sebuah desa terpencil yang tidak tercatat di peta resmi. Lokasinya ada di koordinat ini,” jelas Pak Dimas sambil menunjuk titik lokasi pada ponselnya. “Desa itu bernama Tirtaungker, katanya dihuni oleh sekte yang melakukan ritual gelap. Orang luar jarang sekali masuk ke sana, tapi jika ada yang berhasil melaporkan apa yang terjadi di sana, ini bisa menjadi berita yang besar.” Nadanya terdengar antusias.
Pak Dimas menyerahkan dokumen tambahan—catatan tentang desa dan sekte tersebut. Salah satu catatan berbunyi: “Tumbal manusia diperlukan setiap tahun untuk memperbarui kemakmuran Desa Tirtaungker.”
“Bapak dapat info aneh seperti ini dari mana?” tanya Ardian, merasa ada sesuatu yang janggal.
“Jadi, kemarin malam ada email masuk dari akun anonim. Sayangnya, saat saya balas akun anonim itu, email itu sudah tidak aktif. Dia mengirimkan semua info ini, dan menurut saya infonya sudah sangat detail,” terang Pak Dimas.
“Lalu, kenapa memilih saya? Kenapa bukan jurnalis senior?”
Pak Dimas menatapnya dengan senyum kecil. “Kamu adalah jurnalis terbaik saat ini. Instingmu sangat bagus, dan tulisanmu apa adanya--tidak bertele-tele. Setelah kasus korupsi kemarin, saya yakin kamu bisa menangani kasus kali ini. Lagi pula, ini kesempatan besar untuk karirmu.”
Ardian, meski masih ragu, akhirnya setuju. Ambisinya untuk membuat liputan besar mengalahkan keraguannya. Ia tidak tahu bahwa tugasnya kali ini akan membawanya pada peristiwa yang tak terbayangkan.
---
Ardian berangkat menuju Desa Tirtaungker mengikuti petunjuk Google Maps. Perjalanannya dimulai dari Desa Gumantara, sebuah desa kecil yang sunyi, yang akan membawanya ke jalur menuju hutan. Penduduk Gumantara memandangnya dengan tatapan aneh.
Karena merasa lelah setelah menempuh perjalanan 8 jam dari kota, Arief memutuskan beristirahat di sebuah warung yang bangunannya terbuat dari bilik bambu, beratapkan seng seadanya.
“Maaf, Masnya mau ke mana dan dari mana?” tanya pemilik warung.
“Saya mau ke Desa Tirtaungker, Bu. Saya jurnalis yang datang dari ibukota, dapat tugas meliput di sana. Kira-kira kalau dari sini, perjalanan akan memakan berapa lama, ya Bu?” jawab Ardian, menerima segelas kopi pesanannya.
Ibu pemilik warung nampak kaget dengan tujuan Ardian. “Mas, kalau saya boleh sarankan lebih baik urungkan saja niat ke desa itu. Penduduknya serem, ada kabar beredar kalau warga di sana pengikut sekte sesat.”
“Justru itu yang jadi alasan saya datang, Bu,” jawab Ardian dengan santai, karena lapar ia menyambar pisang goreng dari piring tempat gorengan yang sengaja disediakan oleh si pemilik warung.
“Haduh, pokoknya Mas, hati-hati ya kalau udah di desa itu. Jangan lama-lama,” ujar si pemilik warung sambil menatap Ardian dengan iba. “Konon, enggak semua orang bisa kembali.”
Ardian mengabaikan peringatan itu kemudian membayar kopi serta gorengan yang disantapnya. Dengan tekad kuat, ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati jalur hutan yang terjal dan penuh rintangan. Namun, semakin jauh ia masuk ke dalam hutan, perasaan tidak nyaman mulai menghantuinya. Aplikasi Google Maps yang awalnya menunjukkan jalur tiba-tiba berhenti bekerja, layar berubah putih.
Ardian hampir menyerah, tetapi akhirnya ia menemukan tanda-tanda desa itu: dua pohon besar dengan ujung agak melengkung, seolah menggambarkan sebuah gerbang, sesuai dengan yang disebutkan dalam catatan yang diberikan Pak Dimas. Ia lalu melanjutkan perjalanan hingga tiba di desa kecil yang sunyi.
Penduduk desa yang melihat kedatangannya, menyambutnya dengan senyuman ramah dan wajah yang tenang. Ardian belum menemukan keanehan. Ia lalu bertemu dengan kepala desa, Pak Djoko. Setelah mendengar alasan kedatangan Ardian, Pak Djoko mempersilakan Ardian tinggal di sebuah rumah kecil di pinggir desa.
“Banyak sekali berita yang salah tentang desa kami. Semoga dengan kedatangan Pak Ardian, bisa meluruskan kesalahpahaman informasi yang beredar tentang desa kami,” kata Pak Djoko dengan nada lembut.
Setelah selesai merapikan barang di rumah yang dipilihkan Pak Djoko, dan beristirahat sebentar, Ardian memutuskan keluar untuk mencari informasi. Ia mencoba bertanya pada beberapa penduduk, tetapi setiap kali ia menanyakan keberadaan sekte dan ritual di desa, mereka seolah menghindar dengan mengumbar senyum palsu.
“Kabar itu bohong, Pak,” ucap salah satu warga, kemudian pergi begitu saja. Sikap tertutup yang ditunjukkan oleh para warga membuat Ardian semakin penasaran, seolah-olah memang ada rahasia besar yang mereka sembunyikan.
---
Keesokan paginya, Ardian mulai menjelajahi desa dengan kameranya. Ia mencoba mengambil gambar sebuah pohon beringin besar yang batang pohonnya dililitkan kain hitam. Di bawah pohon terdapat banyak makam berbatu nisan tanpa nama dan dililitkan selendang hitam yang sama.
Saat sedang fokus memotret, seorang penduduk desa tiba-tiba muncul, dan menegurnya. “Maaf, Pak, jangan sembarangan difoto! Kami punya beberapa peraturan tentang tempat-tempat yang boleh didokumentasi,” kata seorang wanita paruh baya yang kebetulan lewat dan melihat kegiatan Ardian.
“Alasannya kenapa, ya, Bu? Padahal pohon ini cukup unik,” jawabnya.
“Sebaiknya jangan, Pak. Demi kebaikan Pak Ardian sendiri,” ucap ibu itu, tersenyum lebar yang terasa palsu. Ia kemudian pergi meninggalkan Ardian yang merasa kebingungan.
Ketika matahari mulai tenggelam, Ardian menemukan sebuah jalan setapak kecil yang tampaknya jarang dilalui. Terlihat dari rerumputan yang tumbuh liar dan hampir menutupi jalan itu. Ketika disusuri, jalan setapak itu membawanya ke sebuah lapangan terbuka di tengah hutan, dan ia menemukan dua altar batu besar. Permukaan batu-batu itu terukir gambar dan aksara Jawa kuno. Ia juga melihat bercak-bercak merah kecoklatan yang sudah mengering di atas sebuah batu panjang yang diposisikan seperti tempat tidur. Hatinya mulai berdegup kencang. Ia mengira, mungkin inilah bukti yang ia cari!
Ketika Ardian hendak memotret dan menyelidiki lebih jauh, terdengar beberapa suara langkah kaki menyusul di belakangnya. Ardian berbalik, dan melihat beberapa pria desa berdiri di sana dengan raut kesal dan menatapnya dengan mata dingin.
“Tempat ini terlarang,” kata salah satu dari mereka. “Tolong, Pak Ardian kembali ke desa sekarang.”
Ardian mencoba menolak dengan dalih sudah mendapat izin dari Pak Djoko, tetapi mereka tidak menghiraukannya dan membawanya kembali ke desa dengan paksa.
Sesampainya di rumah, Ardian melempar tasnya ke atas tempat tidur kemudian berbaring. Ia kesal dengan sikap para warga yang terus-terusan menghalangi penyelidikannya.
“Katanya berita simpang siur itu sebuah kebohongan, tapi sikap mereka malah makin mencurigakan,” gumam Ardian, “Pasti ada yang enggak beres dengan desa ini.” Tak lama, Ardian terlelap tidur karena terlalu lelah menjalani hari itu.
---
Di malam ketiga, tepat jam 12 malam Jum’at Kliwon, Ardian merasakan keanehan. Ia mendengar suara nyanyian, diikuti dengan bunyi genderang yang menggema. Ia memutuskan untuk mengikuti suara itu hingga melewati jalan setapak menuju lapangan. Sambil jalan berjongkok, ia melihat sekumpulan penduduk sedang berkumpul, membuat lingkaran dan bernyanyi dengan bahasa yang ia tidak mengerti. Mereka seolah-olah sedang melakukan upacara.
Di antara dua batu altar, Pak Djoko berdiri dan seakan menjadi pemimpin upacara tersebut. Di atas batu altar, terlihat seekor kambing hitam yang telah disembelih lehernya. Darah menetes dari tubuh hewan itu, mengalir hingga menyentuh tanah. Para penduduk tampak khusyuk, dengan nyanyian mereka yang semakin keras.
Ardian mengambil kamera yang dikalungkan di lehernya, memotret momen itu sebanyak-banyaknya. Setelah merasa cukup, ia memutuskan kembali ke rumah tanpa ketahuan warga desa. Namun saat ia keluar dari jalan setapak, langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok yang dikenalnya. Pak Dimas!
“Pak Dimas?” Ardian terkejut. “Apa yang Bapak lakukan di sini?”
Pak Dimas tersenyum dingin. “Kamu sudah menemukan kebenarannya?”
Merasa aneh dengan kemunculan dan gelagat atasannya, Ardian mundur dengan tubuh gemetar. “Pak, jangan-jangan Anda sudah tahu tentang semua ini?”
“Tentu saja,” jawab Pak Dimas dengan tenang. “Saya sengaja membawamu ke sini. Karena kamu adalah tumbal yang kami butuhkan.”
Menyadari dirinya dijebak dan dalam bahaya, Ardian hendak melarikan diri, namun ia tidak menyadari kalau beberapa penduduk desa sudah menyusul dan mengepungnya. Ia ditangkap, tangannya diikat, dan diseret ke batu altar.
“Kenapa saya?!” tanyanya, suaranya penuh kemarahan dan ketakutan.
Pak Dimas mendekat dan menatapnya dingin. “Karena kamu adalah tumbal sempurna yang kami butuhkan. Kecerdasan, kesehatan, ketampanan, keberanian, kekuatan hingga kegigihanmu dibutuhkan untuk sumber kekuatan kami dan hidup saya.”
Kemudian, Ardian dipaksa meminum segelas air berwarna hitam pekat, berbau anyir. Seketika tubuhnya terasa terbakar dari dalam, kepalanya sakit luar biasa. Ardian meronta dan berteriak, namun tak ada yang mempedulikannya, hingga akhirnya ia kehilangan kontrol atas tubuhnya.
Minuman itu adalah racikan khusus yang dibuat oleh Pak Djoko, terbuat dari berbagai macam rempah dicampur dengan darah kambing yang dipersembahkan dan darah ayam cemani hitam. Melalui kuasa Pak Djoko, Pak Dimas meminta Ardian menandatangani selembar surat berisi pernyataan pengunduran diri, dengan alasan mendapat pekerjaan lebih baik. Hal itu dilakukan, agar orang-orang kantor tidak curiga dengan kepergian Ardian yang tiba-tiba, tanpa pamit.
Malam itu, Ardian menjadi tumbal desa. Pisau dihujamkan tepat di jantungnya oleh Pak Djoko. Darahnya dibiarkan memenuhi batu altar, dan seketika memberikan energi baru kepada sekte dan penduduk desa.
---
Pak Dimas kembali ke kota, membawa cerita palsu tentang surat resign yang dikirimkan oleh Ardian ke kantor. Karena keluar masuk karyawan adalah hal yang biasa, maka pihak manajemen pun tak curiga. Barang-barang Ardian yang masih tertinggal di kantor dikirim melalui kurir ke alamat kontrakannya.
Kosongnya salah satu kursi jurnalis, membuat Pak Dimas mendesak tim manajemen dan HRD mencari kandidat baru dengan alasan target liputan yang sudah menunggu dieksekusi.
Di ruangannya, Pak Dimas merenung. Ia harus segera mencari pengganti Ardian dengan kriteria yang sama. Muda, sehat, kuat, berani dan gigih. Sebagai senior sekte, ia dihormati sebagai “Pembawa Tamu” dan memahami betul tiap tahun harus menyediakan tumbal manusia untuk kebutuhan desa dan dirinya. Sehingga ia mengarang cerita menerima akun anonim tentang sekte sesat di desanya agar mudah menugaskan bawahannya mendatangi desa.
Pak Dimas diam-diam telah mengorbankan beberapa pegawainya, termasuk Raka, jurnalis junior sebelum Ardian datang. Saat tiba-tiba Raka tidak masuk ke kantor dalam waktu yang cukup lama, Pak Dimas menggunakan alasan yang sama pada pihak HRD kalau Raka telah mengundurkan diri melalui surat pernyataan yang dikirimkan melalui email.
Jasad Raka dikuburkan di bawah pohon beringin yang batangnya dililitkan kain hitam, bersama dengan seluruh barangnya untuk menghilang jejak. Ia dimakamkan dengan batu nisan tanpa nama, bersama dengan jasad korban tumbal sebelumnya.
Dari ritual pengorbanan itulah, Pak Dimas memperoleh manfaat yang luar biasa. Karir yang selalu menanjak, penghasilan yang sangat besar dari berbagai usaha yang dijalankannya, disegani oleh orang-orang sekitarnya, tubuh yang tetap sehat dan bugar, serta wajah yang tampak awet muda meski usianya sudah menginjak enam puluh tahun.
---
Suatu hari, Lina, mendapat tugas liputan yang sama dari Pak Dimas. Meski agak berat hati menerima tugas itu, namun ia tetap berangkat karena telah menerima bonus yang cukup besar demi membawa bukti tentang keberadaan sekte sesat di Desa Tirtaungker.
Ketika Lina sudah hampir tiba di pintu masuk desa, ia merasakan angin dingin menerpa wajahnya. Ponsel yang semula menampilkan titik koordinat desa tiba-tiba berubah jadi putih sepenuhnya lalu mati.
Ia tidak tahu sedang diikuti oleh arwah gentayangan yang ingin mencegahnya melangkah lebih jauh. Arwah itu adalah Ardian, yang telah terikat dengan tanah desa tersebut. Ia berusaha membuat suara-suara aneh di sepanjang hutan untuk menakuti Lina, bahkan membuat tulisan PERGI pada layar ponselnya yang telah mati dan berembun karena dinginnya angin hutan.
Namun, semua pertanda itu diabaikan oleh Lina. Ia menganggap semua yang dilihat dan dirasakannya hanya halusinasi. Perempuan muda itu pun melangkah lebih jauh, memasuki desa. Ardian hanya bisa menyaksikan dengan putus asa ketika para warga menyambut Lina dengan ramah dan membawanya ke rumah kepala desa. Sudah dipastikan, Lina sedang menuju takdir yang sama seperti dirinya.