Di sebuah universitas ternama, lima mahasiswa-Satria, Sekar, Bagas, Larisa, dan Mahendra-bersiap menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Saat pemilihan lokasi, mereka memilih Desa Alas Sengkeran, sebuah desa yang terletak di daerah Jawa Tengah. Pilihan itu muncul dari daftar yang disediakan bagian administrasi kampus.
Desa Alas Sengkeran berada di urutan paling bawah, dengan deskripsi singkat: "Desa terpencil di perbatasan hutan. Membutuhkan bantuan pendidikan dan pembangunan penampungan air." Dilihat dari dokumentasi arsip kampus, desa itu terlihat seperti desa pada umumnya yang membutuhkan bantuan pembangunan.
"Bagus, kalian memilih lokasi yang jarang tersentuh. Ini bisa jadi pengalaman luar biasa bagi kalian," ucap Pak Suryo, selaku dosen pembimbing kelompok Satria.
---
Hari Selasa, Satria dan keempat temannya berangkat pagi-pagi dengan mobil sewaan, berbekal semangat dan peta manual yang mereka minta dari bagian administrasi kampus. Mereka berangkat tanpa Pak Suryo, karena beliau harus menghadiri seminar sebagai salah satu pengisi acara selama 3 hari di Jakarta.
Setelah beberapa jam perjalanan, jalanan mulai menyempit dan berbatu. Hutan di sekitar mereka juga menjadi semakin rapat. Sinyal ponsel mulai hilang, dan GPS tidak berfungsi. Satu-satunya yang bisa mereka andalkan hanya peta yang diberikan kampus.
"Ini pasti jalannya. Kita hampir sampai," ujar Satria, meyakinkan teman-temannya.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah desa kecil yang sunyi dan berkabut. Sebuah gerbang kayu tua menyambut mereka dengan tulisan samar: "Selamat Datang di Desa Alas Sengkeran."
Penduduk desa mulai muncul-semuanya ramah, dengan senyum lebar yang terasa sedikit terlalu lebar. Kelima mahasiswa itu mendatangi rumah kepala desa sesuai arahan salah satu penduduk di sana. Seorang pria tua bernama Pak Sastro, menyambut mereka. Setelah berbasa-basi, Satria menyampaikan tujuan kedatangan mereka ke desa tersebut.
Pak Sastro terlihat mengangguk-angguk dengan gerakan kepala yang sedikit aneh, "Saya mewakili warga Desa Alas Sengkeran mengucapkan terima kasih atas niat baik kalian. Desa kami sangat senang mendapatkan bantuan dari anak-anak terpelajar seperti kalian. Jadi, rencananya kapan kalian akan mulai tinggal di sini?"
"Lebih cepat lebih baik, Pak. Kalau memang kami sudah mendapatkan izin dari Bapak dan warga, besok pagi kami kembali ke sini dan memulai kegiatan. Insyaallah kami di sini akan selama 2 bulan," ucap Satria.
"Baik, kalau begitu saya dan warga akan menyiapkan tempat tinggal untuk kalian dan keperluan lainnya," ucap Pak Sastro.
Sebelum pulang, Satria meminta tanda tangan Pak Sastro sebagai persetujuan menerima mereka di desa dan menyerahkan amplop berisi uang sebagai biaya sewa dan makan selama di sana.
"Jangan lupa segera kabarin ke Pak Suryo, Sat, kalau kita bakal mulai kegiatan besok," ucap Larisa.
"Iya, nanti gue kabarin selama perjalanan pulang. Mahen, lu bawa mobil ya," pinta Satria. Mahendra menyetujui perintah temannya.
Malamnya, Satria mengabari melalui WhatsApp grup, kalau dirinya sudah mengabari Pak Suryo dan mengirimkan surat persetujuan yang sudah ditandatangani Pak Sastro versi scan melalui email. Pak Suryo mengatakan akan menyusul datang ke desa pada hari Minggu.
---
"Mobilnya di parkir di sini aja, ya Nak," ucap Pak Sastro yang sudah menunggu di depan gerbang kayu, menyambut kedatangan mereka. Karena terlalu terpencil dengan penghasilan yang rendah, tak satu pun dari warga Desa Alas Sengkeran, termasuk Pak Sastro, yang memiliki ponsel sehingga komunikasi terakhir dengan kelompok Satria hanyalah kemarin.
"Aman, Pak, kalau di sini? Mohon maaf, apa akan ada yang jaga, soalnya ini mobil sewaan. Seminggu sekali saya harus ke kota untuk memperpanjang pinjaman," terang Satria.
"Aman, Nak. Nanti ada yang rutin menjaga, bahkan di malam hari sekalipun. Percaya saja sama Saya," jawab Pak Sastro, tersenyum sangat lebar.
Pak Sastro kemudian membawa Satria dan teman-temannya menuju rumah yang akan dijadikan tempat tinggal selama dua bulan. Rumah yang mereka tempati sederhana namun cukup nyaman. Suasana desa juga tampak tenang, diiringi kabut tipis.
"Mohon maaf jika tempatnya enggak senyaman yang kalian kira, semoga kalian bisa istirahat. Untuk makan siang, nanti istri Saya yang mengantar," ucap Pak Sastro.
"Ini udah lebih dari cukup, Pak. Enggak disangka diberi rumah seluas ini, terima kasih," balas Sekar.
Kemudian, Pak Sastro menunjukkan dua kamar yang akan diisi oleh Satria dan teman-temannya. Mereka merasa bersyukur karena masing-masing diberi tempat tidur dengan kasur kapuk yang cukup nyaman dan bersih. Dan yang paling penting, kamar mandi berada di dalam rumah meski mereka harus rutin mengisi air yang diambil dari sungai yang jaraknya 700 meter dari rumah.
Setelah selesai menunjukkan ruangan di rumah, Pak Sastro pamit pulang. Kelompok Satria segera berkumpul untuk membahas agenda kegiatan mereka yang akan dimulai setelah zuhur. Kegiatan pertama, mereka akan mendata warga yang memiliki anak-anak untuk bisa diajar.
Dua hari kegiatan berjalan seperti biasa. Kelima mahasiswa itu menjalankan program KKN-mendata penduduk, mengajar anak-anak di teras rumah kepala desa yang cukup luas, hingga mulai bergotong royong membangun penampungan air kecil yang jaraknya lebih dekat ke perkampungan, dan mengaliri air sungai ke penampungan tersebut.
Namun, perlahan-lahan keanehan mulai dirasakan oleh kelima mahasiswa itu. Saat tengah malam, Sekar mendengar suara langkah kaki berputar-putar di depan jendela kamarnya. Ketika ia memeriksa, yang ditemukan hanyalah kegelapan yang pekat.
"Pasti cuma perasaanku aja," gumam Sekar, berusaha menenangkan diri.
Menjelang subuh, saat Larisa akan ke kamar mandi, dengan mata yang masih agak mengantuk, ia melihat siluet anak kecil sedang berdiri di dapur. Namun, anak kecil itu menghilang saat Larisa mendekat.
Keanehan juga dirasakan oleh Satria, Bagas dan Mahendra ketika bersama-sama dengan warga melanjutkan program penampungan. Mereka merasa penduduk desa terlihat aneh. Terkadang, wajah para warga berubah pucat dan mata mereka kosong selama beberapa detik, sebelum kembali normal.
Di malam selanjutnya, kelima mahasiswa itu mendengar suara tangisan yang menyayat hati, langkah-langkah kaki yang berputar di area rumah tepat jam 12 malam, dan suara tertawa yang samar.
Larisa mulai bermimpi buruk-ia melihat penduduk desa berubah menjadi makhluk menyeramkan dengan wajah yang rusak dan tubuh membusuk.
"Rasanya ada yang salah dengan desa ini," ujar Larisa dengan suara gemetar pada Sekar saat menjelang pagi. Mereka masih berada di dalam kamar.
"Gue juga ngerasa enggak nyaman sama suasana desa yang terus-terusan berkabut. Sinyal juga enggak dapet, jadi susah menghubungi orang-orang," respons Sekar.
---
Pada sore hari, Satria mengajak keempat temannya berkumpul di ruang tamu dan mendiskusikan hal-hal aneh yang mereka alami.
"Kalian merasa penduduk desa ini aneh, enggak, sih?" tanya Satria.
"Kalau gue bukan penduduknya, tapi suasana desa ini. Beberapa kali gue kebangun di malam hari gara-gara denger langkah bolak-balik di luar jendela kamar, tapi pas gue periksa, enggak ada siapa-siapa," ucap Sekar.
Larisa memberi anggukan, "Gue juga pernah lihat sosok anak kecil di dapur sebelum akhirnya hilang."
Satria menyimak pengakuan teman-temannya dengan raut serius.
"Gue juga ngerasa ada yang enggak beres sama desa dan warganya, kadang muka para warga tuh pucat, matanya juga kosong, serem pokoknya," susul pengakuan Mahendra.
"Jangan lupa kalau mereka lagi senyum, mulutnya lebar banget enggak, sih?" ucap Bagas.
"Gue enggak menyangkal kalau emang ada yang aneh sama warga dan situasi desa yang terus-terusan berkabut. Tapi, saat ini kita enggak bisa apa-apa, selain menunggu kedatangan Pak Suryo. Sementara ini kita tetap bersikap biasa aja, jangan panik, dan sebisa mungkin kita sama-sama terus," ucap Satria, berusaha menenangkan, meskipun hatinya ikut was-was.
Pukul 10 malam, Satria memutuskan untuk keluar rumah karena tidak bisa tidur. Ia berniat sekalian mencari sinyal, sekaligus melihat situasi desa. Ketika ia tiba di lapangan desa dekat gerbang masuk, ia melihat pemandangan mengerikan-penduduk desa berkumpul, berdiri kaku dengan tatapan kosong. Di tengah lingkaran itu, Pak Sastro tersenyum lebar dengan mata yang menyala merah seolah sedang mengontrol para warga.
Dengan hati-hati, Satria bergegas kembali ke rumah dan menceritakan semuanya pada keempat temannya. Mereka kemudian sepakat berkemas seadanya, dan segera pergi dari desa itu secara diam-diam.
Pukul 12 malam, mereka mengendap-endap menyusuri jalanan desa. Namun, meski sudah lama berjalan, mereka kesulitan menemukan gerbang keluar desa. Akhirnya, Satria dan teman-temannya nekat memasuki hutan yang lebat. Sayangnya, tiap kali mereka mengira berhasil keluar ke jalan utama, nyatanya mereka kembali ke dalam perkampungan.
"Kayaknya kita sudah terjebak..." bisik Bagas, wajahnya pucat pasi. Menimbulkan kekalutan di antara teman-temannya.
Saat pagi menjelang, mereka berpapasan dengan seorang warga yang hendak ke hutan. Mereka meminta untuk pergi bersama-sama.
"Kalian tidak perlu pergi. Tinggallah di sini bersama kami," ucap warga itu dengan senyum lebar yang menyeramkan, kedua matanya tiba-tiba berubah putih total. Kelima mahasiswa itu baru sadar kalau warga itu tidak memiliki oreng. Warga itu kemudian pergi, dan dengan jelas terlihat kalau kedua kakinya melangkah tanpa menginjak tanah.
Satria dan kawan-kawannya memutuskan kembali berlari menuju hutan, melewati para warga dan Pak Sastro yang berdiri kaku, menatapi kepergian mereka dengan senyum yang menyeramkan. Sayangnya, sekeras apapun mereka berusaha melarikan diri, berakhir dengan mereka kembali ke desa yang sama.
"Sudahlah, jangan habiskan tenaga kalian untuk hal yang sia-sia. Terima saja takdir kalian menjadi warga baru di desa kami," ucap Pak Sastro yang wajahnya kini tak lagi ramah. Sebagian wajahnya membusuk hingga mengeluarkan puluhan belatung.
Kelima mahasiswa itu memutuskan kembali ke rumah, dan mengunci diri. Larisa dan Sekar menangis sejadi-jadinya, sedangkan Bagas dan Mahendra terlihat frustrasi di pojok ruangan. Satria berusaha mengutak-atik ponselnya, berharap mendapat sinyal dan bisa menghubungi seseorang untuk meminta bantuan.
---
Sementara itu, di kampus, keluarga dan dosen mulai khawatir karena sudah satu minggu berlalu tanpa kabar dari Satria dan kawan-kawannya. Sebelumnya, Pak Suryo sudah lebih dulu mendatangi lokasi sesuai dengan GPS dan peta di hari Minggu. Namun, saat ia tiba di lokasi yang seharusnya adalah desa Alas Sengkeran, yang ia temukan hanyalah hamparan hutan kosong. Berpuluh kali, ia menghubungi nomor Satria dan kawan-kawannya, namun nomor-nomor itu sudah tidak lagi aktif.
"Desa Alas Sengkeran? Desa itu sudah lama ditinggal oleh penduduknya, Pak, kira-kira sejak 10 tahun yang lalu. Mereka semua pindah karena area itu enggak cocok untuk bercocok tanam, dan kesulitan akses air," ujar penduduk desa terdekat.
Setelah menyampaikan informasi itu kepada pihak kampus, pencarian besar-besaran dilakukan. Sayangnya, mereka hanya menemukan mobil yang digunakan oleh Satria dan kawan-kawannya, teronggok tak terurus dekat hutan.
---
Di Desa Alas Sengkeran, Satria dan kawan-kawannya kini telah menyerah sepenuhnya. Mereka tidak lagi bisa membedakan siang dan malam. Tubuh mereka masih ada, namun jiwa mereka tersesat di kegelapan abadi.
"Kalian milik kami sekarang," ujar Pak Sastro dengan suara berat.
Di dunia nyata, proses pencarian telah dihentikan setelah menghabiskan waktu lebih dari 2 minggu. Menyisakan pilu bagi keluarga yang ditinggalkan secara tiba-tiba. Kisah kelima mahasiswa itu menjadi legenda kelam di kampus. Nama Satria, Bagas, Mahendra, Sekar, dan Larisa kini hanya tinggal kenangan yang perlahan-lahan memudar, seperti desa itu sendiri yang tenggelam dalam kabut tebal.