Seberapa jauh Molly mencoba mencari-cari jawaban dalam kepalanya, dia tetap menemukan jalan buntu. Bahkan setelah membaca buku resep ramuan koleksi Pandia sekalipun, Molly tetap tidak menemukan jawaban jelas.
Namun, ada beberapa kesimpulan dari dua lembar surat yang dibawa Molly sekarang, sebuah titik terang dari beberapa teka-teki yang menyelimuti kisah hidupnya belakangan ini.
Pertama, dia teringat pernyataan Hugo di hari sebelum pergi dari Nevervale. Momen ketika Hugo tidak ingat siapa orang yang menghampirinya. Ternyata, orang asing yang ditemui mereka di Kedai Anyelir Merah, adalah orang yang sama yang mengirimkan surat kepada Pandia, bernama Farcloud.
Kedua, Pandia tidak benar-benar tewas. Berdasarkan buku resep ramuan koleksi Pandia, Molly mengambil kesimpulan, Ramuan Tidur Panjang tidak akan benar-benar membuat pengonsumsinya meninggal, melainkan dalam kondisi koma dengan ditandai denyut nadi yang lemah.
"Ketiga, seseorang bernama Farcloud akan membongkar makam Pandia dan membawanya pergi dari Nevervale." Molly bergumam. "Brengsek!"
Saat itu juga, Molly bergegas keluar dari kamar. Langkah kakinya berderap menggetarkan anak tangga kayu, menyebabkan suara gaduh yang membuat Hugo dan Joyce terkesiap bersamaan.
"Ada apa, Mol?" tanya Hugo kebingungan. Dilihatnya Molly tengah tergesa-gesa memakai jubah panjangnya.
"Molly, ada apa?" Joyce mengernyit kebingungan.
Sementara itu Molly mengikat rambutnya dan berkata, "Aku pergi ke pemakaman."
Kemudian, Molly bergegas pergi meninggalkan rumah.
Jantungnya bertalu-talu bagai genderang perang, dikuatkan oleh kebingungan, kekhawatiran, amarah, ketakutan, juga rasa posesif yang mendalam terhadap Pandia. Kedua tangannya memegang bagian depan rok, mengepal kuat-kuat hingga gemetaran. Ia melaju cepat, begitu cepat hingga membuatnya seolah melayang dalam angin.
Molly berlari melewati gang-gang yang berkelok-kelok dan dunia di sekelilingnya mendadak kabur, bagai ditelan kabut bayangan dan cahaya, saat pikirannya berpacu sekencang langkah kakinya.
Apakah Pandia benar-benar masih hidup?
Apakah Pandia baik-baik saja?
Apakah mungkin Farcloud dan rombongannya telah datang lebih dulu?
Tidak!
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar kuat laksana tetesan gerimis hujan. Setiap langkah kaki, masing-masing diwarnai oleh perasaan yang bercampur aduk. Semakin cepat usaha Molly untuk mencapai si adik bungsu, dia semakin panik dari sebelumnya. Kakinya mungkin terasa terbakar karena pelariannya, namun Molly mendorong semua rasa sakit dan terus maju, didorong oleh satu keinginan yang sangat mendesak, yaitu menggagalkan rombongan Farcloud.
Lama sekali Molly berlari, sampai akhirnya ia tiba di pemakaman. Tangannya mendorong pintu gerbang cepat, lalu berlari mendekati makam milik Pandia. Langkahnya seketika itu berhenti, napasnya yang menderu mendadak tercekat, dan matanya membulat penuh.
Di sana, di dekat makam ayah dan ibunya, terdapat makam milik Pandia. Batu nisannya masih tertancap kokoh pada tanah, namun tanahnya telah tergali, begitupun peti matinya telah berada di permukaan tanah.
Molly mencicit panik dan khawatir, cepat-cepat dia membuka penutup peti dan benar saja, kosong.
Pandia telah dibawa pergi.
"Tidak, tidak." Molly mengecek ke liang lahat, kemudian kembali ke peti kosong di sebelahnya. "Adikku masih belum meninggal, adikku masih hidup! Dia masih hidup! Di mana tubuhnya? Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa mereka harus mengambilnya? Apa yang sebenarnya terjadi?!"
Ia menunduk, berteriak, memegang kedua telinganya.
Teriakan frustrasinya terdengar hingga ke telinga si penjaga makam. Pria tua itu berlari terseok-seok dari rumah duka sambil merapikan topinya.
"Nona Edagon, ada apa? Mengapa pagi-pagi berteriak begitu?" Si penjaga makam bertanya setengah menegur.
Molly menolehkan kepala, matanya melotot, wajahnya kini berwarna merah muda menandakan bahwa dia benar-benar marah.
"Siapa yang membongkar makam adikku?" tanya Molly setengah membentak.
Si penjaga makam melirik ke makam milik Pandia, lalu kembali menatap Molly. "Ya ampun, Nona. Bukankah keluarga Edagon sendiri yang menghendakinya? Kalian mengirim seseorang untuk membongkar makam Nona Pandia. Bukankah kalian berencana untuk memindahkan kuburannya di dekat rumah?"
Mulut Molly terbuka lebar-lebar, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Seseorang menipu si penjaga makam, berpura-pura menjadi utusan keluarganya agar dapat membongkar makam Pandia dan membawa jasadnya pergi dari desa.
"Keluarga kami sedang berduka, Tuan, tidak mungkin kami membayar seseorang untuk melakukan hal itu!" Molly kembali membentak, tangannya dikepalkan di pinggir tubuhnya.
Si penjaga makam memegang dadanya, terkejut. "Nona, saya hanya mengerjakan tugas saya sebagai penjaga makam, menggali dan mengubur jasad, hanya itu. Beliau datang menjumpai saya di rumah duka dan menyampaikan dengan jujur, kalau kalian yang mengutusnya."
Molly berdecak dan mengacak-acak rambutnya frustrasi. Baru saja berduka, kemudian kebingungan dan lega ketika menyadari bahwa Pandia tidak benar-benar meninggal dunia, sekarang jasad adiknya tengah dibawa oleh seorang penipu. Semuanya berputar-putar menjadi satu.
"Ada berapa orang yang datang?" tuntut Molly.
"Semalam hanya satu orang yang datang," jawab si penjaga makam singkat.
Satu orang, bukan rombongan.
Molly kembali bertanya, "Bagaimana ciri-cirinya?"
"Itu ... um ..." Si penjaga makam mengulum bibirnya, mengernyit kebingungan, lalu menggaruk kepala. "Aku sangat yakin menemuinya semalam, tapi aku tidak ingat ciri-cirinya."
"Coba kau ingat baik-baik, Tuan. Warna rambutnya, warna matanya, tinggi tubuhnya, mungkin, hm?" Molly setengah memohon.
Namun, si penjaga makam masih kesulitan untuk mengingatnya. Dia menunjuk batu nisan orang tua Molly. "Maaf, aku tidak ingat bagaimana ciri-cirinya. Tapi aku yakin sekali, dia duduk di sekitar sini sambil makan jeruk semalam."
Memang benar ada kulit jeruk yang telah kering di sana, namun itu tidak dapat dijadikan bukti siapa sosok yang menipu si penjaga makam dan mencuri jasad Pandia. Andaikan saja Molly memiliki kekuatan untuk melihat essentia milik orang, dia tidak akan kesulitan menentukan siapa orang misterius itu.
Molly menggigit bibir bawahnya, berusaha berpikir lebih keras.
Kemudian pandangannya melesat pada rumah duka. Molly teringat kunjungan pertamanya di kamp militer, ia pernah menuliskan namanya pada buku tamu. Mungkin saja, rumah duka memiliki buku tamu juga.
"Apakah dia menulis pada buku tamu juga?" Molly bertanya.
Si penjaga makam terkekeh. "Tentu saja, Nona. Semua pengunjung rumah duka menulis di buku tamu."
"Bawakan buku tamunya kemari," pinta Molly mendesak.
Pria tua itu lantas berlari kembali ke rumah duka. Sementara Molly menatap makam yang telah dibongkar paksa. Pikirannya kembali berputar, memikirkan sosok yang membongkar makam Pandia.
Dia menebak-nebak seseorang yang mungkin menjadi calon pelaku. Tak mungkin keluarganya. Atau mungkin Farcloud adalah orang suruhan ... Vince. Membayangkan wajah pak tua itu, sontak membuat perut Molly berputar, serasa hampir mutah.
"Tapi, dari sekian orang yang cocok dituduh menjadi pelaku hanya si tua Vince," gumam Molly pada dirinya sendiri. Ia memainkan jari-jarinya, gugup dan resah. "Paman telah membatalkan kesepakatan, dan pria tua itu pasti tidak terima dengan keputusan kami."
Si penjaga makam kembali di sampingnya, memberikan sebuah buku usang bersampul kulit hijau tua. Molly cepat-cepat membuka buku pada halaman terakhir tepat pada nomor terakhir yang tertulis.
Jari-jarinya menyusuri nama pengunjung terakhir dengan cemas, pegangan pada buku itu semakin erat, seolah tak ingin melepaskannya. Rahangnya terkunci rapat-rapat, setiap otot yang timbul menahan gejolak amarah, dan dalam suara yang hanya didengar oleh dirinya sendiri serta penuh kepahitan, Molly menyebutkan sebuah nama.
"Rolan Farcloud."
Nama itu terucap seperti racun yang mengalir deras, membawa serta gelombang amarah dan kecewa. Setiap suku katanya menggoreskan sebagian dari hatinya, menimbulkan sebuah pemikiran baru—dendam.
Tangannya gemetaran ketika menutup buku itu dan mengembalikannya kepada si penjaga makam. Molly menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya, terdiam, dan membeku.
Kemudian, sebuah akar besar muncul dari dalam liang lahat kuburan Pandia. Akar-akar itu tumbuh cepat ke permukaan tanah, meliuk-liuk bagai tentakel terkutuk, dan melingkar membungkus peti mati Pandia. Bersamaan itu, tangan Molly bergetar hebat.
Melihatnya, si penjaga makam terkejut, matanya terbelalak tak percaya sekaligus dipenuhi ketakutan. Sampai kakinya terlalu lemas untuk menopang tubuhnya, membuatnya jatuh terduduk di atas tanah. Suara ketakutannya terdengar semakin menjadi-jadi, ketika akar-akar itu melilit kencang peti mati Pandia—teramat kencang hingga merusak peti itu menjadi dua bagian.
Lalu, tanaman ivy muncul dari dalam tanah, melilit batu nisan Pandia dan kedua orang tua Molly. Tanaman itu mengeluarkan bunga-bunga cantik berwarna-warni, seolah menjaga dan menghiasi makam keluarga Edagon.
Semuanya menjadi jelas: pelaku yang membuat Agatha mengejar Keajaiban Bilena, yang mengirimkan surat kepada Pandia, serta membongkar makam adik bungsunya adalah Rolan. Seorang essentor handal yang membuat siapa pun melupakan sosoknya.
Sial bagi Molly yang tidak menyadari tanda-tandanya. Padahal Cardos dan Bilena telah memperingatinya, telah menyuruhnya untuk berhati-hati kepada Rolan. Kemudian, dengan dungunya, Molly memercayai lelaki licik itu.
"Cerdas sekali, Rolan," gumam Molly penuh penyesalan. Kata-kata itu membakar ujung lidahnya. Ia tertawa pahit, dadanya berdenyut sakit.
Perempuan muda itu menganggukkan kepala, seakan baru memahami segalanya. Rolan menodai kepercayaannya. Lelaki itu tahu Molly akan gagal sejak awal, dan dengan santainya, Rolan menggiringnya pada kehancuran. Semua ini tak lebih dari permainan yang penuh kebohongan, sebuah rencana terpendam yang disembunyikan begitu rapi, dan dipelihara penuh kelicikan.
"Tak heran, ia selalu memasang tembok tinggi saat aku ingin mengenalnya." Molly tertawa pahit seraya menatap tanda kutukan pada tangannya.
Kini Molly berdiri memandangi makam adiknya. Wajahnya datar, matanya memerah menahan air mata, namun pikirannya dipenuhi oleh sosok misterius Rolan.
Ia menggigit bibir bawah, mengepalkan tangan di samping tubuhnya, dan menggumamkan, "Diam-diam dia menyimpan rahasia."
[TAMAT]
Sampai jumpa di buku dua: Songs of Yesterday.
Petualangan Molly akan berlanjut di Hutan Kematian.
Terima kasih telah membaca hingga bab terakhir, cintanya, kesabarannya, untuk feedback dan masukannya, serta untuk waktu yang telah diluangkan.
Jika kalian penasaran dengan lore-nya, kalian bisa cek di instagramku: theeliyen. Mari kita saling mengobrol!