Hidup tenang tanpa drama bersama kakak dan adiknya adalah impian hidup Molly, anak tengah dari tiga bersaudara. Dia tak menyangka saat Agatha, kakaknya, tiba-tiba menghilang dan melepas tanggung jawab hingga adik bungsu mereka, Pandia, menjadi pengantin pengganti dalam sebuah pernikahan yang tak diinginkan.
...Read More >>"> SECRET IN SILENCE (Bab 29) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SECRET IN SILENCE
MENU 0
About Us  

Terkadang, jalan yang ditempuh untuk meraih keberhasilan tidak searah dengan ekspektasi. Molly mengulang kalimat itu dalam hatinya berkali-kali selayaknya membaca mantra. Sayangnya, semakin diulang malah semakin tak menyenangkan.

Kini Molly menggerutu di kamarnya, berguling frustrasi di atas ranjang. Seolah semesta berkonspirasi, padahal ia telah bertekad bepergian sendiri, jalan yang ditempuhnya berujung kembali pada Rolan.

Meminta maaf sebetulnya perkara mudah, dia hanya perlu berkata maaf tanpa harus bersungguh-sungguh. Akan tetapi, harga dirinya yang setinggi harapan orang tua, seolah melarang Molly untuk mengaku salah. Ditambah, mereka sedang dalam perang dingin sejak sore, membuatnya semakin enggan untuk mengalah.

"Mungkin aku akan berbicara padanya besok pagi," kata Molly seraya mengangkat kedua tangannya ke udara. Kalimat itu terdengar cukup meyakinkan baginya, entah karena memang benar-benar enggan atau mungkin terlalu malas untuk bertemu sekarang.

***

Hari menjelang siang saat Molly berjalan melintasi tangga. Suara gesekan roknya bersatu padu dengan langkah kakinya yang semakin cepat. Dia memberikan salam kepada dua penjaga di sana. Begitu pintu ditutup, Molly meregangkan jari-jarinya, lalu mengepalkannya beberapa kali, seakan hanya dengan cara itu dia dapat mengontrol dirinya. Ia mengangkat dagu dan mengatur napas, tak sudi rasanya harus terlihat lemah dan putus asa di hadapan Rolan.

Anehnya, ketika tiba di depan sel, ucapan Rolan kemarin kembali terngiang dalam benak Molly. Cepat-cepat ia menepis pikiran itu.

Aku di sini untuk kondisi genting, bukannya bersikap emosional.

Rolan tengah merapikan baju, lalu menyugar rambutnya ketika Molly berdeham, membuat lelaki itu harus berhenti sejenak tanpa membalikkan badan. Hening. Lelaki itu kembali merapikan bajunya, tak peduli pada Molly. Sepertinya, Rolan memang tengah bersiap-siap untuk pulang ke Nevervale hari ini.

Molly berdeham untuk yang kedua kalinya.

Dan akhirnya, lelaki berambut merah itu memutar tubuhnya penuh gaya. "Kau sedang batuk, Mawar Merah?"

Menyindir, seperti biasa. Molly memutar matanya.

Ujung mata hijau itu menyipit sekilas. Detik berikutnya, sudut bibirnya ditarik hingga membentuk seringaian khas. Sejenak Molly berpikir, mengapa lelaki tampan kerap kali menyeringai daripada tersenyum tulus? Rasanya sangat tak adil, seolah para leluhur bermurah hati ketika menganugerahkan bentuk fisik dan wajah kepada lelaki satu ini. Begitu menyebalkan. Tak hanya itu, pembawaannya yang lancang seolah tengah mencemooh Molly yang kembali padanya.

"Kau berubah pikiran?" Suara Rolan yang menggoda berhasil memecah keheningan. Dia berjalan mendekat mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahu. Gerakannya luwes dan halus. Rolan memiringkan kepalanya, menunggu jawaban Molly.

Perempuan berambut emas itu mengerjapkan beberapa kali, mengutuk dirinya yang sempat terdiam, membiarkan tatapannya tertahan pada Rolan. Seperti seorang gadis remaja yang tengah memuja seseorang, padahal Molly tahu banyak hal yang baik daripada itu.

"Aku memiliki dua berita penting." Suara Molly sempat bergetar saat menyampaikan maksudnya. Ia menegakkan tubuhnya, tidak ingin terlihat tenggelam dalam kharisma Rolan.

"Oh, baru tiga hari di desa Druid, dan kau sudah naik pangkat menjadi pembawa pesan, ya?" sindir Rolan lancang, mata hijaunya menilai penampilan Molly, yang kini terbalut gaun hijau dan korset biru. "Kulihat-lihat, kau benar-benar mulai bertransformasi menjadi salah satu dari mereka. Bukankah itu sangat menggemas—manis sekali?"

Molly memutar matanya. "Aku hanya berusaha bersikap praktis, sepertimu."

Mendengar ucapan Molly, Rolan menaikkan kedua alisnya, penasaran, namun anggukan kepalanya mengungkapkan kepuasan secara terang-terangan. Entah karena baju atau perubahan tekad Molly.

"Jadi, berita apa yang ingin kau sampaikan padaku, Mawar Merah?" tanya Rolan menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku. Dia membuang muka dan menghela napas panjang, masih terlihat bosan dan kesal.

"Yang pertama adalah berita baik, rencanaku kemarin berhasil dan aku mendapatkan banyak informasi tentang posisi Agatha." Molly memberitahu, menuai seringaian kaku dari Rolan. "Dia ada di Lembah Besar Esterdon sekarang, satu langkah mendekati Keajaiban Bilena."

"Berita buruk." Rolan memiringkan kepalanya. "Berita baiknya?" gumamnya seraya memberikan penilaian kontra.

"Berita selanjutnya, aku tetap akan ke sana dengan berteleportasi—"

Rolan berkacak pinggang seraya mengecek kuku-kukunya, dia menyela dalam gumaman, "Berita buruk lagi. Aku pikir kau memberikanku satu berita baik, dan satu berita buruk. Tapi, rupanya yang aku dengar hanyalah dua berita buruk"

Molly merapatkan rahangnya kuat-kuat, ingin sekali memanggil akar atau sulur dari bawah kaki Rolan untuk menampar wajah tampan nan mulus itu.

Sejengkel apa pun, Molly tetap membutuhkan Rolan untuk pergi ke sana, dan dia menambahkan, "Aku telah bertanya pada roh leluhur. Katanya, aku bisa ke sana asal membawamu—"

Rolan lagi-lagi mengatakan, "Aku tidak mau."

"Aku belum selesai menyampaikan semua beritanya, Rolan." Molly menegur, suaranya dalam dan penuh dengan ketegasan. "Dia juga menyampaikan, kalau ada seseorang bernama Cardos telah menunggumu di sana."

Pernik mata hijau Rolan yang tadinya dipenuhi oleh kenakalan dan kelancangan, seketika meredup dan padam. Seringaiannya yang menggoda surut secara bertahap. Bahunya yang tegap tapi santai mendadak menegang. Tangannya yang sempat diayunkan lembut, terjatuh di samping tubuhnya. Rolan mengusap wajah dengan tangan kanannya, tengah mencerna informasi dari Molly. Menilai perubahan raut wajah dan sikap Rolan, Molly menyimpulkan, sepertinya semua yang disampaikannya barusan memang benar-benar berita buruk.

"Siapa itu Cardos, Rolan?" tanya Molly penasaran. Kini giliran Molly yang mengamati gerak-gerik dan raut wajah Rolan.

Rolan membuang muka, rahangnya dikatupkan kuat-kuat hingga membangunkan otot-otot di sekitar leher. Molly berjinjit ingin meminta kejelasan, namun sebelum dia berbicara pandangan matanya melesat ke arah Moko, yang juga menunjukkan kekhawatiran. Lelaki itu lantas membalikkan badan.

"Rolan, ada apa? Kenapa kau tiba-tiba diam?" Molly bertanya, melirik Moko dan Rolan bergantian.

Lelaki itu meraih doublet miliknya, tanpa mengatakan sepatah kata apa pun.

"Rolan, setidaknya beri aku penjelasan dulu."

Bahu Rolan masih menegang saat memakai doublet juga jubahnya. Dia lantas membungkuk seolah mengambil sesuatu, yang kemudian Molly kenali sebagai belati.

Masih dilanda rasa penasaran, Molly kembali memanggilnya, agak menuntut dan tidak sabaran. "Rolan—"

"Kau tidak perlu terus-terusan mengingatkan namaku!" bentak Rolan. Tubuh Molly menegang seketika, mengingatkannya tentang kejadian Rantai Ikat. "Pergi dan ambil barang-barangmu, tunggu aku di depan gapura Sarang Dalam. Pastikan mereka tidak mencurigaimu saat pergi dari sini."

"I-iya." Molly memutar tungkainya seketika, mengambil langkah lebar-lebar, dan mempercepat langkahnya sampai hampir berlari kecil. Dia terkesiap saat Moko menaiki tubuhnya dari belakang. Kemudian, Molly melanjutkan langkahnya menuju ke kamar.

Meskipun Molly memilih patuh, rasa cemas, kaget, dan tegang akibat urgensi perintah Rolan, membuat mulutnya tidak berhenti menggerutu. Dia menyambar tas yang tersampir di atas bangku batu, lalu mengambil barang-barangnya yang tergeletak di sekitar ranjang.

"Kenapa dia seperti itu?" tanya Molly tiba-tiba kepada Moko, yang sedang asyik menyantap buah jeruk di dekat meja.

Moko tak menjawab, dia mengunyah cepat, menandakan tengah kelaparan. Keikutsertaannya di sini bukan untuk menemani Molly, melainkan untuk makan.

Tentu saja, apa yang diharapkan oleh seekor monyet peliharaan Rolan? Dia salah kalau sampai berpikiran lebih. Anehnya, mata Moko masih memandang Molly yang sibuk sendiri, seolah memperhatikan sambil makan.

"Maksudku, dia tak tidak perlu bertingkah seperti orang penting yang gemar memerintah begitu," Molly melanjutkan, seraya memasukkan dua botol air minum baru ke dalam tas. "Apa maksudnya dia meninggikan suaranya? Aku tidak tuli."

Molly menjejalkan paksa barang-barangnya. Dia terdiam sejenak, kemudian mengangkat tangannya, memukul udara kosong.

"Aku benci padanya," Molly mendesah. Ia menggendong tas sambil berjalan mendekati Moko. "Bagaimana bisa kau bersama orang seperti Rolan, kawan? Bagaimana bisa kau betah dengan orang yang berego tinggi seperti dia? Maksudku, dia lebih banyak diam dan menghindar, daripada harus bercerita dan menjelaskan."

Molly kemudian mengumpat.

Moko tidak merespon, tangannya yang mungil memegang buah, dan giginya yang besar menggigit daging buah cepat menimbulkan suara renyah. Mulutnya mengecap dengan bunyi basah dan nikmat, seolah menyampaikan pada Molly bahwa makanan di depannya terasa jauh lebih lezat dibandingkan mendengarkan omelan Molly.

Molly mendesah, tangannya lantas meraih sebuah apel merah, lalu menyimpan apel itu ke saku gaunnya dan mendengkus, "Sudahlah, ayo kita pergi dari sini."

Tangan Moko meraih satu buah jeruk. Cepat-cepat ia menaiki lengan Molly, duduk manis pada bahu perempuan itu sambil menggigit buah jeruk, sementara tangan satunya yang bebas berpegangan kuncir rambut perempuan itu.

Tepat ketika tiba di depan gapura Sarang Dalam, Molly baru teringat akan sesuatu, membuatnya seketika itu menghentikan langkahnya. Kepalanya dipenuhi oleh pertanyaan: Bagaimana caranya Rolan keluar dari penjara? Apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu selanjutnya? Dengan apa mereka akan pergi ke Lembah Besar Esterdon?

"Dasar Molly si otak lemah," gumamnya menghakimi diri sendiri. Molly mengetuk-ngetuk jarinya ke dahi. "Rolan tidak memberitahu rencananya."

Molly memutuskan untuk kembali ke Sarang Dalam, berniat menyusul Rolan. Namun, belum dia sempat melangkahkan kaki, Moko memekik senang melihat sosok tuannya.

Rolan, kini telah mengganti pakaian sekaligus jubahnya. Ya, bukannya baju yang lama yang dilihat Molly di penjara sepuluh menit yang lalu. Namun baju baru. Doublet yang dipakainya berwarna putih dan hitam bergaris. Celananya berganti menjadi berwarna cokelat tua dengan aksen sulur daun. Rambut merahnya telah ditata rapi. Semuanya terlihat baru, bersih, tanpa cela.

Langkah Rolan yang lebar membuatnya terlihat setengah berlari. Saat mata mereka bertumbuk, dada Molly berdegup lebih kencang. Seakan waktu di sekitarnya melambat, setiap hembusan angin menyapu lembut rambut merah itu, membuat sosok Rolan tampak bergerak dalam irama yang lebih tenang dan tegas. Meskipun tubuhnya ramping dan tinggi, dia terlihat lebih gagah dibandingkan Iefyr, si Druid Agung. Sejenak, Molly menyesal karena sempat mengaku benci dengan lelaki ini.

Jika malaikat memang nyata, mungkin penampilannya tak jauh-jauh dari penampilan Rolan sekarang—Apa ... Molly! Ya ampun! Molly mengusap wajahnya gusar.

Walau begitu, Rolan adalah seorang penyair, sang essentor rasa dan ilusi, dan seorang Manipulator ulung. Dan demi para leluhur ... sudah jelas pesonanya harus lebih menggoda dibanding kue manis berlapis krim lemon yang dijual di toko.

Iya, kan? Memang sudah semestinya harus menarik, kan? Itu adalah hal wajar sekaligus terkutuk. Astaga. Sial. Ini mungkin efek dari Rantai Ikat.

Molly berani bersumpah, jika dia sangat tergoda untuk mengalihkan pandangannya saat ini juga, membalikkan badan seutuhnya bila perlu. Namun, sosok Rolan benar-benar berhasil melumpuhkan saraf otaknya, membekukan otot-otot pada seluruh badannya, seolah terbelenggu dalam mantra ilusi.

Lelaki bermata hijau itu telah berada di hadapannya. Terlalu dekat seolah tak ada ruang lagi. Sejenak, Molly terheran-heran, sejak kapan pasokan udara di sekitarnya menipis?

Tahan, Mol.

"Rolan—" Ketika Molly berhasil menemukan kendali akan dirinya, ia terkesiap, hampir menjengit saat Rolan meraih pinggangnya, memutar tubuhnya kembali menghadap jalan, dan memakaikan tudungnya cepat-cepat.

"Dengarkan ini," bisik Rolan di telinganya. Napasnya yang panas menembus serat kain jubah Molly, membelai daun telinganya dengan penuh godaan. Bahkan helaan napasnya saja terasa seperti surga. "Kau akan berjalan cepat, berlari bila perlu."

Apa tadi katanya? Molly membeku dalam hitungan detik.

Setelah selesai berbisik, tanpa memberikan penjelasan, Rolan menarik Molly menjauh dari Sarang Dalam.

Dan benar saja, ritme langkah Molly menjadi lebih cepat dan berhasil mengimbangi Rolan. Mereka berjalan melintasi jembatan penghubung, menghindari para prajurit yang berpatroli, juga memilih untuk berbaur bersama kerumunan. Bagai menari di tengah-tengah aula bersama bangsawan asing, lengan Rolan melingkar posesif pada pinggang Molly.

Tak ada sepuluh menit berlari, Molly mulai kewalahan, napasnya semakin memburu. Tak hanya hampir setengah berlari, namun karena terhanyut oleh bau segar Rolan—perpaduan bau jeruk bergamot, rempah-rempah, dan kayu—bau itu berhasil melemahkan indranya. Susah payah Molly menelan ludah, merasakan tenggorokannya ditumbuhi duri tajam.

Apakah aku baru saja mendesah menikmati baunya? Ya ampun, yang benar saja! Molly menggigit bibir bawahnya.

Entah karena Rolan yang memaksanya untuk berjalan lebih cepat, ataukah berasal dari dorongan dalam hati, kepala bagian belakang Molly menyentuh dada lelaki itu. Dari sanalah, dia bisa merasakan dada Rolan yang berdebar seirama dengannya.

Setiap langkah dihiasi oleh debaran jantung yang semakin menggila, tak sebanding dengan setiap helaan napas yang berbentuk apresiasi.

"Mengapa kita terburu-buru begini, Rolan?" Molly bertanya, berusaha mengembalikan fokusnya. Di sisi lain juga mulai kelelahan.

"Aku jelaskan padamu nanti." Rolan berbicara diselingi oleh napasnya yang juga ikut memburu.

"Jelaskan dulu," Molly menuntut.

"Kita akan berbicara berdua, begitu kita keluar dari tempat ini."[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
HAMPA
388      268     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
A.P.I (A Perfect Imaginer)
128      109     1     
Fantasy
Seorang pelajar biasa dan pemalas, Robert, diharuskan melakukan petualangan diluar nalarnya ketika seseorang datang ke kamarnya dan mengatakan dia adalah penduduk Dunia Antarklan yang menjemput Robert untuk kembali ke dunia asli Robert. Misi penjemputan ini bersamaan dengan rencana Si Jubah Hitam, sang penguasa Klan Kegelapan, yang akan mencuri sebuah bongkahan dari Klan Api.
The Red Eyes
21797      3098     4     
Fantasy
Nicholas Lincoln adalah anak yang lari dari kenyataan. Dia merasa dirinya cacat, dia gagal melindungi orang tuanya, dan dia takut mati. Suatu hari, ia ditugaskan oleh organisasinya, Konfederasi Mata Merah, untuk menyelidiki kasus sebuah perkumpulan misterius yang berkaitan dengan keterlibatan Jessica Raymond sebagai gadis yang harus disadarkan pola pikirnya oleh Nick. Nick dan Ferus Jones, sau...
Forestee
453      320     4     
Fantasy
Ini adalah pertemuan tentang kupu-kupu tersesat dan serigala yang mencari ketenangan. Keduanya menemukan kekuatan terpendam yang sama berbahaya bagi kaum mereka.
Navia and Magical Planet
484      346     2     
Fantasy
Navia terbangun di tempat asing tak berpenghuni. Pikirnya sebelum dia dikejar oleh sekelompok orang bersenjata dan kemudian diselamatkan oleh pemuda kapal terbang tak terlihat bernama Wilton. Ah, jangan lupa juga burung kecil penuh warna yang mengikutinya dan amat berisik. Navia kaget ketika katanya dia adalah orang terpilih. Pasalnya Navia harus berurusan dengan raja kejam dan licik negeri ters...
The Maiden from Doomsday
10303      2259     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
Evolvera Life
9506      3261     28     
Fantasy
Setiap orang berhak bermimpi berharap pada keajaiban bukan Namun kadang kenyataan yang datang membawa kehancuran yang tak terduga Siapa yang akan menyangka bahwa mitos kuno tentang permintaan pada bintang jatuh akan menjadi kenyataan Dan sayangnya kenyataan pahit itu membawa bencana yang mengancam populasi global Aku Rika gadis SMA kelas 3 yang hidup dalam keluarga Cemara yang harmonis du...
The watchers other world
1819      736     2     
Fantasy
6 orang pelajar SMA terseret sebuah lingkarang sihir pemanggil ke dunia lain, 5 dari 6 orang pelajar itu memiliki tittle Hero dalam status mereka, namun 1 orang pelajar yang tersisa mendapatkan gelar lain yaitu observer (pengamat). 1 pelajar yang tersisih itu bernama rendi orang yang suka menyendiri dan senang belajar banyak hal. dia memutuskan untuk meninggalkan 5 orang teman sekelasnya yang ber...
ALACE ; life is too bad for us
1022      617     5     
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi
Mic Drop
422      331     2     
Fan Fiction
Mic Drop (Ethereal/7 Raga 1 Asa) Ethereal adalah boy band ternama dari kahyangan (langit lapis ke-7) beranggotakan 7 pangeran tampan (MarJinny, MarYoonGa, MarJayHop, MarJooni, MarChimmy, MarTaeVi, dan MarJuki). Selain berparas tampan, mereka juga memiliki suara yang indah, sehingga dijuluki the golden voices alias suara emas. Masing-masing anggota memiliki mic dengan warna yang berbeda. Se...