Druid Agung memijat keningnya. "Maafkan aku. Kau sangat mirip dengan Agatha, melihatmu barusan mengingatkanku pada kakakmu."
"Yah, tapi aku bukan dia, maaf sekali." Molly mendengus seraya melipat tangannya di dada. "Jadi?"
Druid Agung menghela napas berat. "Aku bisa membantumu untuk berkomunikasi dengan salah seorang leluhur. Mereka nantinya akan menyampaikan pesan dari Penjaga Agung Lembah tentang cara terbaik untuk sampai ke tempat itu. Kebetulan, sang Penjaga Agung mengizinkan kakakmu pergi ke sana dengan essentia dari patung yang lama."
Molly berdecak. "Baiklah, kalau begitu kau harus membantuku untuk berkomunikasi dengan para leluhurmu. Waktuku tak banyak, adikku akan segera menikah dan Agatha harus segera pulang untuk bertanggung jawab."
Pria bertubuh tegap itu mendengkus berat, sebuah pesan tersirat bahwa dia juga telah mengetahui ketegangan yang terjadi di antara Molly dan Agatha. Druid Agung lantas menggeram frustrasi, masih memijat ujung hidungnya.
"Aku akan melakukannya, hanya karena kau adalah adik perempuan yang kucintai." Druid Agung lantas berjalan menyusuri pinggiran sungai, lalu mengusap salah satu stalakmit yang berkilauan di dekat kakinya. Dengan tangannya yang kuat dan kekar, dia mematahkan stalakmit itu. "Ikuti aku. Kita pergi ke Aula Pemujaan sekarang."
***
Aula Pemujaan malam ini terpantau sepi, hanya ada beberapa pendeta druid yang tengah berjaga. Molly membawa lima lembar daun yang gugur secara alami dari pohon Javarash. Druid Agung berhenti tepat di dekat patung yang baru. Dia lantas mengeluarkan sebuah pisau belati kecil dan meminta agar Molly menyerahkan kelima daun yang dibawanya.
"Kita akan melakukan apa?" tanya Molly seraya mengamati Druid Agung mengukir daun-daun itu.
"Aku akan melakukan Ritual Daun Kenangan," jelas Druid Agung. Tangannya masih bergerak perlahan-lahan mengukir simbol-simbol kuno. "Hanya ritual biasa untuk memanggil roh para leluhur."
"Dengan cara mengukir daunnya?"
"Ya, lima lembar daun dengan lima ukiran yang berbeda." Druid Agung mengernyit mengukir daun itu. "Gelombang, untuk garis kehidupan. Berlian, untuk rasa syukur. Rantai, untuk keturunan asli. Cahaya, untuk kehidupan yang lebih tinggi. Dan terakhir, nama leluhur yang kita panggil."
Molly mengamati kelima simbol itu dari bawah cahaya obor. Matanya berkilauan penuh harapan, dengan begini dia bisa mendapatkan izin untuk berteleportasi ke tempat Agatha berada.
Setelah diberkahi oleh patung, daun-daun itu lantas dibawa oleh Druid Agung menuju ke sebuah meja batu bersimbol tak jauh dari pintu masuk. Dia kemudian menerima semangkuk stalakmit, yang telah digerus menjadi bubuk yang bercahaya indah kebiruan, dari seorang pendeta di sana.
Kelima lembar daun itu ditumpuk, lalu disulut oleh api dari sebuah lilin yang tidak jauh dari meja batu. Bersamaan dengan itu, Druid Agung menaburkan bubuk stalakmit. Bibirnya menggumamkan mantra yang Molly sendiri tidak mengerti apa artinya. Ketika dibakar, daun-daun itu mengeluarkan asap pekat yang mengepul tebal, seakan-akan sedang membakar tumpukan besar dedaunan. Asapnya berbau sangat harum. Molly tidak bisa mendefinisikannya, sebab baunya lebih wangi dari bau bunga mana pun.
"Iefyr, putraku, ada apa kau memanggilku?" Sebuah suara menggema halus bagai aliran air.
Molly menjengit, mendapati asap tebal di hadapan mereka berubah menjadi sosok seseorang yang berdiri dengan anggun. Tak nampak jelas bagaimana wajah dan apa yang dikenakannya. Namun, dari gaya bicaranya, sosok itu adalah wanita. Molly berdiri terpaku, merasa begitu kecil di hadapan kehadiran roh leluhur.
"Ibu," Druid Agung membalas dengan menundukkan kepalanya. Suaranya lembut dan penuh kerinduan. Bahunya yang sempat menegang merosot dan sorot matanya melembut. "Maafkan atas kelancanganku memanggilmu dua kali dalam tahun ini, Ibu."
Tidak ada jawaban dari sosok itu.
"Perempuan muda yang ada di sebelahku sedang mencari kakaknya," jelas Druid Agung. "Dia berharap bisa menyusul kakaknya ke Lembah Besar Esterdon." Pria itu mengangkat kepalanya dan menambahkan, "Jadi, adakah cara untuknya pergi ke lembah para leluhur dengan bantuan izin Penjaga Agung Lembah?"
Molly bersumpah, dia merasakan perasaan aneh, seolah bayangan itu tengah mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Seolah tengah menerawang setiap sudut terdalam jiwa Molly.
"Penjaga Agung Lembah tidak sembarang memberikan izin," jawab bayangan itu bagai angin yang berhembus dalam keheningan malam. "Hanya para leluhur yang bisa melintasi perbatasan Esterdon. Namun ... masih ada satu jalan."
Molly menatap asap itu, menunggunya dengan penuh ketegangan dan harapan.
"Penjaga Agung menghendaki pengorbanan," lanjut bayangan itu.
"Pengorbanan?" gumam Molly.
"Korbankan sesuatu yang paling berharga, yang memiliki esensi, maka Penjaga Agung akan memberikan izinnya untuk pergi ke tempat ini."
Molly menggertakkan giginya, mulai jengkel karena perjalanannya kali ini memiliki banyak rintangan. Segalanya tidak sesuai dengan rencananya.
"Beritahu Penjaga Agung Lembah," kata Molly maju satu langkah mendekat. "Orang yang akan berpergian ke sana adalah Molly, si Pembisik Daun."
Bayangan asap itu tidak membalas, hanya terdiam, membiarkan suasana menjadi kembali hening.
"Apakah kau bersama seseorang?" tanya bayangan itu.
Molly tadinya ingin menjawab jika dia memang tengah sendirian, mengingat Rolan memilih untuk berhenti membantunya. Namun, alih-alih mengaku kalau bepergian sendiri, dia malah berkata, "Aku bersama satu temanku. Tadinya—"
"Kalau begitu, bertanyalah kepada temanmu itu. Dia tahu bagaimana caranya datang kemari."
"Tapi, dia memutuskan berhenti membantuku," balas Molly cepat. Matanya berkaca-kaca, berharap agar Sang Penjaga Agung bersedia meminta cara lain. "Dia akan pergi kembali ke tempat tinggalnya esok pagi."
"Katakan padanya, Cardos telah menunggunya di Lembah Esterdon."
Setelah mengatakan hal itu, asap pekat perlahan-lahan menghilang, membentuk pola indah sebelum lenyap sepenuhnya. Api dari kelima daun yang dibakar menyisakan abu samar, dan aroma harum itu menghilang dalam sekejap.
Druid Agung menarik napas lega, tangannya yang kekar mulai membersihkan sisa-sisa upacara ritual perlahan-lahan.
Sedangkan Molly hanya bisa berdiri di belakang, merasakan beban berat dalam hatinya. Padahal baru satu jam yang lalu, dia bertengkar dengan Rolan, namun kini dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa dia harus kembali pada lelaki yang menyebalkan itu.
"Sepertinya pilihannya jauh lebih rumit dari sekadar meminta maaf," gumam Molly pada dirinya sendiri.[]