Molly diseret dan didudukan di atas lantai dingin serta becek. Kedua tangannya dililit oleh akar misterius yang hidup.
Entah untuk yang kesekian kalinya Molly meyakinkan seluruh hadirin di gua jika kekacauan yang terjadi di Sarang Dalam adalah ulah Agatha, bukan dirinya. Namun, para druid masih menekan Molly, terutama setelah mengetahui patung pemujaan mereka rusak dan kekuatannya telah menghilang.
Druid Agung, pria yang menangkapnya di gua rahasia, mengamati Molly dari singgasananya. Tak sedikit pun ada niatan darinya untuk menghentikan adu argumen yang tidak ada ujungnya ini. Bertemu mata dengan Druid Agung hanya membuat tubuh Molly semakin mungil dan menekan nyalinya hingga ke bagian terkecil.
"Bukan aku yang mencurinya," tegas Molly, menyangkal tuduhan yang dilayangkan kepadanya.
Vulen, druid yang sempat menerkam Molly dalam wujud macan kumbang, menuduh, "Jangan berbohong, gadis kecil. Kau sudah melakukan tiga kesalahan, mencuri, meloloskan diri dari penjara, dan terakhir menghancurkan patung Sang Penjaga Agung."
Molly memutar matanya jengkel. "Aku tegaskan sekali lagi. Orang yang kalian maksud bukanlah aku. Dia adalah Agatha, kakakku. Aku ke sini hanya untuk menjemputnya pulang."
"Kalau begitu, apakah kau yang membantu Agatha kabur dari penjara bawah tanah?" Akhirnya sang Druid Agung membuka suaranya. Gaya bicaranya lugas, suaranya besar, dalam, dan penuh otoritas.
Terpaksa Molly merasakan tekanan batin yang telah dihindarinya sejak beberapa menit yang lalu. Seluruh dunia disekitarnya mengecil, dan pasokan udara menipis membuat Molly tidak berdaya.
Molly menelan ludahnya. Gugatan yang barusan berhasil membuat keberaniannya semakin menipis. "I-iya, benar aku yang melakukannya."
Kata-kata itu lolos dan meninggalkan rasa pahit di lidah Molly. Tiap suku katanya disampaikan dalam nada yang kecil secara bertahap.
"Apa kau tahu kalau Agatha tidak hanya mencuri patung kami, tapi mahkota milik Druid Agung juga?" tanya salah satu druid wanita di sebelah Vulen, bernama Donna.
Molly membelalakan matanya, teringat akan mahkota dari serat akar yang dipakai oleh Agatha. Bila diingat-ingat lagi, mahkota itu sempat mengeluarkan cahaya berkilauan ketika mendekat ke pintu rahasia di ruangan pribadi Druid Agung. Itu berarti ... Agatha berbohong, dia tidak membelinya di pasar gelap.
Tripel sial!
"Aku tidak tahu jika dia juga mencuri mahkota," balas Molly seraya menggertakkan giginya. Kalimat yang satu ini membakar lidahnya.
"Druid Agung yang bijak," panggil Vulen seraya menundukkan tubuh memberikan hormat. "Seperti yang kita dengar, perempuan fana ini telah mengaku kesalahannya dan sekarang patung kita telah kehilangan esensinya, engkau juga kehilangan mahkota. Kami takut apabila pohon Javarash layu karena kehilangan energi yang seharusnya dipancarkan oleh patung itu. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar dia dihukum dengan diterjunkan dari atas tebing."
"Apa?" Molly terkejut, matanya membulat sempurna. Napasnya tercekat dan suaranya meninggi. Ini tidak mungkin terjadi, Molly tidak mungkin salah dengar, kan? "Kalian tidak mungkin serius!"
Aldir pernah menyebutkan Jika para druid adalah orang-orang yang ramah, dan akan menjadi sangat berbahaya jika ada yang mengusik sarang dan ketenangan alam. Rolan juga sudah mengingatkannya hal itu.
Apa yang dilakukan oleh Agatha mendapatkan konsekuensi, dan kini bebannya jatuh menghantam Molly. Seolah bayang-bayang keegoisan kakaknya enggan melepaskan tubuhnya, dan dia yang terpaksa menanggung akibatnya.
Andai saja saat itu Molly berhasil menyeret Agatha menjauh dari Sarang Dalam, andai dia mampu membelokan tekad kakaknya, meyakinkan Agatha untuk ikut pergi bersama, rencana pelarian mereka akan berakhir tanpa jejak dan dia tidak mungkin akan mendapatkan hukuman seperti ini.
"Diam, kau rubah licik!" hardik Donna maju satu langkah dari kerumunan para petinggi druid. Tangannya yang kuat menunjuk wajah Molly, raut wajahnya dipenuhi oleh kebencian. "Kakakmu telah mencuri dan menghancurkan patung persembahan kami. Sekarang energi dalam diri patung itu telah hilang, para penduduk mulai resah, dan pohon Javarash yang menjadi penopang hidup desa kami akan akan layu dalam hitungan hari."
Molly terdiam untuk mencerna apa yang terjadi. Lalu mulutnya terbuka hendak menyanggah, sayang tak ada kata-kata yang keluar. Kebingungan dan keterkejutan melumpuhkan semua saraf dalam tubuh, membuatnya terduduk lesu dan putus asa.
Agatha terbukti keliru. Dia terlalu meremehkan konsekuensi besar yang ditakutkan para penduduk di desa ini. Patung yang dianggap suci dan dipuja oleh para druid bukanlah patung biasa. Patung itu ditanam essentia.
"Ya," jawab seekor elang yang bertengger pada sandaran tangan singgasana Druid Agung. Seraya mengepakan sayapnya, dia berkata kembali, "Patung itu mungkin bisa dibuat lagi, tapi hanya seorang Pembisik Daun yang mampu mendoakan dan memberikan esensinya."
Masih dengan menundukkan kepala penuh hormat, Vulen juga menyambung, "Tuanku yang bijaksana. Pembisik Daun terakhir di desa kita telah pergi sekitar seratus lima puluh tahun yang lalu. Tanpa energi alam yang dianugerahkan oleh Pembisik Daun, kita tidak mungkin membuat patung itu lagi, karena hanya mereka yang mampu berkomunikasi dengan Penjaga Agung Hutan."
Molly mengangkat kepala cepat, menegakkan tubuhnya seraya berkata, "Aku adalah Pembisik Daun dan jika diberikan kesempatan lagi, izinkan aku untuk membuat patung itu."
Pernyataan Molly disampaikan penuh percaya diri dan terdengar menyakinkan. Walaupun sebenarnya dia tidak yakin apakah dapat membuat patung itu. Namun, begini lebih baik, dibandingkan harus terjun bebas tanpa pengaman dari tebing.
Pengakuan itu terbukti membuat para druid terkejut, menarik napas bersamaan, dan menolehkan kepala bersama-sama. Bahkan sang Druid Agung juga ikut menegakkan tubuhnya. Si elang memiringkan kepala dan bola matanya membulat penuh.
Dia ingin kembali menambahkan, namun ada jutaan duri tajam yang tumbuh di sekitar tenggorokan Molly, membuatnya kesulitan untuk mengeluarkan argumennya. Kini ada puluhan pasang mata dari para petinggi druid yang menatap dengan tatapan tidak percaya ke arahnya. Hanya dengan sorot mata, dan Molly merasa terancam.
"Omong kosong!" Donna akhirnya berkata, memecah keheningan yang sempat tercipta. "Seorang Pembisik Daun adalah mereka yang terpilih dan dilatih dengan ilmu kebijaksanaan alam. Mereka memiliki hubungan yang mendalam dengan hutan dan mampu mendengar suara-suara yang tak bisa didengar oleh orang biasa."
"Dan kalaupun kau ingin membantu kami membuatkan patung, sayangnya patung itu dibuat tidak hanya sekadar melalui kekuatan keinginan. Hanya orang-orang yang memiliki warisan alam dan terhubung dengan Penjaga Agung Hutan yang bisa melakukannya," balas si elang meremehkan.
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Molly telah dibuktikan saat dirinya mengikat Vulen dengan akar hijau di gua rahasia. Tetap saja para druid yang lain tidak percaya dengan pengakuan Molly. Tidak, dia bertekad untuk menjadi lebih terencana dan tegas, ia tidak ingin disudutkan lagi.
"Tuanku, Druid Agung." Molly membuka mulutnya, menarik perhatian sang Druid Agung. Kali ini gaya bicaranya lugas dan tenang saat mengatakan, "Saya adalah Pembisik Daun, dan saya tidak berbohong. Saya bisa membuatkan patung itu kembali atas izinmu. Berikan saya kesempatan ini."
"Tuanku yang agung," Vulen ikut menyanggah, menarik perhatian dari Druid Agung. "Kita tidak bisa mempercayai perempuan fana ini. Dia mungkin berhasil memanggil kekuatan akar hijau untuk menyerang saya, tapi hal itu belum cukup membuktikan bahwa dia adalah si Pembisik Daun. Alam yang berada di sekitar Sarang Dalam tidak bereaksi terhadap kehadirannya. Tidak ada bunga dan rerumputan yang tumbuh pada tanah yang dia injak. Angin masih berhembus normal, dan terakhir, pohon Javarash juga tidak menunjukkan reaksi khusus atas kedatangannya. Ini jauh berbeda dengan Pembisik Daun terakhir di Desa kita seratus lima puluh tahun yang lalu."
"Ya, kalau dipikir-pikir perempuan ini tidak menunjukkan tanda-tanda kebijaksanaan alam yang sama persis dengan Pembisik Daun terakhir." Druid yang lain setuju dengan perkataan Vulen.
Maka semakin heboh dan ramailah para hadirin di aula itu.
Vulen memberikan hormat lagi. "Jadi, saya mohon, Tuanku, pertimbangkan hukuman yang setimpal untuk perempuan ini."
Druid Agung hanya bergumam, namun tak ada kata-kata yang terdengar dari mulutnya. Ia terdiam, menimbang-bimbang, sementara para petinggi yang lain berbisik-bisik seraya melayangkan pandangan skeptis kepada Molly.
Sedangkan Molly, hanya bisa duduk menunggu keputusan dari Druid Agung. Apakah dia akan dihukum mati, ataukah diberikan kesempatan?
"Apa kau benar seorang Pembisik Daun, Molly?" Druid Agung berbicara. Dibalik penampilannya yang tenang, penuh hormat, dan bijaksana, Molly menangkap adanya rasa penasaran dan sedikit harapan yang tersirat dari nada bicara pria itu.
Molly menjawab penuh hormat, "Iya, Tuanku."
"Jika demikian, buktikan kepada kami keahlianmu besok. Ciptakan patung baru saat matahari berada di puncak, dan dengan begitu, kami akan mempertimbangkan kebebasanmu dan mungkin memaafkan tindakan kakakmu."
Sang Druid Agung beranjak dari singgasananya, menuruni anak tangga, berjalan lambat dan terukur. Meskipun penampakannya senantiasa tenang, namun kemarahan dan kewaspadaan masih terlukis jelas di wajahnya.
"Sampai besok tiba, kau dalam penjagaan ketat di penjara bawah tanah."[]