Loading...
Logo TinLit
Read Story - SECRET IN SILENCE
MENU
About Us  

Begitu selesai mengikat rambut emasnya, Molly menyampirkan tas ke bahu, setelah itu turun dari tangga, mendapati Aldir di lantai bawah tak jauh dari jendela. Pemuda itu tengah mengintip keluar dengan penuh kecurigaan.

Aldir berjingkat kaget saat Molly menepuk bahunya dari belakang.

"Aldir, aku ingin mendiskusikan sesuatu padamu," kata Molly.

"Tentang apa?" Aldir mengernyit penasaran juga masih bersiaga atas kondisi di luar menara.

"Tapi kita harus berkumpul terlebih dahulu," Molly menjawab serius seraya mengamati seluruh bagian ruangan. Ia mendengkus, tak mendapati sosok Rolan di lantai bawah.

Awalnya Molly berencana bertanya kepada Aldir, namun ia dengan cepat mengurungkan niat tepat saat mendengar suara cekikikan Moko di luar menara.

"Berkumpul?" tanya Aldir penasaran. Sedetik kemudian, dia terkejut mendapati Molly membuka pintu depan dengan santai. "Eh, tunggu! Kau tidak bisa keluar begitu saja! Di luar sangat berbahaya!" tegurnya.

Molly mengabaikan teguran Aldir, mengulurkan tangan untuk mendorong pintu. Pandangannya jatuh pada sosok Rolan yang berdiri bersandar pada pohon, sedangkan Moko, monyet kecil kesayangan si penyair, duduk di bahu majikannya sambil memakan buah pisang.

"Rolan!" Molly memanggil seraya melangkah turun dari tangga depan, membuat Aldir semakin panik dibuatnya.

"Molly, jangan dekat-dekat!" Teguran Aldir berhasil membuat Molly menghentikan langkahnya dan melempar tatapan tak percaya. "Orang itu berbahaya. Dia barusan menyelinap masuk ke dalam menara dan mencuri makananku."

Alis Molly bertautan, tak mengerti mengapa tiba-tiba Aldir menjadi begitu defensif terhadap Rolan, apalagi ketika lelaki bermata zamrud itu melenggang mendekat seraya menggigit buah pisangnya dengan santai. Pandangan mereka bertemu, dan Rolan hanya mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh, seolah teguran Aldir bukanlah hal yang harus ditanggapi serius.

"Serius, aku cuma lapar," Rolan berkata santai.

Mata hijaunya menatap Aldir dalam-dalam. Kemudian pandangannya turun ke tangan Aldir yang memegang lengan atas Molly.

"Dengar, Aldir Hyams." Perkataan Rolan membuat Aldir menjengit, sambil memberikan sisa pisangnya pada Moko. Lalu mengulurkan tangannya, menarik Molly dan merangkul bahu perempuan muda itu. "Jangan khawatir, kami akan segera pulang dari sini."

"Apa?" Aldir melotot kaget. Lalu mengernyit kebingungan. Matanya menyipit dan bibirnya dikatupkan kikuk. "Rolan—"

"Ya?" Rolan menjawab sinis.

Molly mendorong lengan Rolan turun dari bahunya, lalu berkata, "Mari kita berhenti, oke? Aku punya informasi penting mengenai Agatha dan Adamus," katanya tenang seraya melerai kedua lelaki itu. "Mereka ada di Desa Druid. Tak jauh dari Sungai Berlian. Apakah kalian tahu di mana tempatnya?"

Aldir mengusap dagunya perlahan, berpikir, keningnya berkerut. "Aku tahu tempatnya, memang tidak jauh dari sini, sekitar setengah hari perjalanan."

"Setengah hari perjalanan, baiklah aku mengerti." Molly mengangguk.

"Tunggu, apakah kau yakin Agatha dan Adamus ada di sana?" Aldir bertanya lagi, kekhawatiran terlintas di wajahnya. "Dari mana kau mendapatkan informasi itu?"

Perempuan berambut emas itu mengusap tengkuknya berpikir cara yang tepat untuk membalas pertanyaan Aldir. "Pepohonan yang memberitahuku."

Pemuda itu menganggukkan kepalanya mengerti, mulutnya terbuka, kemudian bergumam, "Kau seorang Pembisik Daun!" Wajahnya tampak lega, seolah mendapatkan bantuan dari langit. "Tadinya aku juga berpikir untuk bertanya dengan para pohon, tapi..." Dia tertawa kecil, sedikit canggung. "Aku tak menguasai bahasa tumbuhan. Aku selalu yakin para Pembisik Daun selalu punya banyak cara."

"Karena Agatha juga ada di sana, mari kita saling bekerja sama," kata Molly tulus, raut wajahnya dipenuhi oleh keyakinan. "Para pohon telah memberitahuku posisi mereka. Kita hanya perlu pergi ke Desa Druid."

"Ya! Ya! Aku akan bergabung denganmu!" Aldir menganggukkan kepala cepat, penuh kelegaan dan harapan.

"Baiklah, jadi kau yang akan menunjukkan jalan pada kami, ya," Molly membalas dengan senyuman cerah, penuh keceriaan. Seakan cahaya pagi membungkus tubuhnya, menjadikan bunga-bunga musim semi bermekaran, membuat suasana jauh lebih hangat dan tentram.

Dengan begitu, Aldir masuk ke dalam menara untuk mengambil perbekalan. Namun di belakang Molly, Rolan menatap sinis, melipat tangannya di dada seraya berdecak pelan.

"Kami? Siapa saja yang kau maksud, Mawar Merah?" tanya Rolan ketus, masih dengan nada dingin setengah menggerutu.

"Tentu saja kita berdua, Rolan. Kenapa kau berwajah masam begitu?" Perempuan muda berambut emas itu membalikkan badannya, mengamati wajah Rolan dengan penuh kebingungan.

Rolan mendengus, bibirnya sempat mengerucut, namun sorot matanya masih dingin dan tidak bersahabat. "Kau benar-benar tidak mengerti, ya?" Dia menurunkan kedua tangannya dari dada, melangkah mendekat. Suaranya terdengar serak, pelan, dan kental akan kejengkelan ketika mengatakan, "Bukankah kemarin malam kita telah sepakat untuk pulang ke Nevervale?"

"Aku berubah pikiran." Molly menjawab lantang dan penuh tekad. "Para pohon memberitahu kalau, sesuatu telah terjadi pada Agatha di Desa Druid. Aku harus ke sana untuk menyelamatkannya." Dia melangkahkan kaki mendekat. Meskipun Molly hanya setinggi bahu Rolan, ia tak terintimidasi sedikit pun. "Dia saudariku, dan aku berjanji kepada Pandia untuk membawanya pulang ke rumah."

"Tentu saja." Rolan tertawa pendek. Alisnya terangkat sinis. "Ini selalu tentang keluarga, ya." Dia mengangkat kedua tangannya dramatis sambil mengatakan, "Dan di sinilah aku menganggap kau akan menuruti perkataanku seperti yang telah kita sepakati beberapa hari yang lalu."

"Aku tidak akan kembali ke Nevervale tanpa Agatha, Rolan," sahut Molly tenang. "Perjalannya hanya setengah hari dari sini. Agatha dan Adamus sedang dikurung oleh Druid Agung setelah membuat keonaran. Aku harus segera menjemputnya, Rolan. Jadi, aku membutuhkan kemampuanmu untuk membengkokkan keinginan Druid Agung agar bisa membebaskan mereka. Ya?"

Rolan tidak mengubah ekspresi wajahnya. Bibirnya berkedut hendak membuat seringaian, namun Rolan menahannya dan menjawab, "Tidak."

Molly tertegun mendengar jawabannya. Bahunya merosot jatuh, wajah cantiknya dipenuhi kekecewaan. Rolan memberikan respons yang jauh dari dugaannya. Dia memang tidak memiliki kemampuan untuk membengkokkan keinginan orang lain, dan sikap Molly yang memohon keras, membakar bagian narsistik dalam diri Rolan—seolah ingin terus dikejar.

Lelaki itu menyugar rambut merahnya dan berkata santai, "Kau pergi ke Desa Druid sendiri bersama Aldir, aku akan pulang ke Nevervale. Yang jelas, aku telah membayar utangku padamu."

Setelah mengucapkan hal itu, Rolan melambaikan tangannya seraya melenggang pergi.

Tubuh Molly menegang. Dia menggertakkan rahang ketika melihat Moko yang melambaikan tangannya dari bahu Rolan.

Laki-laki ini menyebalkan! Molly merogoh saku roknya, lantas mengambil langkah besar menyusul Rolan. Dia mengeluarkan sebuah rantai halus berkilauan di bawah sinar matahari dari dalam saku.

"Rolan, ayo kita buat kesepakatan," celetuk Molly dari belakang. Rolan mengayunkan tangannya, menolak bahkan sebelum mendengarkan tawaran Molly. "Kau bantu aku mencari Agatha, lalu aku akan membayarmu!"

Dalam sekejap dan gerakan yang cepat tak terduga, Molly menempelkan rantai itu pada permukaan telapak tangan Rolan. Rantai lembut itu bergerak melingkar, menari penuh pesona, sebelum mengencang kejam, membuat Rolan merasakan nyeri yang tak terelakan.

"Aduh!" Rolan mendesis seraya memegangi telapak tangan kanannya.

Dia menoleh cepat, terkejut saat mendapati Molly ikut mendesis kesakitan. Rantai lembut itu juga mengikat telapak tangan kiri Molly hingga membuatnya berdarah. Darah keduanya mengalir pada permukaan rantai, menciptakan kilauan yang menawan namun tak biasa. Dalam satu kedipan mata, benda itu menghilang dalam pandangan mereka, meninggalkan luka gores pada telapak tangan masing-masing.

Molly melotot kaget, terpesona melihat warna darah Rolan yang unik—biru berkilauan—memantulkan warna langit petang yang penuh bintang. Keduanya saling melotot terkejut dalam keheningan, seakan waktu berhenti untuk menyaksikan momen yang tidak terduga ini.

"Apa itu tadi?" Aldir muncul dari samping memecah keheningan. "Aku melihat Rantai Ikat yang barusan menghilang. Kalian tadi melakukan perjanjian apa?"

Rolan mengecek telapak tangan kanannya cepat. Luka gores itu berwarna biru keemasan, masih segar dan terasa nyeri, menunjukkan bahwa yang terjadi barusan bukanlah mimpi. Dia menggertakan giginya frustrasi.

"Apakah kau tahu apa yang barusan kau lakukan?" Rolan berkata, nadanya rendah dan dalam, merambat dari udara menyerang punggung Molly. Sorot matanya tajam bagai belati menembus hati Molly.

Molly membuka mulutnya yang bergetar, sambil menyembunyikan pergelangan tangan kirinya ke balik jubahnya. "A-ak..."

"Mol, apakah kau mengutuk Rolan?" Aldir bertanya setengah panik setengah memberikan peringatan.

Tubuh Molly menegang seolah baru saja dihantam petir ketika mengetahuinya.

Tak menghiraukan ucapan Aldir, Rolan mendekat dan mengatakan, "Dari mana kau mendapatkan Rantai Ikat barusan, Mawar Merah?"

Suara Rolan menuntut jawaban cepat, ketidaksabaran tergambar jelas di raut wajahnya. Mata hijaunya diselimuti oleh kemarahan.

"Pandia," Molly menjawab, lalu mengulum bibirnya. "Aku mendapatkan rantai itu di hari ulang tahunku di awal musim semi."

"Kau tahu rantai apa yang kau ikatkan padaku barusan, hm?" tanya Rolan kembali, suaranya serak menahan amarah yang meledak.

"Kata Pandia itu hanyalah rantai halus biasa, cara kerjanya mirip seperti simpul ikat—"

"Itu bukanlah rantai biasa. Benda yang kau ikatkan ke tanganku adalah Rantai Ikat, sebuah kutukan," sela Rolan menunjukkan luka telapak tangan kanannya yang kini berwarna hitam.

"Kutukan? Mana mungkin," Molly menyahut, masih kebingungan juga terkejut. "Pandia tidak bisa mengutuk seseorang."

Melihat tubuh Molly yang gemetar ketakutan, Aldir memisah keduanya. "Tenangkan dirimu, kawan. Dia sepertinya tidak tahu."

"Omong kosong!" bentak Rolan membuat Molly berjingkat kaget. "Dia sengaja mengikatku dengan Rantai Ikat, Aldir! Memaksaku untuk menyetujui perjanjian yang bahkan tidak bisa dia pahami! Dia mengutukku secara terang-terangan!"

"Tenang, tenang. Molly tidak berbohong, Rolan. Dia sungguh tidak tahu kalau itu kutukan." Aldir mengusap punggung Rolan memberitahu.

Akan tetapi, Rolan mendorong kasar tangan Aldir dari bahunya dan memilih menjauh seraya mengacak-acak rambutnya frustrasi.

Molly menutup mulut dengan kedua tangannya, mengamati luka pada telapak tangan kirinya yang juga menghitam. Mereka saling beradu pandang. Terjebak dalam konsekuensi atas tindakan impulsif Molly.

Rasa frustrasi yang menumpuk, sementara Molly merasakan ketakutan dan rasa bersalah. Aldir menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hingga beberapa saat kemudian, tidak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan.

"Maafkan aku, Rolan, aku benar-benar tidak tahu—" Setelah beberapa menit berlalu, Molly akhirnya berkata. Dia mengepalkan kedua tangannya. Rasa malu, menyesal, dan khawatir bercampur menjadi satu, berputar-putar di bagian perutnya cepat.

"Aku bisa melihat kau benar-benar memaksaku ikut denganmu." Mata hijau itu menatap jauh lebih tajam dan penuh frustrasi, namun suara Rolan terdengar tenang, meskipun bergetar karena amarah.

Tubuh Molly bergetar ketakutan, pelupuk matanya terasa panas. Rasa bersalah menyusup melalui tulang punggungnya, menyebar ke seluruh tubuh, dan mencengkeram jantungnya kuat-kuat. 

"Maafkan aku." Hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Molly.

Rolan mendengus frustrasi, ia menyugar rambutnya, sedikit menjambak untuk menahan amarahnya. "Aku tidak punya pilihan lain," katanya, membuat Molly membulatkan matanya tidak percaya. "Aku akan ikut denganmu, tapi kau harus mendengarkanku. Ketika aku mengatakan pulang, kita harus pulang saat itu juga."

Molly menelan ludah, dadanya masih berdebar nyeri, dan kakinya gemetar lemas. Ia ingin mengucapkan terima kasih, namun rasa penyesalan meremang hingga membuatnya tak berhasil mengatakan apa pun.

"Kau sendiri yang memainkan permainan yang berbahaya."[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mimpi & Co.
947      611     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Holiday In Thailand
108      97     1     
Inspirational
Akhirnya kita telah sampai juga di negara tujuan setelah melakukan perjalanan panjang dari Indonesia.Begitu landing di Bandara lalu kami menuju ke tempat ruang imigrasi untuk melakukan pengecekan dokumen kami pada petugas. Petugas Imigrasi Thailand pun bertanya,”Sawatdi khrap,Khoo duu nangsue Daan thaang nooi khrap?” “Khun chwy thwn khatham di him?” tanya penerjemah ke petugas Imigras...
PurpLove
368      302     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
My Perfect Stranger
9174      3394     2     
Romance
Eleanor dan Cedric terpaksa menjalin hubungan kontrak selama dua bulan dikarenakan skandal aneh mengenai hubungan satu malam mereka di hari Valentine. Mereka mencurigai pelaku yang menyebarkan gosip itu adalah penguntit yang mengincar mereka semenjak masih remaja, meski mereka tidak memiliki hubungan apa pun sejak dulu. Sebelum insiden itu terjadi, Eleanor mengunjungi sebuah toko buku misteri...
Crusade
95      62     0     
Fantasy
Bermula ketika Lucas secara tidak sengaja menemukan reaktor nuklir di sebuah gedung yang terbengkalai. Tanpa berpikir panjang, tanpa tahu apa yang diperbuatnya, Lucas mengaktifkan kembali reaktor nuklir itu. Lucas tiba-tiba terbangun di kamarnya dengan pakaian compang-camping. Ingatannya samar-samar. Semuanya tampak buram saat dia mencoba mengingatnya lagi. Di tengah kebingungan tentang apa...
Game of Dream
1437      801     4     
Science Fiction
Reina membuat sebuah permainan yang akhirnya dijual secara publik oleh perusahaannya. permainan itupun laku di pasaran sehingga dibuatlah sebuah turnamen besar dengan ratusan player yang ikut di dalamnya. Namun, sesuatu terjadi ketika turnamen itu berlangsung...
The Golden Prince
191      160     1     
Fantasy
*Nggak suka cerita Aksi-Fantasi? Coba dulu ini! nggak nyoba nggak akan tahu!! *BUKAN TERJEMAHAN, cerita ini ori hasil ketik tangan penulis, jadi please jangan plagiat!! [Blurb]------------------------------ Ini tentang seorang Kesatria muda, seorang Master Pedang paling cemerlang di Kerajaannya - yang terlempar ke masa depan, ke 10 tahun di depan. Dunia yang dikenalnya telah berubah, lo...
Paw On The Path To Joy
1182      636     4     
Inspirational
Ini adalah kisah Molly, anjing dari ras mini pomeranian yang menceritakan seluruh kehidupannya. Dimulai saat dia tinggal di tempat penampungan hewan, rumah Nona Rambut Ikal, hingga akhirnya dia bisa tinggal di rumah baru sekaligus rumah terakhirnya. Bagaimanakah kisah perjalanan Molly? Ikuti selengkapnya dalam cerita ini.
Tyaz Gamma
1441      911     1     
Fantasy
"Sekadar informasi untukmu. Kau ... tidak berada di duniamu," gadis itu berkata datar. Lelaki itu termenung sejenak, merasa kalimat itu familier di telinganya. Dia mengangkat kepala, tampak antusias setelah beberapa ide melesat di kepalanya. "Bagaimana caraku untuk kembali ke duniaku? Aku akan melakukan apa saja," ujarnya bersungguh-sungguh, tidak ada keraguan yang nampak di manik kelabunya...
Invisible Girl
1209      629     1     
Fan Fiction
Cerita ini terbagi menjadi 3 part yang saling berkaitan. Selamat Membaca :)