Koridor lantai tiga sekolah nampak diterangi lampu-lampu pada malam hari. Kim Tara menapakkan kakinya menuju toilet sambil menggerutu. Jam pelajaran tambahan memang menyebalkan, murid lain pasti juga berpikir seperti itu. Seharusnya Tara sudah berada di rumah sekarang, tapi ia dan teman-teman sekelasnya harus kembali belajar setelah jam pulang sekolah hingga malam hari.
Hujan deras di luar terasa dingin, gadis kelas 1 angkatan pertama itu mempercepat langkahnya untuk mengurangi rasa dingin. Toilet berada di ujung tangga dan tepat saat Tara hendak masuk, terdengar suara alat musik dari ruang musik di lantai empat. Gadis berambut coklat itu mengusap tengkungnya seraya menoleh ke atas tangga. Tiba-tiba saja ia merasa merinding. Cepat-cepat ia masuk ke dalam toilet dan dengan cepat pula ia keluar.
Suara alat musik masih terdengar. Kini Tara dapat dengan jelas mendengar suara piano. Ia memilih menaiki beberapa anak tangga untuk menengok sebentar ke lantai empat. Ruang musik berada di ujung, sementara lampu di koridor itu tak ada yang menyala. Tara tak dapat melihat pintu ruang musik dan ia tak melihat lampu ruangan itu menyala. Itu tandanya tak ada aktifitas di sana. Lalu ia memutuskan untuk kembali ke kelasnya.
Tara berjalan dengan cepat. Saat sampai di pintu kelas dan membukanya, suara petir menggelegar diikuti matinya aliran listrik membuat teman-temannya yang ada di dalam kelas menjerit karena terkejut.
"Hey, tenang." Pak Jo-wali kelas mereka-menenangkan. "Kim Tara, jangan berdiri saja di sana, ayo masuk." Pak Jo segera keluar dari kelas dan mencari guru dari kelas lain.
"Apa-apaan ini?" Jung Jiseok berteriak dari kursinya di pojok kelas. "Pelajaran tambahan memang menyebalkan."
"Hei, Jiseok. Jangan berteriak begitu, ini sudah malam," ujar Kim Tara seraya duduk di kursinya di sisi Jung Jiseok. "Kau tahu kan, cerita hantu di jam pelajaran tambahan?" Tara melanjutkan.
Jiseok mengangkat sebelah alisnya, "Kau percaya dengan itu?" ujarnya.
Kim Tara menatap laki-laki lawan bicaranya yang memiliki gaya rambut melawan arah gravitasi itu. "Tidak juga," ujarnya.
Tiba-tiba desiran angin melintas dari arah belakang Tara. Angin itu seperti masuk ke dalam telinga kanannya dan keluar lewat telinga kirinya. Hal itu membuatnya menahan napas dan punggungnya menegang.
Jung Jiseok mengangkat sebelah alisnya melihat ekspresi tegang Tara. "Kau kenapa?" tanyanya.
Lampu kelas kembali menyala, sorak sorai orang-orang menyadarkan Tara dari ketegangannya.
"Ada apa?" Jiseok kembali bertanya. Tara nampak limbung sebelum menjawab bahwa ia baik-baik saja.
"Sepertinya aku kelelahan karena pelajaran tambahan."
Jiseok tertawa menanggapi.
Pak Jo kembali masuk dan melanjutkan pelajaran yang sempat tertunda karena mati lampu.
Tara mengelus tengkuknya, mencoba meredakan rasa takut yang tiba-tiba ia rasakan.
...
Pagi ini sebelum masuk ke kelasnya, Kim Tara mencoba mampir ke ruang musik. Sebenarnya ia tidak mengerti alasannya ingin datang ke ruang musik. Tetapi rasa penasarannya membuatnya kini berada di hadapan Lee So Hoo, si ketua klub musik.
"Aku pemain bass, tidak bisa bermain piano," ujar So Hoo saat diminta bermain piano oleh Tara.
"Lalu, apa ada anggotamu yang bisa bermain piano?" tanya Tara pada laki-laki yang seorang kakak kelasnya itu.
"Tentu ada, tapi ada urusan apa hingga kau ingin bertemu dengannya?"
Tara menggeleng, "Aku bukan ingin bertemu dengannya. Tapi apakah dia harus berlatih hingga malam hari?"
Lee So Hoo menaikkan sebelah alisnya. Tiba-tiba sebuah panggilan telpon membuatnya menjauh sebentar untuk menerimanya. Tak lama ia berbalik kembali pada Tara. "Maaf, tapi aku harus ke ruang OSIS. Si ketua OSIS itu menyuruhku membantunya membereskan ruangnya. Menyebalkan sekali."
Tara segera menjawab, "Ah... tak apa. Kau dekat dengannya kan?"
Lee So Hoo menoleh sekilas pada Kim Tara, "Tidak juga." Ia lalu berjalan menuju pintu dan membukanya. "Maaf, tapi karena belum ada anggota lain yang datang, lebih baik kau kembali ke kelas."
Tara menurut, ia keluar disusul So Hoo yang sebelumnya telah mengunci pintu. Mereka berjalan beriringan menuruni tangga. Saat sampai di lantai tiga, So Hoo berujar, "Anggota klubku tak ada yang berlatih sampai malam. Jadi aku tak mengerti maksudmu." Tara melebarkan matanya, ia memang tak melihat lampu ruangan itu menyala pada kemarin malam. Jadi tandanya tak ada aktifitas klub di malam hari. Lalu berasal dari mana suara yang ia dengar semalam?
"Tapi semalam aku mendengar..." Tiba-tiba punggung Tara menegang. Ia merasakan angin yang menerpanya, seperti semalam.
"Aku harus pergi." Lee So Hoo pergi tanpa melihat ekspresi Tara. Dan sepertinya kalimat gadis itu tak berhasil didengar olehnya. Tara menyadari, suaranya teredam dan tak bisa didengar oleh dirinya sendiri.
"Aku kenapa?" gumam Tara kebingungan.
...
"Kau kenapa? Pagi-pagi sudah muram," Jung Jiseok menyapa Tara dari kursinya.
Kim Tara menatap temannya itu lamat-lamat sambil berpikir. Jiseok mengerutkan dahinya melihat kebingungan temannya itu.
Tara mendesah, "Malam ini ada pelajaran tambahan lagi."
Jiseok tertawa, "Kenapa tiba-tiba kau takut pada pelajaran tambahan."
"Bukan takut." Tara mengembungkan pipinya sebal. "Kau belum saja melihat hantu," gumamnya.
"Hah?" Jiseok meminta Tara mengulang kalimatnya.
"Kau belum pernah pergi ke toilet pada jam tambahan kan?" Tara merubah kalimatnya.
"Pernah kok," jawab Jiseok. "Kenapa? Kau takut ke toilet pada malam hari?" Jiseok tertawa.
Tara mendengus sebal, "Nanti temani aku ke kamar mandi." Jiseok tidak menjawab dan tetap tertawa melihat wajah sebal Kim Tara.
...
Pukul delapan malam. Di dalam kelas 1 angkatan pertama yang sungguh ramai, Tara bertopang dagu seraya melihat ke luar jendela. Ia lalu menoleh ke arah Jiseok dan memberinya kode untuk keluar kelas.
Jiseok mengangguk lalu meminta ijin kepada pak Jo untuk pergi ke toilet. Selang beberapa menit, Tara pun meminta ijin untuk pergi ke toilet. Sampai di ujung korider lantai tiga Tara tak menemukan Jiseok. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi nihil. Ia pun menoleh pada tangga yang menuju lantai empat.
"Aku hanya ingin tahu," gumam Tara. Sambil melihat-lihat sekitar, ia mulai menaiki tangga itu dan terus berjalan menuju ruang musik. Tangannya meraba-raba pada dinding, mencari saklar untuk memudahkan penglihatannya.
"Dapat," gumamnya ketika tangannya berhasil menemukan saklar. Saklar itu pun ditekan, tetapi tak ada perubahan yang terjadi. Ternyata lampu di koridor itu tak bisa menyala.
Pasrah, Tara memilih melanjutkan langkahnya menuju ruang musik. Tangannya memutar kenop pintu, terkunci. Ruangan itu sangat gelap. Tak ada suara alat musik dari sana, tak seperti semalam.
Sekali lagi Tara memutar kenopnya walau ia tahu itu percuma. Kini ia lakukan dengan dorongan menggunakan kakinya.
Terus seperti itu dan tiba-tiba ada sorotan cahaya yang memancar dari belakangnya. Tara melebarkan kedua matanya, jantungnya berpacu cepat. Ia lalu menoleh cepat ke belakang dan langsung berteriak melihat sosok tinggi berdiri di hadapannya. Sosok itu mencengkeram bahunya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Tara, tenang. Ini aku," sosok itu mencoba menenangkan Tara. "Hey, ini aku. Jung Jiseok."
Tara berhenti berteriak ketika mendengar nama temannya itu. "Ji-Jiseok," Tara terbata karena ketakutan. Ia melihat temannya itu menggenggam ponsel dengan senter yang menyala.
"Apa yang kau lakukan di sini." Terlihat sirat kekhawatiran Jiseok yang mebuat Tara tanpa sadar mengucapkan maaf. "Ayo kita kembali." Jiseok merangkul temannya itu dan membawanya kembali ke kelas.
...
"Kau percaya?" Tara menoleh pada Jiseok yang kini duduk di sampingnya pada bangku panjang di sebuah taman dengan lampu taman bewarna kuning menerangi mereka. "Kau percaya?" ulang Jiseok.
Tara mengerang pelan, "Tentang apa?" tanyanya.
Jeda sejenak, Jiseok lalu menjawab, "Hantu di pelajaran tambahan."
Tara tak lekas menjawab, ia menunduk menatap ujung sepatunya. "Aku mendengarnya," ucapnya.
"Mendengara apa?" Jiseok lekas bertanya.
"Suara musik," Tara menutup matanya seraya mengangkat kedua bahunya, menunggu angin yang melintas di belakangnya seperti semalam. Tapi ternyata tak terjadi apa-apa.
Jiseok menepuk pundaknya, "Sepertinya kau ketakutan," ucapnya dengan nada prihatin.
Tara menurunkan bahunya, menarik napas dan mencoba rileks. Ia menoleh ke arah Jiseok, "Padahal aku belum melihat mereka, tapi aku sudah terlihat ketakutan seperti ini."
"Tapi apa benar kau mendengar suara piano dari sana?" Jiseok kembali bertanya.
"Aku mendengar lagu Moonlight Sonata."
Jiseok menghela napas pelan, "Aku tahu kau orang yang mudah penasaran, tapi jangan bawa rasa penasaranmu dalam hal seperti ini. Jangan ganggu mereka."
"Aku sama sekali tidak mengganggu," gumam Tara.
Jiseok menghela napas lagi, "Aku tahu. Tapi jangan mempersulit dirimu seperti itu."
Tara menatap Jiseok lama. Ia meraih tangan laki-laki itu yang ada di pundaknya lalu tersenyum.
"Terima kasih," ujarnya.
Jiseok tersenyum lalu terkekeh. "Kau ini."
...
Pukul delapan lewat tiga puluh menit malam hari, Jiseok berjalan pulang menyusuri koridor lantai tiga. Di depannya, teman-temannya berduyun-duyun menuruni tangga-ingin segera pulang. Laki-laki bermarga Jun itu berjalan sendirian di belakang. Saat hendak menapakkan kakinya di anak tangga, teman-temannya sudah tak terlihat. Jiseok terkekeh dan berpikir bahwa mereka ingin cepat-cepat pulang.
Tiba-tiba terdengar suara piano yang membuat Jiseok menoleh ke belakang. Atensinya mengarah pada tangga yang menuju lantai empat. Gelap dan mencekam.
Walau begitu ia memilih mendekat dan menaiki anak tangga sambil bergumam, "Aku hanya ingin tahu."
Suara piano itu membuat orang yang mendengarnya dari jauh ingin mendengarnya dari dekat.
Selesai