Loading...
Logo TinLit
Read Story - [END] Ketika Bom Menyulut Cinta (Sudah Terbit)
MENU
About Us  

Semalaman aku menangis di kamarku. Lagu-lagu yang mengalun dari ponselku seolah merepresentasikan kekecewaan, kemarahan, dan kesedihanku. Aku terus mengulang lagu yang paling menggambarkan perasaanku—terutama lagu Tulus berjudul Nala. Seakan-akan lagu itu bercerita tentangku. Nala dan Maya, dua perempuan dengan kisah pilu yang sama, dikhianati oleh lelaki yang dicintai.

Aku tak peduli lagi pada riasan yang luntur dan pakaian yang sudah kusut berantakan. Tisu berserakan di lantai, menjadi saksi bisu air mata yang terus mengalir semalaman. Sesekali aku mencoba tidur, namun pikiranku menolak untuk beristirahat. Seakan otakku bekerja tanpa henti, memutar ulang kejadian malam tadi—penantian sia-sia yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.

Aku mondar-mandir di apartemen, berpindah dari kamar ke dapur, lalu ke kamar mandi, tapi tidak ke balkon. Aku menghindari tempat itu. Terlalu banyak kenangan yang masih begitu hangat, terlalu berat untuk kembali diingat. Balkon adalah saksi bisu kebersamaanku dengan Fahmi, dan kini aku bahkan tak sanggup melangkah ke sana.

Jam menunjukkan pukul tiga pagi. Aku masih terjaga di atas ranjang, meski air mata ini sudah mengering. Mungkin sudah habis. Aku meraih ponsel yang tergeletak di sampingku, menyalakan layarnya, dan melihat photo-photo di galeri berisi kenangan kami berdua. Hatiku pilu, ingin ku hapus semuanya.

Aku mendengus kesal, lalu meletakkan ponselku. Aku berjanji, jika dia menghubungiku atau bahkan berani menemuiku, aku akan meminta putus. Aku tidak bisa terus dipermainkan seperti ini.

Entah bagaimana, akhirnya aku tertidur juga. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela, membangunkanku dari mimpi buruk tentang Fahmi. Aku langsung meraih ponsel, berharap ada pesan darinya. Namun, tidak ada. Tak satu pun.

Lalu, tiba-tiba bel apartemenku berbunyi nyaring. Aku tersentak kaget. Siapa yang datang pagi-pagi begini? Aku menepis harapan bahwa itu Fahmi. Jika pun iya, aku tidak ingin menemuinya. Aku masih marah.

Bel kembali berbunyi berkali-kali. Aku membuka sedikit dan mengintip melalui celah pintu. Di luar, seorang pemuda berdiri dengan gelisah, membelakangiku. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku mengenal postur tubuh itu. Sebelum aku bisa memastikan, dia berbalik, dan saat itu juga, dadaku serasa dihantam sesuatu.

Fahmi.

Aku terkejut luar biasa. Tanpa berpikir panjang, aku langsung membanting pintu dan menguncinya rapat-rapat.

Fahmi mulai mengetuk, lalu meng gedor pintu. “Maya! Tolong buka! Biarkan aku menjelaskan!” Dia berteriak dengan penuh keputusasaan.

Aku tidak menjawab untuk sesaat lalu membuka pintu walau sedikit, kemudian mengganjalnya dengan meja agar Fahmi tidak bisa mendorong masuk seperti waktu itu.

“Buat apa kau ke sini?” tanyaku dingin.

“Maya, tolong dengarkan aku. Aku minta maaf. Aku harus menjelaskan apa yang terjadi semalam.”

“Kau membohongiku kan? Ngaku!” Aku menatapnya dengan tatapan penuh tuduhan.

“Astaga, Maya! Bukan begitu! Dengar dulu! Orang tuaku sudah tahu tentang hubungan kita,” katanya panik.

Aku melipat tangan di dada. “Memang, Lalu?”

“Kau sudah tahu? Mereka akan memisahkan kita. Aku tidak mau itu terjadi! Aku tidak mau terpisah darimu lagi! Kumohon, percayalah!”

Aku tertawa sinis. “Heh, Bohong! Kalau kau benar-benar tidak ingin berpisah dariku, kenapa tidak membalas pesanku semalaman?”

“Itu dia masalahnya! Ponselku disita oleh ayahku! Dari situlah mereka tahu tentang kita!”

“Salahmu sendiri,” ucapku ketus.

“Iya, aku salah. Aku minta maaf, Maya. Aku akan melakukan apa saja untuk menebusnya.”

Aku termenung. Apa yang bisa dia lakukan untuk menebus kesalahannya? Lalu, tiba-tiba ide itu muncul di kepalaku.

“Bailah, akan aku beri satu kesempatan”. Aku terdiam ragu untuk sesaat. “Aku ingin kita berkencan sambil melihat orangutan di Nyaru Menteng,” ucapku kemudian.

Fahmi terdiam sejenak, seperti tidak percaya dengan permintaanku. “Kau serius?”

“Kalau kau menolak, aku tidak akan memaafkanmu.”

Fahmi menghela napas. “Kenapa harus ke sana?”

“Itu impianku sejak kecil. Melihat orangutan di alam bebas. Lagipula, sebelum kita pergi ke Bandung, aku ingin melihat mereka dulu.”

Fahmi tidak langsung menjawab. Dia berpikir lama sebelum akhirnya berkata, “Baiklah. Tapi setelah itu, kita harus serius memikirkan rencana pergi dari kota ini.”

Aku tersenyum tipis. “Aku setuju.”

Aku membuka pintu, dan untuk pertama kalinya sejak tadi, aku melihat wajahnya dengan jelas. Mata Fahmi dipenuhi rasa bersalah. Senyumannya tak seterang biasanya. Ini pertama kalinya aku melihatnya begitu… menyedihkan. Aku membalas senyumnya sedikit, masih menyisakan kekesalan dalam hati.

“Boleh aku masuk dan memelukmu?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk pelan. Fahmi langsung merengkuhku dalam pelukan erat. Aku ragu-ragu membalasnya, tapi akhirnya aku melingkarkan tanganku di pinggangnya.

“Maafkan aku, Maya. Sungguh.”

Aku mengangguk. “Iya.”

Setelah kami duduk di sofa, Fahmi mulai menceritakan apa yang terjadi. Dia menceritakan bagaimana ayah dan ibunya menyita ponsel lamanya, bagaimana dia dijaga ketat dan bagaimana dia akhirnya bisa kabur hari ini dengan alasan kuliah, meski kenyataannya dia membolos demi menemuiku.

Aku akhirnya memaafkannya. Setelah itu, aku bersiap-siap untuk kencan pertama kami. Aku tidak sabar melihat orangutan untuk pertama kalinya. Aku mengenakan kaos lengan panjang, dan celana Jeans lengkap dengan tas selendang di bahuku. Sedangkan untuk Fahmi aku memberinya jaket bertudung agar dia tidak mudah dikenali. Kami pun berangkat dengan motor yang Fahmi pinjam dari temannya.

Selama perjalanan, aku memeluknya erat. Kami bercanda sepanjang jalan. Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti pasangan yang benar-benar jatuh cinta.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku tahu satu hal. Aku mencintainya, dan aku ingin mempertahankan kebersamaan ini selama mungkin.

Akhirnya, kami tiba di Nyaru Menteng. Ini adalah pertama kalinya aku berkunjung, dan sepanjang jalan masuk, berbagai kedai sederhana berjejer, menjajakan makanan, minuman, serta sayur-sayuran untuk memberi makan orangutan.

Aku begitu antusias melihat banyak poster informatif tentang orangutan. Daftar bayi-bayi orangutan yang baru diselamatkan dari alam liar tampak menggemaskan. Hatiku meleleh.

"Ayo, Maya! Jangan bengong terus di situ," seru Fahmi.

"Iya, iya. Aku gak bengong kok, cuma takjub." Aku berlari kecil menghampiri Fahmi yang sudah lebih dulu melangkah masuk ke area penangkaran.

Di dalam, kami disambut oleh jembatan kayu yang membentang di atas rawa-rawa hutan. Jalur ini dibuat agar pengunjung bisa dengan mudah menyusuri hutan dan mengamati kehidupan orangutan dari kejauhan.

"Mana orangutan nya?" tanyaku penasaran.

"Sabar, baru ja kita masuk kan."

Kami terus melangkah dan melihat sebuah peta di pojok jalan. Aku memperhatikan peta itu, lalu kami berjalan ke arah kiri sesuai arah peta untuk melihat seekor orangutan yang sedang diberi makan oleh seorang Ranger.

Astaga, lucu sekali! Bibirnya monyong saat meminta makanan, dan sesekali tangannya terulur untuk meraih buah yang diberikan Ranger. Aku terpukau dan buru-buru mengambil foto.

Setelah puas mengamati, kami melanjutkan perjalanan. Sesekali aku berhenti untuk merapikan riasan wajah menggunakan kaca kecil yang selalu kubawa di tas. Di tengah-tengah jalur kayu, Fahmi mengulurkan tangannya kepadaku, meminta agar aku menggenggamnya. Aku tersenyum, lalu meraih tangannya. Kami berjalan beriringan dan bercengkrama seperti sepasang kekasih.

Namun, ada sesuatu yang aneh. Kami mendengar suara langkah kaki di belakang, tapi saat menoleh, tak ada siapa pun.

"Fahmi, kamu merasa nggak? Sepertinya kita diikuti."

"Sepertinya iya..."

Kami mulai gelisah dan memperlambat langkah. Tiba-tiba, tas selendang yang aku kenakan ditarik paksa dari belakang.

"Aduh!"

Aku menoleh cepat dan melihat seekor orangutan melarikan tasku! Dia berlari dan naik ke atas pohon bergelayutan dengan tas selempangku di tangannya.

"Fahmi, tolong! Tasku"

Aku berteriak panik. Di dalam tasku ada dompet dan ponsel. Jika hilang, bisa celaka!

Fahmi sigap mengejar. Ia bahkan berlari menuruni jembatan, menyusuri hutan sambil mendongak ke atas pohon, mengikuti si pencuri berbulu itu.

"Fahmi, hati-hati!" teriakku.

Aku celingukan mencari bantuan. Tak terlihat seorang Ranger pun. Akhirnya, aku berlari ke pos penjaga untuk meminta pertolongan.

Aku menemukan beberapa Ranger yang sedang berjaga. Aku menceritakan apa yang terjadi. Mereka segera bergerak, membawa peralatan yang tak kuketahui namanya.

"Di mana kamu diserang?"

"Di sana!" Aku menunjuk arah tempat kehilangan tasku.

Beberapa Ranger turun dari jembatan lalu bergegas menyusurinya. Aku dan seorang ranger memanggil-manggil nama Fahmi.

"Di sini!" sahut Fahmi dari kejauhan.

Kami segera berlari ke arahnya. Sesampainya di sana, Fahmi berdiri di bawah sebatang pohon, menunjuk ke atas.

Aku menatap si orangutan pencuri yang kini tengah mengeluarkan isi tasku, seolah mencari sesuatu. Tiba-tiba, dia menarik sebuah benda kecil yang berkilauan.

Astaga! Itu cermin ku!

Orangutan itu tampak terpesona dengan bayangan dirinya sendiri. Dia mengabaikan semua barang lain dan hanya membawa cermin, sedangkan yang lainnya dia jatuhkan ke tanah.

Fahmi buru-buru memungutnya dengan lega untuk diberikan padaku. Sedangkan aku tertawa menyaksikan tingkah lucu orangutan yang menirukan aksiku ketika bercermin. Bahkan para Ranger pun tertawa melihat kejadian ini.

Seorang ranger menghampiri kami dan meminta maaf atas kelakuan orangutan asuhannya. Dia bahkan menawarkan cermin pengganti, tetapi aku tak mempermasalahkannya.

"Tunggu, aku rasa aku mengenalmu," ujar seorang Ranger, menunjuk Fahmi. "Kamu putra Pak Yahya, kan? Fahmi?"

Fahmi mengangguk. Aku menatapnya heran.

"Astaga, kau mirip sekali dengan ayahmu!" Ranger itu tersenyum lebar.

"Bapak siapa?" tanya Fahmi heran.

"Oh, maaf! Aku Setyo. Sahabat ayahmu semasa kuliah. Dulu sekali, hahaha!"

Fahmi membalas senyuman itu dan bersalaman. Aku pun ikut bersalaman dengan ranger ramah itu.

"Sedang apa kamu di sini? Eh, tunggu…" Pak Setyo melirik ke arahku. "Ah, pasti sedang kencan, ya? Hahaha!"

Fahmi mengangguk, sementara aku tersipu malu.

Kami sedikit mengobrol dengan pak Setyo, kemudian berfoto bersama. Setelahnya berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Pak Setyo sempat menunjuk beberapa tempat terbaik untuk melihat orangutan di habitatnya.

Namun, saat kami berjalan, ponsel Fahmi yang ditukarkan oleh orang tuanya baru saja berdering. Dia menatap layar, lalu mendesah pelan.

"Sial," gumamnya.

"Kenapa?" tanyaku.

Fahmi tidak menjawab. Ia menjauh dariku dan mengangkat panggilan itu. Aku masih bisa mendengar samar-samar percakapan mereka.

"Sedang apa kau di Nyaru Menteng? bersama Maya lagi. Bukankah kau bilang sedang ada di kampus?" suara Pak Yahya terdengar tegas.

"Aku… beneran di kampus kok" Fahmi berusaha berbohong.

"Jangan bohong! Aku melihat status Setyo yang mengunggah foto kalian di sana. Kau sudah berani berbohong pada ayah sekarang, ya?!"

Wajah Fahmi menegang. Dia terlihat kesal dalam percakapannya. Aku mulai panik. Tak ingin menjadi penyebab pertengkaran mereka.

Setelah percakapan yang panas, Fahmi menutup telepon, dia kembali menghampiriku. "Aku harus pulang. Para pengawalku dalam perjalanan ke sini."

"Apa semua baik-baik saja?"

"Entahlah… Mungkin aku akan dimarahi habis-habisan lagi."

Aku menghela napas, merasa bersalah. Namun Fahmi berucap menghibur. "Tak apa, kita masih punya sedikit waktu. Kau ingin melakukan apa?"

Aku tersenyum kecil, tetapi itu senyum yang ku paksakan.

"Kita pulang saja yuk."

Fahmi mengangguk. Setidaknya, kami sudah merasakan kencan impian bersama, meski sebentar.

Kami melangkah keluar, sambil berpegangan tangan. Seolah tak ingin berpisah.

Namun, sesampainya di gerbang, kami mendapati beberapa pria berjas hitam sudah berjajar rapi, menunggu Fahmi.

"Itu mereka," ucap Fahmi dengan nada lelah. "Aku akan menghubungimu lagi. Janji. Berikan nomormu"

Aku mengatakan nomor ponselku dan Fahmi mencatanya di ponselnya. Setelah itu, aku melepasnya lagi untuk kesekian kali. Saat Fahmi pergi, seseorang berseragam hitam menghampiriku dan menyerahkan sebuah amplop.

Aku mengernyit. "Apa ini?"

"Buka."

Dengan hati berdebar, aku membuka amplop itu dan membaca isinya.

Maya, dengan rasa hormat, aku meminta padamu untuk menjauhi Fahmi. Ini demi keselamatan kita semua. Organisasi Mr.James masih berkeliaran diluaran sana dan bisa saja melukai kalian. Oleh karena itu, perlindungan ekstra untuk Fahmi dan menjauhnya dirimu dari keluarga kami akan menjadi cara ampuh untuk menghindari masalah besar yang mungkin akan terjadi. Semoga kau bisa mengerti dan memprioritaskan keselamatanmu sendiri seperti aku memprioritaskan keselamatan Fahmi.

Tertanda, Yahya.

Aku menatap surat itu lekat-lekat. Dadaku terasa sesak, kepalaku pusing, tak tahu harus menanggapi seperti apa permintaan pak Yahya. Jika aku tetap bersama Fahmi, maka prediksi yang dikatakan Pak Yahya dalam suratnya mungkin saja akan terjadi. Aku akan berada dalam bahaya. Begitu juga Fahmi dan keluarganya. Tapi perasaanku padanya terus bertumbuh menjadi cinta. Apakah aku harus mengorbankan perasaan dan memprioritaskan logika?

Konflik batin yang kualami sungguh menyakitkan apalagi konflik antar penguasa yang mengerikan membuat kisah cintaku tidak berjalan lancar. Inilah saatnya aku harus mengambil keputusan, mempertahankan atau meninggalkan Fahmi.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
God's Blessings : Jaws
1844      847     9     
Fantasy
"Gue mau tinggal di rumah lu!". Ia memang tampan, seumuran juga dengan si gadis kecil di hadapannya, sama-sama 16 tahun. Namun beberapa saat yang lalu ia adalah seekor lembu putih dengan sembilan mata dan enam tanduk!! Gila!!!
Kutunggu Kau di Umur 27
4792      1979     2     
Romance
"Nanti kalau kamu udah umur 27 dan nggak tahu mau nikah sama siapa. Hubungi aku, ya.” Pesan Irish ketika berumur dua puluh dua tahun. “Udah siap buat nikah? Sekarang aku udah 27 tahun nih!” Notifikasi DM instagram Irish dari Aksara ketika berumur dua puluh tujuh tahun. Irish harus menepati janjinya, bukan? Tapi bagaimana jika sebenarnya Irish tidak pernah berharap menikah dengan Aks...
dr. romance
943      557     3     
Short Story
melihat dan merasakan ucapan terimakasih yang tulus dari keluarga pasien karena berhasil menyelamatkan pasien.membuatnya bangga akan profesinya menjadi seorang dokter.
Anak Magang
118      110     1     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
Melepaskan
458      314     1     
Romance
Ajarkan aku membenci tawamu, melupakan candamu. Sebab kala aku merindu, aku tak bisa lagi melihatmu..
Golden Cage
493      284     6     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...
Untuk Navi
1153      642     2     
Romance
Ada sesuatu yang tidak pernah Navi dapatkan selain dari Raga. Dan ada banyak hal yang Raga dapatkan dari Navi. Navi tidak kenal siapa Raga. Tapi, Raga tahu siapa Navi. Raga selalu bilang bahwa, "Navi menyenangkan dan menenangkan." *** Sebuah rasa yang tercipta dari raga. Kisah di mana seorang remaja menempatkan cintanya dengan tepat. Raga tidak pernah menyesal jatuh cinta den...
Depaysement (Sudah Terbit / Open PO)
3833      1586     2     
Mystery
Aniara Indramayu adalah pemuda biasa; baru lulus kuliah dan sibuk dengan pekerjaan sebagai ilustrator 'freelance' yang pendapatannya tidak stabil. Jalan hidupnya terjungkir balik ketika sahabatnya mengajaknya pergi ke sebuah pameran lukisan. Entah kenapa, setelah melihat salah satu lukisan yang dipamerkan, pikiran Aniara dirundung adegan-adegan misterius yang tidak berasal dari memorinya. Tid...
Rembulan
1166      653     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Novel Andre Jatmiko
9492      2074     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...