Udara di apartemenku terasa semakin panas, padahal AC sudah aku turunkan ke 17 derajat. Apakah ini efek dari perasaan kami yang semakin membara, terbakar api cinta yang terus membesar? Aku merasakan desakan kuat di dadaku, seolah ada sesuatu yang ingin dikeluarkan, seperti hasrat untuk memiliki Fahmi sepenuhnya.
Fahmi masih memegangi wajahku setelah ciuman intens yang baru saja kami bagi. Aku benar-benar melayang. Ini adalah kali kedua kami menghabiskan waktu bersama—namun kali ini tidak ada intimidasi, tidak ada kejaran orang jahat, dan tidak ada ancaman dari pengeboman. Semuanya terasa damai. Aku berharap momen ini bisa bertahan selamanya.
"Fahmi, aku mencintaimu," bisikku lirih.
"Aku juga mencintaimu, Maya," balasnya lembut.
Aku memeluknya erat, tak ingin lagi kehilangan dirinya. "Kumohon, jangan pernah pergi lagi dariku." Aku mengatakannya dengan seluruh perasaanku.
Fahmi mengusap punggungku pelan. "Aku akan selalu ada di sisimu."
Hari beranjak malam. Cahaya matahari menghilang, berganti dengan sinar rembulan dan gemerlap bintang yang menghiasi langit Palangka Raya. Fahmi mengajakku berdiri di balkon, menikmati pemandangan malam sembari menceritakan pengalaman pahitnya saat diculik. Bagaimana ia sempat putus asa, takut, dan merasa kehilangan segalanya.
Aku mendengarkan dengan seksama, kepalaku bersandar di pundaknya. Namun, saat cerita itu mulai terasa terlalu berat, aku memintanya agar ia berhenti.
"Sudah cukup," ucapku pelan. "Aku ingin mendengar sesuatu yang lebih menyenangkan. Ceritakan hal-hal indah saja."
Tapi yang dilakukan Fahmi justru membuatku terkejut.
Dia menggenggam tanganku, dan menarikku perlahan menuju kamar tidur.
Aku menelan ludah. "Fahmi, aku... aku tidak bisa." Aku menjawab dengan lirih, aku mulai bisa menebak akan menuju kemana pertemuan ini.
Fahmi berhenti, lalu menatapku dengan lembut. "Tidak apa, Maya. Aku hanya ingin bersamamu."
Aku ragu, namun tubuhku seperti menolak perintah otakku. Ada bagian dalam diriku yang justru menginginkan kebersamaan ini. Aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam kamar, dan dengan satu gerakan, Fahmi menutup pintu.
Tiba-tiba, bel apartemen berbunyi keras berkali-kali.
Kami terlonjak kaget.
"Siapa itu?" tanya Fahmi waspada.
Aku menggeleng. "Aku tidak tahu. Biarkan aku periksa."
Saat aku hendak pergi ke pintu, Fahmi menahan tanganku. "Mungkin itu pengawal. Tunggu, aku harus bersembunyi dulu."
Aku mengangguk dan membiarkan Fahmi bersembunyi. Setelah memastikan tidak ada jejak keberadaannya, aku berjalan menuju pintu.
Bel masih terus berbunyi tanpa henti. Aku mengintip di antara celah pintu dan langsung tercekat.
Beberapa pria berseragam hitam, memakai kacamata gelap dan earphone di telinga mereka, berdiri di depan apartemenku. Aku yakin mereka yang dimaksudkan. Para pengawal keluarga Fahmi.
Jantungku berdegup kencang. Aku ragu untuk membuka pintu, tapi mereka terus menekan bel. Akhirnya, dengan tangan gemetar, aku membuka sedikit pintu apartemenku.
Namun, tanpa peringatan, mereka mendorong pintu hingga aku terjatuh ke belakang.
"Aduh!" erangku kesakitan.
"Dimana Fahmi?!" bentak salah satu dari mereka.
Aku mencoba tetap tenang. "Siapa kalian? Datang-datang langsung menerobos masuk! Aku tidak tahu siapa Fahmi!"
"Jangan berbohong! Kami tahu siapa kau. Cepat beritahu di mana dia, atau sesuatu yang buruk akan terjadi."
Ancaman mereka membuatku ketakutan, tapi aku tidak boleh goyah. Aku harus melindungi Fahmi.
"Kalian masuk ke apartemen orang lain tanpa izin," ujarku, mencoba mengancam balik. "Aku bisa melaporkan kalian ke polisi."
Namun, mereka tak peduli. Salah satu dari mereka memberi perintah untuk menggeledah seluruh apartemenku.
Aku panik. Aku hanya bisa berdiri di tengah ruangan, berharap mereka tidak menemukan Fahmi.
Salah satu dari mereka membuka jendela balkon—tempat di mana Fahmi bersembunyi.
Aku menahan napas.
Mereka mengamati balkon, menengok ke kiri dan kanan, namun tidak menemukan siapa pun.
Aku tersentak khawatir. Seharusnya Fahmi ada di sana. Tapi syukurlah, dia tidak ketahuan.
Setelah beberapa saat pencarian sia-sia, aku akhirnya mengambil risiko untuk berbohong.
"Baiklah," ucapku dengan suara bergetar. "Aku memang kenal dengan Fahmi. Dia tadi sempat datang kemari, tapi aku sudah mengusirnya. Aku tidak mau terlibat dalam masalah keluarganya lagi."
“Jangan berbohong!”.
“Tidak, benar. Aku berkata jujur”.
"Kemana dia pergi?" tanya salah satu pengawal dengan nada tajam.
Aku menelan ludah, berpikir cepat. "Ke rumah temannya, Fajar, di tepian Sungai Kahayan."
“Aduh maafkan aku pak Fajar, aku terpaksa menggunakan namamu untuk menyelamatkan Fahmi, semoga saja kau memaafkanku.” Dalam hati aku berbisik.
Mereka saling bertukar pandang, kemudian berhenti mencari dan bersiap pergi. Beberapa dari mereka melaporkan sesuatu melalui radio komunikasi.
“Setidaknya minta maaf karena telah mengacak-acak apartemenku”. Dengus ku kesal. Namun mereka pergi begitu saja. Setelah yakin mereka benar-benar pergi, aku berlari ke balkon. Aku membuka jendela dan mencari keberadaan Fahmi.
"Fahmi! Mereka sudah pergi!" panggilku.
"Aku di sini, Maya!" suara Fahmi terdengar dari bawah balkon.
Aku mengikuti arah suaranya dan menemukan Fahmi bergelantungan di pagar pembatas balkon.
"Astaga, Fahmi! Itu berbahaya!"
"Cepat bantu aku naik! Tanganku sudah mulai sakit!"
Dengan susah payah, aku menarik tubuhnya ke atas. Dia cukup berat, tapi akhirnya aku berhasil membantunya kembali naik ke atas balkon.
Aku menatapnya tajam. "Kau ini nekat sekali! Bisa saja kau jatuh dan celaka tahu!"
Fahmi menjawab. "Tidak ada pilihan lain. Kalau tidak, aku pasti tertangkap."
Aku mendengus kesal, tapi juga lega.
"Sekarang apa yang akan kau lakukan?" tanyaku.
"Aku harus segera pulang. Kalau mereka sadar aku hilang lebih lama, mereka bisa membuat kota ini geger. Itu akan merepotkan."
Hatiku mencelos. "Jadi kau akan pergi lagi?". Tertunduk.
Fahmi menatapku dalam. "Hei, lihat aku. Aku janji, ini tidak akan lama. Besok atau lusa, aku akan datang menemuimu lagi. Dan kita akan kabur ke Bandung. Kau percaya padaku, kan?"
Aku mengangguk. "Aku percaya."
Sebelum pergi, kami saling berpelukan cukup lama. Kami juga bertukar nomor telepon agar bisa tetap berkomunikasi. Hatiku terasa berat saat melepasnya pergi.
Setelah kepergiannya, apartemen terasa begitu sepi. Bulan dan bintang di luar jendela kini tampak redup, seolah kehilangan sinarnya. Aku merasa hampa. Aku kembali bersedih. Aku memang wanita yang lemah, pikirku.
Saat aku hendak membersihkan kekacauan di apartemen, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Fahmi.
"Kamu pasti sedih kan ditingalin aku. Jangan sedih terus dong, nanti cantiknya ilang lho π ."
Aku tersenyum. Seolah pesan sederhana itu cukup untuk menghapus kegundahanku.
Aku segera membalas pesan itu.
“Masa sedih, aku kan udah biasa ditinggalin sama kamu ππ ”.
Jawabku. Pesan terkirim dan ku harap Fahmi segera membalasnya.
Namun, setelah itu... tidak ada pesan balasan darinya.
Aku menunggunya semalaman. Tapi tidak ada kabar.
Aku kembali mengirim pesan kepadanya.
“Masih di jalan? Kamu baik-baik saja kah? π€”.
Namun lagi-lagi tidak ada balasan. Akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk tidur.
Pukul enam pagi, aku terbangun dengan mata yang masih berat. Tanganku meraba meja di samping tempat tidur, mencari ponselku. Begitu layar menyala, aku terkejut melihat puluhan panggilan tak terjawab dan pesan masuk.
Siapa lagi kalau bukan dari Fahmi
Aku membuka satu per satu pesannya:
"Maaf baru balas, tadi HP ku disita ayah. Kamu gak apa-apa kan? Kok belum balas? Kamu di mana? Kamu marah? Udah tidur ya? Aku pingin ngobrol."
Pesannya terus berulang dengan nada yang sama—cemas, manja, dan sedikit menggemaskan.
Aku menghela napas dan tersenyum kecil. Ini pertama kalinya aku mendapat pesan seperti ini—pesan yang mungkin bagi sebagian orang terasa berlebihan, bahkan ‘sampah’. Tapi anehnya, aku suka.
Tanpa ragu, aku segera membalasnya dengan permintaan maaf dan pesan berbahasa cinta. Percakapan kami pun berlanjut hingga akhirnya Fahmi mengajakku bertemu nanti malam di sebuah restoran untuk makan malam bersama.
Awalnya aku ragu. Dengan penjagaan ketat dari keluarganya, apakah dia bisa datang? Namun, Fahmi meyakinkanku bahwa semuanya telah ia rencanakan agar pertemuan kami berjalan lancar.
Aku setuju.
Hari itu aku habiskan untuk bersiap-siap. Aku memilih dan mencoba semua pakaian di lemari, berulang kali bercermin, mencari yang paling cocok untuk kencan pertamaku. Setelahnya, aku mencoba beberapa riasan meski aku sendiri bukan ahli dalam berdandan.
Akhirnya, malam yang kutunggu pun tiba.
Aku berdiri di depan gedung apartemen, tepat di pintu masuk gedung, menunggu kedatangannya. Aku sudah mengirimkan pesan bahwa aku siap untuk dijemput, tetapi tak ada balasan. Tidak seperti tadi pagi, saat dia begitu aktif membalas pesanku.
Aku masih berpikiran positif. Mungkin dia sedang dalam perjalanan.
Namun, lima belas menit berlalu. Tiga puluh menit. Satu jam.
Fahmi tidak juga datang.
Aku mulai panik. Kucoba meneleponnya berkali-kali, tetapi tak ada jawaban. Aku kembali mengirim pesan, berharap ada sedikit respon darinya. Tapi tetap sunyi.
Aku menggigit bibir, mulai merasa gelisah.
Rasa kesal pun mulai menjalar. Aku mendengus kesal, berjalan mondar-mandir di trotoar dengan tangan terlipat di dada. Orang-orang di sekitar melirik ke arahku, beberapa bahkan berbisik-bisik, mungkin bertanya-tanya kenapa ada seorang perempuan berdandan menor berdiri sendirian di pinggir jalan layaknya perempuan bayaran.
Rasa malu mulai merayapi tubuhku.
Namun, yang lebih menyakitkan adalah perasaan di hatiku.
Fahmi… dia tidak datang.
Aku terus mencoba berpikir positif. Mungkin ada sesuatu yang terjadi. Mungkin HP nya disita oleh ayahnya lagi atau mungkin dia terjebak dalam sesuatu yang tidak bisa dia hindari. Seharusnya tidak pernah aku iyakan ajakan dia pagi tadi.
Tapi… bukankah itu kejam?
Semakin lama aku berdiri di sini, semakin hatiku dipenuhi dengan emosi yang sulit dijelaskan—kecewa, marah, sedih. Aku seharusnya tahu diri, kalau aku dan Fahmi adalah bumi dan langit. Kami berbeda, tidak seharusnya bersama.
Aku berjalan lemas masuk kembali ke apartemenku, walau sesekali aku menoleh ke belakang, berharap Fahmi ada menghampiriku, tapi itu semua sia-sia karena faktanya…
…Fahmi berbohong padaku.
Aku menitikkan air mata.