Seperti yang aku duga, setelah pengusiran dari kediaman Pak Yahya beberapa hari lalu, kabar tentang Fahmi tidak lagi kudengar. Aku mencoba kembali ke rumah sakit untuk menemuinya, tetapi para pengawal keluarga Pak Yahya menahanku. Mereka bahkan tidak mengizinkanku masuk. Sungguh kejam. Aku merasa sedih dan putus asa karena pertemuanku dengan Fahmi kini terasa semakin mustahil.
Akhirnya, aku kembali menempati apartemenku seperti dulu, seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun. Satu-satunya pengingat akan masa lalu adalah berita di televisi yang terus memberitakan Rey dan Elsa sebagai pelaku utama pengeboman di kota Palangka Raya.
“Pemirsa, kami melaporkan secara langsung dari gedung pengadilan negeri Jakarta Pusat untuk menyaksikan sidang perdana kasus pengeboman yang terjadi di kota Palangka Raya Kalimantan Tengah, Pelaku berinisial R dan E adalah pasangan suami istri serta satu orang berinisial I yang telah melakukan perencanaan pengeboman hingga menewaskan 50 orang korban jiwa.”
Siapa si inisial ‘I’ yang dimaksud di dalam berita. Apakah inisial yang dimaksud adalah Imam? Tapi kenapa? Aku sejenak terpikirkan akan masa lalu, namun aku mencoba menepis kenangan-kenangan buruk itu. Walaupun kenangan saat dulu sempat menjadi terduga terdakwa masih membuatku merinding. Tapi aku bersyukur. Setidaknya, semua itu sudah berakhir.
Namun, perasaanku pada Fahmi tak kunjung mereda. Setiap hari aku memikirkannya—bertanya-tanya apakah dia baik-baik saja, di mana dia berada, dan apa yang sedang dia lakukan. Kadang-kadang aku bertanya pada diri sendiri, kenapa aku harus pergi kemarin? Kenapa dia tidak mencariku? Aku yakin menemukan alamat apartemenku bukan hal yang sulit baginya. Tapi mungkin, keluarga dan para penjaganya telah menghalanginya.
Aku merasa hampa. Rasanya tidak ada dan tidak akan pernah ada laki-laki yang mencintaiku seperti Fahmi. Aku juga tidak lagi memiliki pekerjaan sejak gedung kantorku hancur. Sekarang aku hanya menghabiskan hari-hariku dengan berdiam diri di dalam apartemen, enggan keluar rumah. Dunia luar terasa seperti ladang ranjau—aku takut mengambil langkah, takut kejadian buruk kembali menimpaku. Andai saja aku benar-benar menerima ajakan Fahmi untuk kabur aja dulu ke Bandung, mungkin sekarang kami akan bahagia bersama.
Aku berjalan lemas ke kamar mandi, ingin membasuh tubuh yang sudah beberapa hari tak tersentuh air segar. Aku membuka keran, membiarkan air deras mengalir membasahi tubuhku.
Air di Palangka Raya agak sedikit berbeda dengan air di pulau Jawa, khususnya Kediri, kalau di sana, airnya dingin dan tidak berasa apapun. Disini, airnya terasa sangat licin, walaupun tidak bercampur sabun. Aku sudah beberapa tahun tinggal disini, namun aku masih saja belum terbiasa. Tapi segarnya air sungguh membuatku rileks.
Di tengah ritual mandiku, suara bel apartemen tiba-tiba berbunyi nyaring. Aku terlonjak kaget. Sejak kembali ke apartemen ini, belum pernah ada tamu yang datang. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi bel kembali ditekan berkali-kali.
"Sebentar!" teriakku, berharap orang di balik pintu bisa mendengarnya.
Aku segera melilitkan handuk di tubuhku dan berjalan menuju pintu. Aku hanya akan membukanya sedikit—cukup untuk melihat siapa yang datang tanpa memperlihatkan tubuhku yang hanya berbalut handuk.
Dengan hati-hati, aku membuka pintu beberapa senti dan mengintip ke luar. Begitu melihat siapa yang berdiri di sana, jantungku seakan berhenti berdetak.
"FAHMI?"
Aku tanpa sadar membuka pintu dengan lebar. Lalu mematung membisu. Begitu pula dengan Fahmi. Matanya membulat, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Uhuk," dia berdehem pelan, seperti mencoba mengingatkan aku akan sesuatu yang salah. Saat itu juga, aku tersadar—aku hanya mengenakan handuk! Tanpa berpikir panjang, aku segera membanting pintu, menutupnya rapat-rapat dan menguncinya.
Aku benar-benar malu. Seharusnya tadi aku mengenakan pakaian sebelum membuka pintu, malah memakai handuk saja, duh! Fahmi di luar mengetuk dan menekan bel lagi, tapi aku masih terlalu malu untuk membukanya. Aku berlari ke kamar, mengenakan pakaian secepat mungkin, lalu berdiri di depan cermin, memastikan diriku terlihat layak di hadapannya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Rasa bahagia menyelimuti hatiku. Orang yang selama ini kutunggu akhirnya datang!
Dengan tangan gemetar, aku membuka pintu kembali. Namun, sebelum aku sempat menariknya sepenuhnya, Fahmi tiba-tiba menarik pintu dari luar, membuatku sedikit terdorong ke belakang.
Aku hampir jatuh, tapi dalam sekejap, Fahmi menangkap lenganku dan menahan tubuhku.
Mata kami bertemu. Begitu dekat. Aku bisa melihat tatapan yang sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Mata yang pernah menorehkan kenangan indah dalam hidupku.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya pelan.
"A-aku baik-baik saja," jawabku gugup.
Aku segera berdiri tegak dan merapikan pakaianku, meski sebenarnya tidak berantakan sama sekali.
Fahmi tersenyum kecil. "Kau salah tingkah, ya?"
Aku mendengus dalam hati. "Dasar menyebalkan! Sudah tahu iya, kenapa masih diperjelas?"
"Silakan masuk, maaf sedikit berantakan," ucapku akhirnya.
"Kenapa formal sekali? Santai ja. Aku masuk ya."
Aku mengangguk dan menutup pintu setelahnya. Aku segera menyibukkan diri merapikan apartemen yang memang sedikit berantakan. Sementara itu, Fahmi hanya duduk di sofa, memperhatikanku.
"Kenapa kau tiba-tiba datang?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana.
"Bukan salahku kalau kau tidak bisa dihubungi," jawabnya santai. "Aku bahkan tidak tahu nomor teleponmu."
Aku teringat. Aku tidak pernah menerima ponsel yang sempat akan dia berikan waktu itu, jadi tidak heran dia kesulitan mencariku.
"Maaf, ada kejadian tak terduga."
"Aku tahu," katanya tenang. "Karena ayahku mengusirmu, kan?"
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Kemudian mengalihkan obrolan. "Mau minum apa? Akan ku buatkan."
"Tidak usah repot-repot."
Meski dia menolak, aku tetap berjalan ke dapur dan membuat teh untuknya. Sebenarnya dapurku tidak terhalang sekat, jadi aku tahu dia masih bisa melihatku. Rasanya canggung.
Setelah teh selesai, aku kembali ke ruang tamu dan menyerahkan cangkir kepadanya.
"Bagaimana kabarmu?" tanyaku.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya bersamaan denganku.
Aku tersipu malu.
"Haha, aku baik. Kamu?"
"A..aku juga baik."
Hening sejenak.
"Aku sudah dengar semuanya," kata Fahmi akhirnya. "Pelaku penculikan sudah tertangkap. Pengeboman di kota Palangka juga sudah teratasi."
Aku tetap diam.
"Bukankah itu bagus? Artinya kita bisa aman di kota ini."
Aku mengangguk pelan. "Iya."
Fahmi mengerutkan dahi, tampak kurang puas dengan jawabanku yang singkat.
"Masih mau kabur aja dulu ke Bandung?" tanyanya tiba-tiba dengan senyum tipis.
Aku menatapnya heran. "Kenapa?"
"Karena aku tahu, pelaku pengeboman sebenarnya bersindikat dengan organisasi milik Mr. James."
Aku tersentak. "Kok kamu tahu?"
"Aku memaksa Detektif Rifqi untuk mengatakan yang sebenarnya. Orang tuaku seperti biasa, hanya diam dan penuh kebohongan."
Aku terdiam, menyimak setiap kata yang diucapkannya.
"Jadi, bagaimana? Bandung?" tanyanya lagi.
Aku menelan ludah. "Aku tidak tahu." Jawabku ragu. Sejatinya, tidak ada alasanku untuk pergi kesana. Aku tidak memiliki siapapun disana. Fahmi menatapku tajam. "Sejujurnya perasaanku padamu tidak pernah berubah sedikit pun, Maya. Apa perasaanmu padaku berubah?"
Aku menggeleng pelan. "Tidak."
“Lalu?”
“Hmm, hanya saja kenapa harus Bandung, aku tidak memiliki siapapun disana”.
Fahmi terdiam sejenak, kemudian melangkah menuju jendela apartemenku, dan mengintip sedikit diantara gorden. Aku tidak mengerti apa yang dia lakukan.
“Sejujurnya hari ini aku sedang melarikan diri dari pengawalan penjaga-penjagaku”.
Astaga, benarkah. Anak ini benar hobi sekali kabur-kaburan.
“Setelah kejadian penculikan, orang tuaku begitu ketat menjaga diriku. Aku benar-benar tidak nyaman. Jadi ketika ada kesempatan, satu-satunya tempat yang ingin aku tuju adalah dirimu”.
“Kenapa kau bisa tahu tempatku?”.
“Pegawaiku yang memberitahuku”.
“Oh”. Tidak mengherankan.
Fahmi kembali terduduk di kursi tamu. Kemudian meminum teh yang tadi kubuatkan. Mungkin sekarang sudah dingin.
“Menyambung obrolan tadi, aku ingin pergi bersamamu ke Bandung dan memulai hidup baru disana. Sebagai pasangan”.
“Sebentar, maksudmu menikah?”. Aku terkejut dengan pernyataanya.
“Oh, maaf bukan begitu maksudku”. Fahmi kikuk, mencoba mengoreksi kalimatnya. ”Aku ingin kehidupan yang tenang di kota yang tidak mengenal aku dan latar belakang keluargaku sama sekali. Disana aku bisa melanjutkan kuliah, sedangkan kamu bisa mencari pekerjaan dengan aman. Dan kita bisa berpacaran dengan nyaman”.
“Kita akan berpacaran?”.
“Kan sudah. Kukira ciuman kita di Kahayan adalah tandanya?”.
“Hah, tunggu-tunggu. Aku tidak pernah menganggap itu ajakan berpacaran”. Aku mencoba meluruskan kesalahpahaman diantara kami. Karena memang sebelumnya aku tidak pernah menganggap hubungan kami sebagai pacaran. Hanya pertemanan yang istimewa.
Fahmi tersenyum, lalu berdiri dan berjalan mendekatiku. Wajahnya hanya beberapa inci dariku.
“Kau mau apa?”.
Sesaat dia tidak menjawabku, aku semakin gugup. Nafasku tersengal. Jantungku berdegup lebih kencang. Perasaan ini kembali lagi padaku.
"Kalau begitu... maukah kau menjadi pacarku?"
Aku tidak menanggapi, peluh keringat mulai mengguyur di keningku. Sungguh mendadak, namun aku begitu bahagia. Seolah sedang terbang di angkasa luas tanpa ada yang menghalangi. Wajah Fahmi begitu dekat dengan diriku. Ini benar-benar seperti mimpi yang menjadi nyata. Aku tak mampu berkata-kata. Namun, tanpa sadar, aku ikut mendekat ke arahnya...
...lalu kami berciuman.