"Apa kau bilang?"
Pengakuan Elsa menghentikan semua tindakan kami, terutama Pak Yahya yang sedari tadi ‘asik’ mencabuti kuku-kuku Rey. Ruangan interogasi yang dipenuhi ketegangan kini berubah hening. Semua orang menatap Elsa dengan tatapan penuh pertanyaan.
"Elsa, jadi Rey adalah suamimu?" tanya Detektif Rifqi, matanya menelisik tajam.
Elsa mengangguk kecil.
Di depannya, Rey menggelengkan kepala, ekspresinya penuh rasa sakit yang tak tertahankan. Sepertinya dia ingin agar Elsa tetap diam.
"Apa kau juga kolaboratornya?" lanjut Detektif Rifqi.
Elsa menunduk. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Iya… kami yang menyusun rencana untuk…" suaranya tercekat. Isak tangis mulai keluar dari matanya. "…untuk membunuh Maya dan menghancurkan keluarga Pak Yahya."
Aku terpaku. Semua orang di ruangan ini terdiam membeku. Fakta ini jauh lebih besar dari yang kami kira. Perseteruan konglomerat yang berujung dendam pribadi telah melahirkan dua orang yang tak kalah berbahayanya. Elsa dan Rey, pasangan suami istri yang menyimpan kebencian begitu dalam.
"Kau juga yang meledakkan bom hari ini?" tanya Detektif Rifqi, suaranya lebih dingin daripada sebelumnya.
Elsa menggeleng cepat. "Bukan. Aku tidak tahu soal itu. Itu di luar rencana kami."
"Oh begitu, lantas apa kau juga terlibat dalam penculikan Fahmi?“. Tanya detektif untuk kedua kalinya. Elsa lagi-lagi mengangguk mengiyakan. Aku tertegun tidak percaya mengetahui fakta keterlibatan Elsa. Sungguh diluar dugaan jika orang pendiam seperti dia, memiliki niat jahat yang mengerikan.
Sebelum Detektif Rifqi melanjutkan pertanyaannya, istri Pak Yahya maju dan menatap Elsa dengan penuh amarah sekaligus harapan.
"Di mana Fahmi? Tolong jawab dengan jujur!" suaranya bergetar.
Elsa menoleh, matanya penuh kebimbangan. "Dia… dia kami sembunyikan…"
"Jangan, Elsa! Jangan!" Rey memotong ucapannya, suaranya penuh kepanikan. "Jangan kasih tahu mereka! Ingat, mereka udah ngebunuh anak kita!"
Elsa tersentak. Isak tangisnya semakin keras, seakan ada pergolakan batin yang luar biasa. Dia tersungkur ke lantai, menangis.
Istri Pak Yahya berjongkok di sampingnya, tangannya menggenggam bahu Elsa. "Aku juga seorang ibu. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang anak… Aku tahu sakitnya… Tapi kau sudah dengar sendiri, keluargaku bukanlah pelaku pengeboman itu. Kami juga korban. Kumohon, beritahu kami di mana Fahmi. Kita bisa mencari jalan keluar bersama."
Air mataku tak kuasa terbendung menahan tangis melihat kedua orang wanita di hadapanku saling tersayat hatinya akibat kehilangan seorang anak. Walaupun aku tidak memiliki anak, tapi Fahmi. Fahmi adalah orang pertama yang membuatku merasakan perasaan yang tidak biasa, perasaan yang orang mungkin sebut cinta. Jadi dia juga berarti—sangat—berarti untukku.
Aku melangkah mendekat, bergabung dalam lingkaran keheningan yang hanya diisi oleh suara isakan Elsa.
“Elsa. Izinkan aku berkata jujur, kalau aku sebenarnya …”. Aku terdiam, tercekat. Tenggorokanku seolah tertahan oleh sesuatu. “...mencintai Fahmi. Dia orang pertama yang membuatku merasakan kasih dan sayang, dia yang mengajarkan aku pengorbanan, dia orang pertama yang membuatku merasakan cinta. Jadi ku mohon, beritahu dimana dia sekarang?”. Aku menangis terisak ketika menyatakan perasaan itu dihadapan Elsa dan ibu Fahmi dan semua orang yang menyaksikan. “Karena dia berarti buatku”. lanjutku. Mereka semua terkejut. Bahkan aku bisa melihat Elsa sempat berhenti menangis tatkala mendengar pengakuanku
Ibu Fahmi menatapku, lalu merangkul pundakku dengan erat. "Tidak apa, Maya. Aku mengerti perasaanmu. Kemarilah, kita cari Fahmi bersama."
Aku tenggelam dalam pelukan hangatnya. Untuk pertama kalinya, aku merasa diterima. Aku merasa diperjuangkan. Mungkin, ini adalah kasih sayang yang selama ini sudah lama tidak aku dapatkan dari seorang ibu.
Elsa akhirnya membuka mulutnya. "Fahmi… kami sembunyikan di Bukit Tangkiling… Kami menyekapnya di sana."
Pak Yahya segera melangkah maju, menyambar lengan Elsa dengan kasar. "Apa maksudmu menyekapnya di sana? Bukit itu hanya penuh bebatuan! Bagaimana kalau dia mati?!"
Detektif Rifqi bergegas melerai, memastikan emosi Pak Yahya tidak semakin lepas kendali.
"Dia baik-baik saja…" suara Elsa terdengar lemah.
Pak Yahya melepas cengkeramannya, lalu dengan cepat menghubungi seseorang. "Siapkan mobil! Cepat!" bentaknya di telepon.
Dia menoleh pada kami. "Bu, Elsa, ikut aku! Yang lain tetap di sini. Detektif, buat Rey bicara. Dapatkan semua informasi yang kita butuhkan. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Cari tahu siapa yang meledakan rumahku pagi tadi"
Detektif Rifqi mengangguk, tapi menambahkan, "Setidaknya bawa polisi bersamamu."
"Baik," jawab Pak Yahya singkat, lalu bergegas keluar.
Aku tidak menyangka ketika Ny. Lena menggenggam tanganku. "Ikutlah bersama kami. Jika kau memang mencintai putraku, nyatakan langsung perasaanmu padanya."
Aku terkejut. Mulutku terbuka, tapi tidak ada kata yang bisa keluar. Namun, aku tahu ini adalah kesempatan yang tak boleh aku lewatkan. Aku mengangguk.
Kami berangkat dengan beberapa mobil, termasuk kendaraan polisi. Perjalanan menuju Bukit Tangkiling terasa panjang. Jalanan gelap, dan tak satupun dari kami berbicara.
Setelah 1,5 jam perjalanan yang penuh ketegangan, akhirnya kami tiba. Malam telah menyelimuti bukit. Tidak ada penjaga tiket, tidak ada tanda kehidupan.
"Cepat cari Fahmi!" perintah Pak Yahya begitu kami keluar dari mobil.
Aku menunggu di dekat kendaraan bersama Ny. Lena. Karena curamnya bukit dan banyaknya anak tangga menuju ke atas, pak Yahya melarang kami ikut.
Ny. Lena menggenggam tanganku erat, gurat wajahnya memperlihatkan dengan jelas kecemasan.
"Semua akan baik-baik saja, Bu," bisikku, mencoba meyakinkan dia namun lebih pada diri sendiri.
Lama kami menunggu, namun tidak ada kabar. Ny. Lena mulai panik, menelepon suaminya berulang kali tanpa jawaban. Aku merasakan napas nya dan napasku semakin berat.
Lalu, akhirnya…
Di tengah kegelapan malam, beberapa sosok muncul dari atas bukit. Mereka berjalan menuruni anak tangga yang curam, wajah mereka cemas. Aku melihat seseorang yang sedang digendong di punggung Pak Yahya.
Semakin dekat…
Dia…
Dia Fahmi.
Kondisinya lemah. Kulitnya pucat, bibirnya kering. Meskipun matanya terbuka, dia tampak kehilangan banyak energi.
Ny. Lena histeris, berlari mendekati anaknya, menangis dan meraba-raba anaknya seolah memastikan kalau itu benar-benar Fahmi. Aku berdiri membeku, air mata mengalir begitu saja. Tak menyangka bisa melihat wajah Fahmi lagi, walaupun dalam kondisi yang tidak baik, tapi setidaknya Fahmi selamat. Dia hidup. Dia tidak mati.
"Fahmi…" Aku menyebut namanya pelan.
Seolah mendengarku, dia menoleh dengan susah payah. Bibirnya bergerak. Aku bisa membaca ucapannya.
Kemudian ibunya menoleh ke arahku dan menyuruhku mendekat.
Aku berjalan mendekat dengan ragu-ragu. Namun Ny. Lena meyakinkan untuk terus mendekat. Akupun mendekat dan tersenyum tipis sambil air mataku tidak bisa tertahan lagi.
"Kau… se..la..mat…" ucap Fahmi lemah.
Aku mengangguk, tak bisa berkata apa-apa.
Tangisku pecah.
Setelah semua penderitaan, semua ketakutan, akhirnya aku kembali menemukan Fahmi. Aku tidak peduli dengan semua hal lain. Hanya satu yang aku tahu—aku tidak akan pernah melepaskannya lagi.
Jikalau kami hanya berdua saja saat ini, ingin rasanya aku memeluk dan mungkin menciumnya, sama seperti waktu itu yang dia lakukan di dalam gua. Tapi, saat ini waktunya tidak tepat. Aku urungkan niatku.
Fahmi diturunkan dari gendongan dan dibawa menggunakan tandu menuju mobil ambulance yang sudah terparkir. Dia dibawa kerumah sakit terdekat untuk dirawat.
Aku dan Ny. Lena mengikuti masuk kedalam ambulance, sedangkan pak Yahya dan polisi lainnya sibuk mengurusi Elsa. Dia bilang dia akan segera menyusul setelah mendengar semua kesaksian Elsa.
Kami berpisah. Namun aku dan Fahmi bersatu.
Di dalam mobil, Fahmi tidak sadarkan diri, dia di infus. Perawat bilang dia kelelahan dan sangat dehidrasi. Butuh segera di tolong. Ny. Lena memegangi tangannya, tidak mau dilepaskan. “Kau, duduklah disebelah sana dan peganglah tanganya”. Ibu Fahmi menyuruhku pindah ke sebelah lainnya. Awalnya aku sedikit ragu, namun aku beranikan diri dan memegang tangan Fahmi.
Jantungku berdegup kencang, sudah kesekian kalinya aku merasakan perasaan ini. Sungguh menyenangkan akhirnya bisa kembali dipertemukan dengan orang yang aku cintai. Bahkan sekarang ibunya pun seolah sudah memberikan restu kepada kami. Pikiran-pikiran indah segera menjalar di otakku, walaupun itu bukanlah kenyataan namun senyum tipis mulai tersunging di wajahku.
Cinta ini, setelah semua yang terjadi… masih ada.