Kondisi pak Imam memprihatinkan sejak dia ditembak oleh Rey, namun para pengawal pak Yahya yang sedari tadi menunggu diluar rumah, segera berhamburan ke dalam setelah mendengar suara tembakan dan membawa pak Imam ke rumah sakit untuk segera diobati.
Ruangan tengah akhirnya kembali tenang setelah Rey dilumpuhkan. Dia dibawa ke suatu tempat oleh beberapa orang karena luka tembak di kakinya membuatnya tidak bisa berjalan. Wajahnya penuh amarah, sumpah serapah terlontar dari mulutnya.
Sikap Rey yang dulu periang kini lenyap, berganti dengan ekspresi kebencian dan kepedihan. Aku pun merasakan hal yang sama. Bagaimana bisa orang yang selama ini tampak menyenangkan ternyata dalang dari penculikan Fahmi dan percobaan pembunuhanku?
Namun ada satu hal yang mengganggu pikiranku, aku menghampiri detektif dan bertanya kenapa aku tidak mengenali wajah Rey sebagai pelaku penculikan? Detektif Rifqi terdiam berpikir kemudian menyuruhku menunggu sampai interogasi Rey dilakukan. Akupun mengangguk.
Elsa sempat bertanya kemana Rey akan dibawa. Namun, detektif Rifqi hanya menyuruhnya untuk tidak khawatir dan menyerahkan semua ini kepadanya. Respon Elsa sama denganku, yaitu mengangguk pelan, tapi aku bisa melihat kegelisahan di matanya.
Jalanku sedikit gontai akibat ketegangan yang masih tersisa dari insiden tembak-menembak tadi. Elsa menghampiriku, dan kami berjalan bersama menuju kamar masing-masing. Namun, sebelum kami tiba, suara lantang Pak Yahya mengagetkan kami.
"Mau ke mana kalian? Kasus ini belum selesai sampai Fahmi ditemukan! Kembali ke tempat semula. Cepat!" perintahnya tegas.
Aku dan yang lainnya tak punya pilihan selain mengikuti perintahnya. Kami semua tahu bahwa Fahmi masih belum ditemukan, jadi apa boleh buat.
"Detektif, setelah luka Rey diobati, bawa dia ke ruangan 'itu'," lanjut Pak Yahya.
"Ruangan 'itu'? Apa maksud Anda ruangan interogasi? Bukankah lebih baik kita bawa dia ke kantor polisi," saran detektif Rifqi.
"Tidak! Aku ingin melakukannya sendiri. Aku tidak akan melepaskannya sebelum Fahmi ditemukan!" Wajah Pak Yahya begitu serius. Matanya penuh amarah, sorotnya mengingatkanku pada pertama kali aku bertemu dengannya. Sungguh menakutkan.
Detektif Rifqi mengangguk tanda setuju tanpa banyak bicara. Rey pun dibawa menuju ruang perawatan sebelum akhirnya Rey akan diinterogasi di tempat yang dimaksud Pak Yahya. Aku tidak tahu seperti apa ruangan itu, tapi firasatku mengatakan bahwa tempat itu bukan tempat yang menyenangkan.
Kami—aku, Elsa, Rahmat, Satria, Pak Yahya, istrinya, dan seorang pengawal—meninggalkan rumah dan menuju sebuah bangunan di dalam kompleks. Bangunan itu cukup besar, bentuknya menyerupai GOR tempat lapangan badminton. Aku memperhatikan Pak Yahya membuka kunci pintunya, lalu bersama pengawal, mereka mendorong pintu besar yang berderit keras saat dibuka.
Saat aku melangkah masuk, aroma lembab dan apak menyeruak ke hidungku. Bau yang sangat familiar. Aku langsung teringat dengan malam saat aku diinterogasi di suatu ruangan. Sepertinya inilah ruangannya.
Pengawal menutup kembali pintu besar ruangan, menambah suasana mencekam. Aku melihat beberapa meja dan kursi berserakan, serta lampu sorot yang sangat aku kenali. Cahaya tajamnya mengarah ke sebuah kursi di tengah ruangan.
"Kalian tetap di sini. Kita akan mulai interogasi begitu Rey tiba. Aku tidak ingin membiarkannya kabur kalau-kalau kolaboratornya ada di antara kalian," ujar Pak Yahya.
Perkataannya terdengar begitu dingin dan menusuk. Aku merinding.
Kami menunggu dalam diam, suasana makin tegang. Pak Yahya mondar-mandir, terlihat gelisah. Istrinya sempat memintanya untuk duduk tenang, tapi dia mengabaikan.
Tak lama kemudian, Pak Yahya mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. Suaranya menggema di ruangan.
"Detektif, lama sekali! Cepat bawa Rey kemari!" bentaknya.
Dari seberang telepon, suara detektif Rifqi terdengar, "Baik, dokter masih memeriksanya. Untungnya luka di kakinya tidak parah, hanya goresan peluru."
"Aku tidak peduli! Cepat! Fahmi harus segera ditemukan!"
Pak Yahya menutup teleponnya dengan kasar.
Tak berapa lama kemudian, suara pintu terbuka mengalihkan perhatian kami. Tiga orang masuk, termasuk Rey yang dipapah oleh pengawal dan detektif Rifqi dengan tangan terborgol. Wajah Rey tampak pucat, tapi sorot matanya masih penuh kebencian.
Dia didudukkan di kursi di tengah ruangan. Tangannya kembali diborgol pada kursi. Lampu sorot langsung menyala, menyorot wajahnya yang mulai berkeringat.
Pak Yahya tanpa basa-basi langsung membentaknya, "Di mana Fahmi? Di mana anakku?!"
Rey hanya menatapnya dengan ekspresi merendahkan. "Heh, mana aku tahu," jawabnya ketus.
Pak Yahya mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah. Dia terus melontarkan pertanyaan yang sama, tapi jawaban Rey tetap sama—tidak serius dan tidak peduli. Hingga akhirnya detektif Rifqi mengambil alih.
"Rey, kau tidak memiliki dendam terhadap Pak Yahya, bukan? Tapi kenapa kau libatkan anaknya dalam masalah pribadimu?" tanya Rifqi.
Rey tersenyum sinis. "Hah, kukira kau serba tahu, detektif? Kemana sikap sok tahumu tadi?"
"Aku memberimu kesempatan bicara. Jika kau tidak serius, maka aku akan memakai cara lain," ancam detektif Rifqi.
Rey hanya tertawa kecil. "Yahya itu punya banyak musuh, tahu? Aku salah satunya. Dia nyelamatin aku, tapi dia juga ngerengut sesuatu yang berharga dari aku."
"Apa maksudmu?" tanya detektif.
"Sebelum aku kenal Yahya, aku tinggal di salah satu kompleks perumahan punya bos sawit. Aku, istri, dan anakku hidup bahagia di sana. Cuman saat anakku berumur satu tahun, ada kejadian yang ngubah segalanya."
Kami semua menahan napas.
"Kebakaran besar terjadi di kompleks perumahan kami. Api paling besar ada di rumah bos sawit, dia tewas. Tapi yang lebih buruk, anakku juga ikut jadi korban. Pas aku pulang, aku ngeliat istriku histeris. Rumah kami udah dilahap api. Anakku yang saat itu lagi tidur, terperangkap di dalamnya. Aku gak bisa nyelamatin dia."
Rey terdiam. Wajahnya tertunduk lesu.
"Aku nyelidikin penyebab kebakaran itu. Aku nemuin petunjuk kalau dalangnya adalah para konglomerat yang saling berseteru. Diantara perseteruan itu ada kau”. Rey menunjuk pak Yahya dengan kepalanya yang dicondongkan. “Yahya, Mr.James dan bos sawit. Akibat perseteruan kalian, anakku jadi korban." Rey menatap Pak Yahya dengan sorot penuh kebencian.
Aku tercekat. Jadi inilah alasannya?
"Sejak itu, aku bersumpah bakalan ngehancurin kalian. Aku nyusun strategi dan nyusup ke tubuh internal perusahaan Mr. James dan Yahya. Terus aku nyulik Fahmi biar si Yahya bisa ngerasain kehilangan anak sama kayak aku!"
Pak Yahya menggeleng, "Aku bukan dalang kebakaran itu!"
"Aku gak peduli! Berkat kalian, anakku mati!" teriak Rey, penuh amarah.
Detektif Rifqi melangkah maju dan mencondongkan wajahnya ke arah Rey. "Itu bukan kebakaran, Rey. Itu pengeboman. Aku yang menyelidikinya. Dan aku bisa memastikan bahwa Pak Yahya bukan pelakunya. Kau salah sasaran."
Tiba-tiba Rey meludah ke wajah detektif Rifqi. "Cuh!"
Kami semua terkejut.
Detektif Rifqi mengelap ludah yang ada di wajahnya. “Kemarahanmu sudah menyulut kebencian kami Rey. Kalau kau tidak mau memberitahu kami dimana Fahmi dan siapa kolaboratormu, maka kami akan melakukan cara yang lebih buruk daripada ini”.
Detektif Rifqi memberikan tanda pada salah satu pengawal. Kemudian membisikan sesuatu. Setelah itu, si pengawal pergi menuju salah satu kamar di pojokan ruangan.
Tak beberapa lama kemudian dia keluar membawa sebuah alat. Aku tidak tahu persisnya alat apa itu namun sekilas mirip seperti pencapit dengan ukuran sedang.
Detektif meraih alat tersebut dan menunjukkannya kepada Rey.
“Rey, setidaknya kami punya dua puluh kuku jari untuk membuatmu bicara atau mungkin berteriak”.
Apa? apa maksud detektif, apa dia akan mencabut kuku-kuku Rey dengan alat itu? Ini keterlaluan. Aku tidak mampu melihatnya.
“Detektif, biar aku yang melakukannya. Akan aku buat dia merasakan rasa sakit yang sama seperti aku kehilangan Fahmi”. Pak Yahya menawarkan diri untuk melakukan eksekusi.
Aku mengernyit ngeri.
"Rey, aku bertanya sekali lagi. Di mana Fahmi?"
Rey hanya menyeringai. "Cabut aja kukuku. Aku gak bakalan ngomong."
“Brengsek”. Dengus pak Yahya. Kemudian dia melangkah ke belakang kursi dan meraih satu kuku Rey untuk dimasukan ke dalam pencapit.
Pak Yahya tidak ragu. Tanpa aba-aba, dia menarik capit itu dengan kuat.
"AAAAAAHHHHH, KEPARAT BANGSAT!!" Jeritan Rey menggema.
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Aku tidak sanggup melihatnya.
“Dimana Fahmi?”. Pak Yahya kembali bertanya.
“Sakit kayak gini gak seberapa kalau dibandingin sama anakku yang udah kamu bunuh”.
“Baik, kalau begitu akan aku tambah rasa sakitnya”. Pak Yahya lagi-lagi memasukan capitan kedalam salah satu kuku Rey, kali ini jari tengah Rey jadi incarannya.
Tanpa aba-aba, capit ditarik begitu keras hingga mencabut kuku jari tengah Rey.
“AAAAAAHHHH”. Lagi-lagi Rey menjerit kesakitan.
Aku ngilu dan tersungkur ke lantai karena tidak mampu melihat adegan penyiksaan ini.
“Rey, bilang saja dimana Fahmi. Jangan siksa dirimu”. Aku lontarkan kalimat itu padanya, agar dia bisa jujur dan mengatakan semuanya. Sehingga kengerian ini bisa berakhir.
Rey melihat ke arahku dengan tajam. “Kau si cewe yang nendang wajahku di gua waktu itu. Jangan harap aku bakalan dengerin kamu”.
“Kenapa kau tahu? Jangan-jangan itu kau ya? Kenapa aku gak mengenali kamu?”. Akhirnya aku melontarkan pertanyaan yang menggangguku sedari tadi.
“Kau pikir, udah berapa identitas yang aku perankan buat jalanin rencanaku?”.
“Jadi, kau merubah penampilanmu?”. Rey tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya terdiam dengan keringat mengucur deras di pelipisnya. Menahan rasa sakit.
Detektif Rifqi melihat ke arahku dan menjelaskan sesuatu.
“Maya, Rey ini kriminal ulung, tidak heran kalau dia memiliki banyak identitas yang tak kau kenali”.
Aku mengangguk setuju.
Ditengah penyiksaan yang terjadi, ada satu hal yang membuat kami semua terkejut. Suara Elsa memecahkan fokus kami semua.
"Hentikan! Jangan sakiti dia lagi!"
Kami semua menoleh.
"Bukan Rey yang salah. Kalianlah yang salah, bukan suamiku yang harusnya kalian siksa”.
Aku terkejut.
Suami?
Astaga. Elsa adalah istri Rey?!